Pendidikan Kristen untuk Anak di Era Digital

Pendidikan Kristen
Bagikan:

Loading

ONESIMUS — Waktu saya SD, di sekolah kami ada kebiasaan menetapkan juara kelas, mulai dari juara pertama hingga juara empat. Pada saat pengambilan rapor, orangtua diminta berkumpul di kelas anak mereka masing-masing. Nama-nama anak yang juara akan disebutkan dan orangtua mereka dipanggil ke depan kelas untuk menerima rapor anak mereka. Hanya itu, tetapi para orangtua itu sangat senang. Mereka sangat bangga karena anak mereka juara.

Sepertinya, hal yang sama masih terjadi di era digital ini walaupun dalam bentuk berbeda. Menurut pengamatan penulis, ada banyak orangtua yang mempublikasikan prestasi anak-anaknya, misalnya ketika anak mereka jadi juara, diterima di Perguruan Tinggi tertentu atau diterima bekerja di lembaga tertentu. Itu adalah tanda bahwa orangtua pasti ingin dan bangga jika punya anak yang hebat dan berprestasi. Ada juga orangtua yang mempublikasikan di media sosial foto barang-barang pemberian anaknya. Pada foto-foto itu ditulis kalimat yang mengekspresikan kegembiaraan dan kebanggaan orangtua. Mereka menganggap itu adalah bukti anak memberi perhatian kepada orangtuanya. Ada lagi orangtua yang senang mempublikasikan kegiatan-kegiatan sosial anak-anaknya. Dari contoh-contoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak yang cerdas berprestasi, sayang pada orangtua dan  yang baik hati serta perduli pada sesama sangat diharapkan oleh orangtua. Oleh karena itu, pada umumnya orangtua akan mengupayakan apa yang menurut mereka terbaik bagi anak-anaknya, seperti makanan, pakaian, mainan, sekolah dan fasilitas. Pokoknya, semuanya diupayakan yang terbaik untuk anak dengan harapan anak bertumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas, hebat dan bisa bikin orangtua bangga.

Sayangnya, sekolah terbaik, makanan terbaik, pakaian terbaik dan fasilitas terbaik bukan jaminan dapat membentuk karakter anak menjadi baik sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Saat ini, ada banyak keluhan terkait anak. Ada anak yang terkena narkoba hingga harus dipenjara, ada anak yang selalu bikin onar di sekolah, ada anak yang kecanduan games online dan pornografi, ada anak yang hamil di luar nikah, ada anak yang menghamili anak orang di luar nikah, ada anak yang terlibat balap liar dan ada anak yang  melakukan tindakan melawan hukum sehingga harus berhadapan dengan hukum. Tentu saja ini sangat menyusahkan dan membuat sedih orangtuanya. Di media-media banyak dikabarkan anak berseteru dengan saudara kandungnya hanya karena harta warisan orangtua, anak yang berkonflik dengan orangtuanya dan sampai ke ranah hukum, bahkan ada anak yang tega  membunuh saudara dan orangtua kandungnya. Anak tidak seperti yang diharapkan, malah mendatangkan air mata, rasa malu, penderitaan dan kedukaan bagi orangtuanya. Padahal, sukacita terbesar orangtua adalah jika anak-anaknya hidup dalam kebenaran (3 Yohanes 1:4), dan mahkota orangtua adalah anak cucunya (Amsal 17:6a)

Mengapa hal ini terjadi? Menurut Amsal, agar anak memberikan ketenteraman dan mendatangkan sukacita bagi orangtuanya, orangtua harus mendidik anaknya (Amsal 29:17 – Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu). Selain itu, didikkan akan membuat anak tidak hidup menyimpang (Amsal 22:6 – Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.) Dari Amsal 29:17 dan Amsal 22:6 dapat disimpulkan bahwa didikan orangtua merupakan kunci dari pembentukan karakter anak.

Apa yang dimaksud dengan didik? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi online/daring), kata didik sangat dekat dengan kata mendidik yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini dapat kita lihat bahwa mendidik merupakan suatu upaya yang memerlukan proses. Mendidik anak tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang instan melainkan harus dengan upaya yang sungguh-sungguh bahkan penuh perjuangan. Lalu bagaimana mendidik anak dalam perspektif Kristen? Mendidik anak dalam  perspektif Kristen harus bermuara pada pembentukan karakter anak, yaitu karakter Kristus yang tercermin dalam buah Roh. Kita ingin anak-anak kita memiliki karakter Kristus dimana dalam diri anak ada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Galatia 5: 22-23).

Cara Mendidik Anak:

  1. Didiklah anak dengan keteladanan – Cara mendidik yang paling efektif dan efisien adalah melalui keteladanan. Orangtua harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya, karena anak lebih mudah belajar dengan cara melihat apa yang kita teladankan. Selain itu, jika orangtua tidak dapat menjadi teladan bagi anak, maka akan timbul masalah Anak akan menganggap remeh orangtua dan bersikap kurang ajar.  Teladankanlah kepada anak bagaimana berbuat baik, jujur, dan sungguh-sungguh dalam pengajaran (Titus 2:7 – dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu.) Kita juga harus bisa jadi teladan bagi anak dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian (1 Timotius 4:12 – “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.). Jika hidup kita demikian, maka kita dapat berkata kepada anak kita: “Anakku, ikutilah teladanku”, seperti Rasul Paulus meminta jemaat di Filipi untuk mengikuti teladannya.  (Filipi 3:17a – Saudara-saudara, ikutilah teladanku.)
  2. Didiklah anak dengan cara mengajar – Anak adalah individu yang sedang bertumbuh dalam segala aspek, oleh karena itu anak harus dibantu melalui pengajaran. Ajarkan padanya bagaimana bertutur kata yang baik, merespon dengan benar, dan lain-lain! Sesungguhnya, mengajar anak adalah tugas orangtua. (Amsal 3:12 – Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi.)
  3. Tegurlah bila anak salah – Saat anak berbuat salah, maka anak harus ditegur agar ia menyadari kesalahannya. Anak akan belajar dan dapat memperbaiki diri karena teguran mendidik adalah jalan kehidupan. (Amsal 6.:23b – teguran mendidik itu jalan kehidupan.)
  4. Memberikan konsekuensi jika anak tidak mempan ditegur – Ada kalanya anak tidak mau mendengar teguran. Oleh sebab itu anak perlu mendapat konsekuensi dari perbuataanya sehingga menimbulkan pembelajaran dan efek jera. Konsekuaensi itu bermacam-macam, misalnya tidak boleh melakukan sesuatu yang sangat disukainya dalam jangka waktu tertentu atau melakukan suatu pekerjaan tertentu. Cukup banyak juga orangtua yang memberi konsekuensi yang bersifat menyakiti fisik (misalnya mencubit). Selain menyakiti tubuh anak, hukuman fisik biasanya menimbulkan sakit hati pada anak. Oleh sebab itu, memberikan konsekuensi yang dapat menyakiti bagian tubuh anak harus dengan memerhatikan banyak hal dan harus merupakan pilihan terakhir.. Sebelum anak mendapatkan konsekuensi fisik, ia sudah terbih dahulu diberitahu dan ia setuju. Contoh: William dilarang Ibunya melompat-lompat di tempat tidur dengan alasan tempat tidur mereka sudah rapuh. Jika William lompat-lompat di situ, kemungkinan besar tempat tidur tersebut akan rubuh. Ibu menyarankan agar William lompat-lompat di rumput di halaman belakang rumah mereka. Ternyata William tidak mendengarkan perintah Ibunya. William melompat-lompat dengan serunya di atas tempat tidur. Ibu William menegur dan melarang William lompat-lompat di sana dengan alasan dan anjuran yang sama. William mengangguk tanda setuju. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara lompat-lompat dari kamar. Ibu William bergegas ke kamar dan kembali dan menegur William. Kali ini dengar suara yang agak keras. Kemudian Ibu William memegang pipi William dengan lembut dan mengarahkannya ke wajahnya sehingga mata mereka bertatapan. Lalu Ibu William berkata: “Nak, sudah dua kali mama tegur kamu karena tidak taat. Mama larang kamu lompat-lompat di situ karena ada alasannya. Mama tidak larang William  lompat-lompat, tapi jangan di tempat tidur. William boleh lompat-lompat di rumput di halaman blekang.  Mama harap William mengerti dan mau nurut. Mama tidak mau William lompat-lompat lagi di tempat tidur. Kalau William tidak nurut, maka Mama akan cubit paha William. Bagaimana? William setuju? Jika William berkata setuju tetapi kemudian lompat-lompat lagi di tempat tidur, maka Mama boleh mencubit paha William, jika tidak maka negosiasi tetap berlangsung sampai ada kata sepakat. Dengan demikian, William akan belajar bahwa Ibunya sungguh-sungguh. Artinya, ia harus belajar taat kepada orangtuanya. Dalam contoh ini, walaupun jengkel, Mama William tidak boleh menambah hal lain, misalnya sudah dicubit, dijewer pula atau ditambah dengan hukuman lain. Semua harus sesuai dengan kesepakatan. Pastikan saat memberikan konsekuensi kita tidak sedang emosional sehingga tidak memukul anak dengan membabi buta. Pastikan juga bahwa bagian tubuh yang mendapatkan konsekuensi bukan daerah yang sensitif sehingga mudah cedera. Orangtua tidak boleh kehilangan wibawa dan otoritas pada anaknnya. Orangtua harus bisa mengembalakan anak-anaknya. Tahu kapan harus menegur, tahu kapan menggunakan tongkat dan rotan. Orangtua yang membiarkan anaknya akan kehilangan wibawa dan otoritas. Hal itu dapat membuat anak menjadi liar dan hidup suka-suka. Kita dapat belajar dari Amsal 29:15 (Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya), Amsal 13:24 (Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya), Ibrani 12:11 (Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya),  Amsal 22:15 (Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya), dan Amsal 23:13-14 (Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkannya dari dunia orang mati.).
  5. Hindari menyakiti hati anak! – Sahabat saya cerita bahwa pada saat perjalanan mengantar anaknya ke sekolah, ia dimaki-maki oleh  sorang kenek bis kota. Menurutnya, kenek bis itu juga meludahi mobilnya. Teman saya bercerita dengan sangat santai. Tak tampak sakit hati, padahal ia dimaki-maki dan mobilnya diludahi. Mengapa demikian? Jawabannya adalah: Kenek itu bukan siapa-siapanya, bukan orang yang memiliki hubungan darah dengannya dan bukan orang yang memiliki hubungan psikologis dengannya. Pada umumnya, orang lebih terluka hatinya bila disakiti oleh orang dalam lingkar terdekatnya (misalnya orangtua atau pasangan) dari pada disakiti oleh orang yang tak memiliki relasi yang istimewa dengannya. Ada banyak kasus dimana anak mengalami masalah psikologis serius karena disakiti orangtuanya. Bahkan, ada kasus dimana anak menggunakan narkoba dan harus berhadapan dengan hukum hanya karena sakit hati pada orangtua. Ia sengaja menggunakan narkoba sebagai bentuk balas dendam pada orangtuanya. Ia ingin menghancurkan orangtuanya dengan cara menghancurkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebagai orangtua, walaupun kita memiliki otoritas atas anak, kita harus bersikap bijaksana. Hindarilah membangkitkan amarah anak, menyakitinya dan membuat hatinya tawar! Hindarilah menggunakan kata-kata yang tidak mendidik, seperti mencaci maki dengan menggunakan kata-kata kotor, sebagaimana yang tertulis pada Kolose 3:21 (Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.),  Efesus 6:4 (Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.),  dan Efesus 4:29 (Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.).
  6. Didiklah anak dengan cara berulang-ulang – Dalam teori belajar, mengajar anak dengan cara berulang-ulang dianjurkan. Tujuannya adalah agar anak benar-benar  dapat memahami dan menguasai materi/keterampilan yang diajarkan. Demikian juga halnya dengan mendidik anak. Mendidik anak harus dilakukan dengan berulang-ulang. Musa juga memerintahkan orang Israel agar mengajarkan kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang apa yang diperintahkan Musa. Hal ini dapat kita lihat di Ulangan 6:6-7 (Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.).
  7. Didiklah anak dengan cara membawanya kepada Kristus – Selain membawa anak kepada Kristus melalui doa-doa yang dipanjatkan, orangtua dapat membawa anak-anak mereka kepada Kristus dengan cara membawa mereka ke Gereja atau Sekolah Minggu. Tujuannya adalah agar anak mendapatkan pendidikan iman yang memimpin mereka pada pertumbuhan iman kepada Kristus. Sayangnya, anak-anak terutama yang masih sangat kecil belum punya kemampuan untuk datang sendiri ke Gereja/Sekolah Minggu. Mereka harus diantar oleh orangtua. Dengan berbagai alasan, banyak orangtua yang tidak memfasilitasi anaknya untuk dapat datang ke Gereja/Sekolah Minggu,  bahkan ada yang dengan sengaja melarang anaknya ke Gereja/Sekolah Minggu. Itu sama saja dengan menghalang-halangi anak datang kepada Kristus. Dalam Matius 19:14 Yesus melarang kita menghalang-halangi anak-anak datang kepada-Nya (Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga).
  8. Didiklah anak sesuai dengan firman Tuhan – Jika kita membeli barang elektorik, misalnya handphone, di dalam dusnya selalu ada manual book. Manual book adalah buku panduan yang dibuat untuk menyampaikan informasi-informasi penting dan detail  terkait produk seperti bagaimana cara mengoperasikan, bagaimana cara perawatan dan bagaimana jika terjadi masalah. Hal ini akan memudahkan pengguna untuk menggunakan dan merawat produk serta tahu apa yang harus dilakukan jika timbul masalah terkait produk. Orang Kristen memiliki “manual book”  mendidik anak, yaitu Alkitab. Dalam Alkitab tertulis dengan sangat jelas segala hal terkait mendidik anak, seperti yang terulis dalam 2 Timotius 3:16 (Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.). Agar orangtua dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan firman Tuhan, orangtua harus suka membaca Alkitab dan menghidupi apa yang tertulis di dalamnya.
  9. Didiklah anak sejak dini bahkan sejak dalam kandungan – Jangan pernah menunda mendidik anak atau menunggu sampai anak berusia tertentu! Anak harus dididik sedini mungkin bahkan sejak dalam kandungan. Mengapa demikian? Karena keberadaan manusia diakui sejak ia berada dalam kandungan. Ini dapat kita lihat dalam hukum positif Indonesia dan internasional. Alkitab juga mengakui hal ini, tampak pada Mazmur 139:13 (Sebab engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.), Mazmur 139:16a (Matamu melihat selagi aku bakal anak), Yesaya 44:2a (Beginilah firman Tuhan yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau sejak dari kandungan dan yang menolong engkau), Yesaya 49:1b (Tuhan telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku), Yeremia 1:5 (Sebelum aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, aku telah menguduskan engkau, aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.), Galatia 1:15 (Ia yang telah memilih  aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh oleh kasih karunia-nya.) dan Lukas 1:41 (Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus,). Mengajak berdoa, membacakan Alkitab dengan bersuara, mengajak anak bicara dan memperdengarkan lagu-lagu pujian dapat dilakukan sebagai upaya mendidik anak dalam kandungan.

 

Semoga para ayah dapat menjadi ayah yang  bersorak-sorak karena anaknya seorang yang benar dan semoga  para ibu dapat menjadi ibu yang bersukacita karena memperanakkan orang-orang yang bijak. (Amsal 23:24 – Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia.)

Selamat mendidik anak, Tuhan Yesus memberkati.

Penulis: Susi Rio Panjaitan (Praktisi Psikologi Anak, Dosen, Konsultan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus)

Catatan tentang Penulis:

Susi Rio Panjaitan adalah pendiri Yayasan Rumah Anak Mandiri, praktisi psikologi anak, dosen dan konsultan pendidikan anak berkebutuhan khsusu yang memulai pelayanannya kepada anak-anak sebagai Guru Sekolah Minggu sejak SMA.

2 comments
Dame

Cara mendidik dengan Firman Tuhan..
Terima kasih ibu.. ????

Sortaman Saragih

Sangat bagus kupasannya. Menginspirasi, sebab orangtua sekarang sudah banyak yang mendidik dengan cara diluar alkitab. Mereka mencoba menggantikan psikolog di luar dirinya untuk mendidik anaknya. Gereja juga kadang sudah menjadikan psikologi di atas teologi. Mengundang psikolog untuk mengajar kehidupan anak seolah hal itu tidak ada dalam alkitab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *