LIKE PARENTS LIKE CHILD (DAMPAK KETELADANAN ORANGTUA BAGI PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK)

Bagikan:

Loading

Susi Rio Panjaitan – Praktisi Psikologi Anak, Terapis, Dosen

Orang Barat bilang “like father like son”, “like mother like daughter”, “like parents like child”.  Dalam bahasa Indonesia ungkapan ini dimaknai sama dengan ungkapan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Sampai saat ini saya masih setuju dengan ungkapan ini karena masih relevan. Pada umumnya buah memang jatuh  tak jauh dari pohonnya. Hanya pada kasus-kasus tertentu saja buah jatuh jauh dari pohonnya, misalnya pada saat ada badai atau angin sangat kencang, maka besar kemungkinan buah jatuh jauh dari pohonnya karena diterbangkan oleh angin. Atau, jika pohon tersebut tumbuh di pinggir jurang, maka kemungkinan buahnya jatuh dari pohonnya karena tergelinding ke dasar jurang. Tetapi sekali lagi, pada umumnya buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Pun demikian halnnya dengan anak. Anak adalah gambaran atau cerminan orangtuanya. Dengan melihat seorang anak, kita mendapat gambaran seperti apa orangtuanya. Anak merefleksikan siapa orangtua mereka. Mengapa? Karena orangtua  adalah role model (panutan) bagi anak. Orangtua adalah guru pertama dan utama bagi anak.  Sejak dalam kandungan hingga usia tertentu anak selalu bersama dengan orangtuanya. Anak adalah individu yang masih dalam perkembangan. Perkembangan anak dalam segala aspek sangat dipengaruhi dari apa yang ia pelajari melalui panca indranya. Dalam teori belajar ada yang disebut dengan gaya belajar visual dan gaya belajar audiotori. Gaya belajar visual adalah gaya belajar dimana orang belajar dengan menggandalkan penglihatannya, sedangkan gaya belajar audiotori adalah gaya belajar dimana orang mampu belajar dengan baik dengan mengandalkan pendengarannya.  Pada umumnya orang terutama anak-anak mampu belajar optimal dengan menggunakan penglihatan dan pendengarannya.

Apa yang diperlihatkan oleh orangtuanya melalui perkataan dan perilaku mereka, itulah yang ditangkap oleh anak-anak. Dari orangtuanyalah anak-anak belajar. Anak-anak adalah “mesin fotocopy” tercanggih di dunia. Ia akan mengcopy dengan sempurna apa yang ia dengar dan ia lihat dari orangtuanya. Itulah sebabnya keteladanan orangtua sangat memengaruhi pembentukkan karakter anak. Dengan demikian, orangtua harus dapat menjadi teladan yang baik bagi anak. Keteladanan bukan sekedar kata-kata atau perintah, tapi memberi contoh konkrit bagi anak sehingga anak dapat meniru yang baik dengan baik dari orangtuanya.

Menjadi Teladan dalam Penderitaan dan Kesabaran

“Aduhhh, anak sekarang beda dengan anak zaman dulu. Ga sabaran. Semuanya mau cepat. Begitu minta maunya langsung dikasih. Ga bisa nunggu. Maunya dapat dengan mudah. Dulu, kalau saya mau mainan, ya mesti nyeleng dulu. Dulu, sebelum berangkat sekolah saya mesti bantu Ibu saya bikin sarapan. Anak sekarang mah boro-boro.”

Begitulah kira-kira kondisi banyak anak zaman sekarang yang banyak dikeluhkan orang terutama para caregivers termasuk orangtua. Mereka dinilai tidak tahan menderita dan tidak sabar. Mereka dianggap mudah mengeluh dan mau serba instan. Tidak tahan dalam mengalami kesulitan dan tidak sabar tentu tidak baik. Hanya orang yang memiliki daya juang dan daya resiliensi yang baik yang dapat bertahan hidup dan berprestasi. Tahan menderita dalam arti memiliki daya lentur yang baik dan memiliki tingkat kesabaran yang baik merupakan soft skill yang harus dimiliki oleh setiap individu.  Soft skill adalah sifat dan perilaku individu yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya individu dalam kehidupannya. Bukan saja dalam studi dan karir, tetapi juga dalam relasi sosial dan kehidupan berumah tangga. Kesabaran dan kemampuan bertahan dalam penderitaan  adalah soft skill yang harus dilatihkan kepada anak sejak dini agar kelak ia dapat menjadi individu yang tangguh.

Dalam Yakobus 5:10, Yakobus menasehati kedua belas suku di perantauan agar bersabar dalam penderitaan dengan cara meneladani para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Saat ini, yang menjadi “nabi” bagi anak-anak adalah orangtua mereka. Orangtua harus dapat menjadi teladan dalam hal “sabar dalam penderitaan” bagi anak-anaknya. Jangan suka mengeluh, jangan gampang bersungut-sungut, tetapi bersabarlah sekalipun dalam penderitaan, dengan demikian anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang sabar dan tahan menghadapi penderitaan.

“Saudara-saudara, turutilah penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara atas nama Tuhan.” – Yakobus 5:10

Menjadi Teladan dalam Menuruti Yesus

Dalam surat kepada Jemaat di Tesalonika yang tertulis pada 1 Tesalonika 1 :6-7, Paulus, Silwanus dan Timotius mengungkapkan rasa syukur mereka kepada Allah  karena jemaat di Tesalonika menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya. Mengapa? Karena mereka telah menjadi penurut Tuhan.

Agar karakter anak terbentuk dengan baik, maka mereka harus menjadi penurut Tuhan Yesus. Tentu saja anak-anak tidak memiliki gambaran konkrit tentang bagaimana menjadi penurut Tuhan Yesus. Oleh karena itu anak harus diberi gambaran yang jelas seperti apa menjadi penurut Tuhan Yesus. Sebagaimana jemaat di Tesalonika sudah menjadi teladan bagi orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya dalam hal menuruti Yesus, maka orangtua harus dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya sehingga anak-anak tumbuh menjadi individu yang menurut kepada Tuhan Yesus. Jadilah penurut Tuhan Yesus, maka kita akan dapat meneladankan kepada anak-anak kita bagaimana caranya menjadi penurut Tuhan Yesus.

“ Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam  penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya.” – 1 Tesalonika 1:6-7

Menjadi Teladan dengan Tidak menjadi Beban bagi Orang Lain

Sudah dewasa, sudah sarjana, tetapi hidupnya masih bergantung penuh kepada orangtuanya. Boro-boro kasih makan orangtuanya, semua kebutuhan hidupnya masih ditanggung oleh orangtuanya. Walau sudah dewasa dan sudah disekolahkan sampai ke jenjang Perguruan Tinggi, tetapi masih belum mandiri, tetapi masih menjadi beban bagi orangtuanya yang sudah tua dan pensiun.

Fenomena ini sangat banyak. Walau sudah dewasa anak masih menjadi beban bagi orang lain. Dampaknya tentu sangat tidak baik terhadap orang tersebut, orangtua serta keluarganya. Kemandirian tentu sangat terkait dengan kerja keras dan kerajinan. Agar kelak dewasa anak mandiri dan tidak jadi beban bagi orang lain, maka sejak dini anak harus diajar rajin dan mandiri. Hal ini dapat dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana, seperti merapikan sendiri mainannya setelah bermain, menaruh pakaian kotor di tempatnya, membersihkan sendiri tempat tidur dan kamarnya, dan lain-lain. Tentu saja dalam proses belajar tersebut anak butuh contoh. Dalam hal ini yang harus menjadi contoh/teladan adalah orangtuanya. Jadilah orang yang rajin, maka anak Anda akan belajar menjadi orang rajin!

“Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti.” –  2 Tesalonika 3:7-9

Menjadi Teladan  dalam Kerendahan Hati

Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan. Begitulah yang tertulis dalam Amsal 18:12. Banyak persoalan muncul di muka bumi ini karena  umat manusia tinggi hati. Banyak terjadi kehancuran rumah tangga karena pasangan suami istri tidak mau merendahkan hati. Semakin terbuktilah apa yang tertulis di Amsal 18:12. Itulah sebabnya kerendahan hati menjadi amat penting untuk dimiliki oleh siapa pun juga. Sayangnya, kerendahan hati tidak dapat dibeli tetapi diperoleh melalui proses yang tidak mudah dan tidak cepat. Oleh karena itu seorang anak harus belajar rendah hati sejak dini.

Dalam Yohanes 13:15 diceritakan bagaimana Yesus memberikan suatu teladan bagi murid-muridnya tentang kerendahan hati dengan cara membasuh kaki murid-murid-Nya. Yesus yang adalah Tuhan, Juruselamat, Raja dan Guru mereka, mau merendahkan diri sedemikian rupa. Dengan demikain, murid-muridnya dapat berlajar secara konkrit apa dan bagaimana kerendahan hati.

Agar karakter rendah hati terbentuk pada anak, maka sebagaimana halnya Tuhan Yesus sudah merendahkan hatinya sedemikian rupa, maka para orangtua pun harus dapat menunjukkan dan meneladankan kerendahan hati kepada anak-anaknya. Tak mudah memang menjadi pribadi yang rendah hati, oleh karena itu para orangtua harus belajar dari keteladanan yang ditinggalkan oleh Tuhan Yesus.

“Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” –  Yohanes 13:15

Menjadi Teladan dalam Penderitaan karena Berbuat Baik

Setiap orang Kristen termasuk anak-anak dipanggil untuk berbuat bagi kepada sesama. Sayangnya, tidak ada garansi bahwa jika kita berbuat baik maka kita pun akan mendapatkan hal yang baik. Sebaliknya, sering kali terjadi, justru karena berbuat baik kita jadi menderita. Misalnya,: Tidak memberikan contekan kepada teman karena mencontek dilarang. Walaupun tidak memberikan contekan adalah perbuatan baik, sebagai konsekuensinya seorang anak bisa dimusuhi oleh teman-temannya. Contoh lain adalah : Tidak menerima ajakan teman untuk nonton video porno. Menolak ajakan teman untuk menonton video porno tentu baik, tetapi akibatnya ia bisa dibully bahkan dimusuhi. Ada penderitaan yang harus ditanggung akibat berbuat baik.

Hal ini tentu sangat berat. Dalam sangat banyak kasus, anak melakukan perilaku tidak terpuji karena diajak temannya. Ia tak sanggup menanggung penderitaan jika tak menyanggupi ajakan teman, sehingga ia melakukan perbuatan tidak terpuji. Teladan dari orangtua akan menolong anak belajar dan memahami  makna menanggung penderitaan karena berbuat baik. Bisalah kita berharap anak akan bertumbuh menjadi pribadi dengan karakter yang baik dan tangguh, yakni tahan menanggung penderitaan karena berbuat baik.

“Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggal teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.” – 1 Petrus 2 : 21

Menjadi Teladan dalam Berbuat Baik

Bagi anak-anak, terutama yang masih sangat kecil, misalnya batita (bawah tiga tahun) kata “berbuat baik” adalah sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, kata “berbuat baik” harus dikonkritkan dalam perilaku  agar anak paham dan dapat meniru. Di sinilah peran penting orangtua, menunjukkan “berbuat baik” dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga anak dapat mencontohnya.

“dan jadikanlah dirimu sendiri sebagai teladan dalam berbuat baik.” – Titus 2:7a

Menjadi Teladan dalam Perkataan, Tingkah Laku, Kasih, Kesetiaan dan Kesucian

“Saya baru bicara satu kata, dia sudah bicara ratusan kata.” Begitu keluhan seorang ibu tentang anaknya yang baru berusia 10 tahun. Rasanya, bukan hanya ibu ini saja yang memiliki keluhan demikian. Ada sangat banyak orangtua yang bersedih karena perkataan anak-anaknya, padahal anak-anak tersebut masih dalam kategori anak kecil. Belum lagi kita dapat melihat bagaimana seorang anak kecil berani berkata kasar bahkan memaki orang yang jauh lebih tua darinya. Mengapa anak-anak bisa demikian? Tentu saja ia belajar dari lingkungan.  Oleh sebab itu, orangtua harus dapat meneladankan bagaimana bertutur kata yang baik, sehat dan positif kepada anak. Perkataan selalu terkait dengan tingkah laku.  Orangtua harus dapat menjadi teladan bagi anak dalam perkataan dan  tingkah lakunya sebagaimana Paulus meminta Timotius dapat menjadi teladan bagi orang-orang percaya dalam hal ini walaupun ia masih muda.

Kasih, kesetiaan dan kesucian sulit diajarkan kepada anak jika hanya menggunakan kata-kata. Harus diajarkan melalui keteladanan hidup. Orangtua yang hidup dalam kasih, kesetiaan dan kesucian tentu akan lebih mudah mengajarakan hal ini kepada anak-anak mereka dibanding dengan orangtua yang hidup sembrono. Tunjukkanlah kepada anak-anak bagaimana hidup dalam kasih, kesetiaan dan kesucian sehingga mereka bertumbuh menjadi pribadi yang  hidup dalam kasih, kesetiaan dan kesucian.

“Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” – 1 Timotius 4:12b

Menjadi Teladan dalam Mengikut Kristus

Semua orang percaya dipanggil untuk menjadi pengikut Kristus. Mengikut Kristus tentu memiliki konsekuensi yang tidak selalu enak. Ada banyak godaan yang dapat membuat orang menyangkal dan lari dari Kristus, misalnya uang, pasangan, jabatan, dan lain-lain. Walaupun kerap kali ada konsekuensi yang tidak enak, sudah pasti ada upah kekal yang akan kita terima dengan menjadi pengikut Kritus. Jika kita ingin anak-anak kita menjadi pengikut Kristus yang sejati, maka kita sebagai orangtua harus dapat menjadi teladan bagi mereka. Jadilah pengikut Kristus yang setia walau apapun yang terjadi sehingga anak-anakmu punya model yang layak diteladani!

 “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” – 1 Korintus 11:1

Manjadi Teladan dalam Iman

Belum ada satu orang pun di dunia ini yang mengatakan bahwa hidup ini selalu mudah dan enak. Hidup ini sulit,  penuh masalah dan tantangan. Sekaya apapun, sepintar apapun, sehebat apapun, seberkuasa apapun seseorang, hidup tetaplah tak mudah baginya. Penyakit bisa datang kapan saja, masalah selalu muncul walau tak diundang, kecelakaan bisa terjadi setiap waktu, dan lain-lain. Oleh sebab itu, manusia butuh Tuhan karena Tuhan berdaulat atas segala sesuatu. Untuk dapat memahami dan menerima keberadaan Tuhan, diperlukan iman. Sedari dini, anak harus dilatih untuk beriman kepada Yesus Kristus. Iman sesuatu yang abstrak. Anak-anak adalah individu yang sedang bertumbuh aspek kognitifnya. Pada masa usia anak-anak, mereka baru mampu berpikir konkrit. Oleh sebab itu, iman adalah sesuatu yang sulit untuk mereka pahami. Teladan orangtua dalam beriman akan membantu mereka memahami dan menghidupi imannya kepada Kristus.

“Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.” –  Ibrani 13:7

Menjadi Teladan dalam Melakukan Ajaran yang Sehat

Saat ini ada sangat banyak bentuk ajaran yang tidak sehat. Setiap hari tersiar kabar tentang perilaku manusia yang dianggap aneh (tidak masuk akal) karena berbagai pengajaran yang mereka terima. Kemiskinan, keterbatasan pengetahuan atau beratnya beban dan lemahnya iman membuat orang gampang menerima ajaran yang tidak sehat.  Mengajarkan firman Tuhan, membimbing mereka ke gereja/Sekolah Minggu agar mendapatkan pengajaan tentang firman Tuhan adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh orangtua agar anak terhindar dari ajaran yang tidak sehat. Sukalah membaca Alkitab, sukalah beribadah, sukalah berdoa,  maka dengan mudah anak-anak akan mencontoh kita dalam melakukan ajaran yang sehat.

“ Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus.”  –  2 Timotius 1: 13

Menarik untuk menyimak apa yang disampaikan oleh Petrus, rasul Yesus Kristus kepada orang-orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia dalam 1 Petrus 5:2-3  yang diberi judul “Gembalakanlah kawanan domba Allah”. Pada ayat itu Petrus menasihatkan para penatua di antara mereka saat itu agar mengembalakan “kawanan domba Allah” yang ada pada mereka. Tidak boleh dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah. Tidak boleh karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Tidak boleh seolah-olah mau memerintah, tetapi harus menjadi teladan.

Anak adalah “kawanan domba Allah” yang dipercayakan oleh Allah kepada gembala yang bernama orangtua. Dengan demikian, sama halnya dengan para penatua yang tersebut di atas, maka orangtua harus mengembalakan anak-anaknya dengan cara menjadi teladan.

Kiranya hidup kita senantiasa seturut dengan kehendak Allah, sehingga kita dapat berkata kepada anak kita: “Anakku, ikutilah teladanku”, seperti Rasul Paulus meminta jemaat di Filipi untuk mengikuti teladannya.

“Saudara-saudara, ikutilah teladanku.” –  Filipi 3:17a

Ingin memiliki anak yang berkarakter baik? Jadilah teladan! Selamat menjadi teladan bagi anak-anak. Tuhan Yesus memberkati.

 

Catatan tentang Penulis:

Susi Rio Panjaitan adalah pendiri Yayasan Rumah Anak Mandiri, praktisi psikologi anak, konsultan pendidikan anak berkebutuhan khusus, terapis dan sex educator yang memulai pealayanannya kepada anak-anak dengan menajdi Guru Sekolah Minggu sejak SMA.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *