Sesuatu hal yang bukan rahasia lagi bahwa masih ada penolakan terhadap para penyandang disabilitas untuk terlibat dalam pelayanan dan juga untuk kita layani. Gereja pun turut serta dalam penolakan tersebut, walaupun sudah ada gereja yang berinisiatif memberi ruang bagi penyandang disabilitas dalam pelayanan.
Selain kerepotan di atas, masih ada satu hal lagi, yaitu: ekstra biaya. Kita harus menyiapkan ekstra biaya untuk memfasilitasi penyandang disabilitas.
Anggaplah ada gereja memiliki seorang pelayan yang lumpuh kedua kakinya, sehingga ia harus menggunakan kursi roda. Jika gereja ingin memberi ruang kepadanya untuk melayani dan dilayani, tentu gereja mengeluarkan ekstra biaya untuk membuat fasilitas yang dapat dia akses. Aksesibilitas tersebut, misalnya, adalah toilet khusus, bidang landai untuk naik-turun, lift atau tangga landai untuk gedung bertingkat, dan lain-lain.
Aksesibilitas tersebut baru untuk para pengguna kursi roda atau tongkat. Bagaimana dengan para tuna netra, tuna rungu/wicara, tuna daksa lainnya, dan orang berkebutuhan khusus? Tentu penyediaan aksesibilitasnya ada yang sama dan ada yang berbeda-beda. Lagi-lagi gereja butuh biaya ekstra untuk memfasilitasi hal tersebut. Inilah juga yang membuat gereja repot menyediakan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas.
Apakah kerepotan dan ektra biaya menjadi masalah bagi gereja? Bisa ya atau tidak, tetapi tampaknya banyak gereja menjawab ya. Bagi gereja besar (dengan jumlah jemaat yang banyak), hal tersebut dapat mereka atasi sendiri. Sejauh yang sudah saya amati, gereja-gereja besar sudah banyak telah menyediakan aksesibilitas yang cukup memadai bagi para penyandang disabilitas. Akan tetapi, gereja-gereja kecil hingga menengah masih belum mampu menyediakan aksesibilitas seperti itu.
Penutup
Mungkin ke depannya, gereja yang mampu (gereja besar) dan gereja yang kurang mampu (gereja kecil dan menengah) dapat saling berbagi kasih Kristus. Sebagai Tubuh Kristus, gereja-gereja adalah anggotanya. Anggota yang rentan dan lemah harus ditopang dan diperhatikan oleh anggota-anggota lain yang sehat (bdk Roma 12:5, 1 Korintus 10:17, 1 Korintus 12:27, Efesus 4:12, Ibrani 13:3, Efesus 5:23, dan Kolose 1:24).
Kembali pada pertanyaan ini: Dapatkah para penyandang disabilitas menjadi pelayan? Jawabannya dapat. Terlepas dari pembicaraan yang panjang lebar tentang kerepotan dan ekstra biaya, kita masih dapat menganggap hal tersebut bukan menjadi persoalan besar karena Tuhan akan memberi kita hikmat untuk mencari solusi terbaik.
Memberi ruang dan kesempatan kepada para penyandang disabilitas berarti kita menghargai dan mengasihi mereka sebagai ciptaan Tuhan yang unik. Kita juga memberi kesempatan kepada mereka untuk mengasihi kita. Inilah dasar pelayanan tersebut, yaitu: KASIH.
Kasih Allah menjadi dasar iman kita untuk tidak menjadikan perbedaan sebagai penerimaan kita kepada sesama yang menjadi penyandang disabilitas. Kita sendiri menyadari bahwa meskipun kita memiliki tubuh yang normal, tetapi kita tidak sempurna. Penyandang disabilitas memang adalah orang yang keadaannya tidak normal, baik fisik maupun mentalnya. Namun demikian, kita sebagai pengikut Kristus dengan mendiami tubuh yang normal dan tidak normal ini, suatu kelak nanti akan sempurna menjadi ciptaan baru seperti Kristus (2 Korintus 5:17). Kita tidak lagi memakai tubuh lama ini, tetapi tubuh baru yang sempurna.
Jadi berilah kesempatan kepada penyandang disabilitas menjadi pelayan. Di sana imannya dapat bertumbuh dan iman kita juga bertumbuh. Kita makin memahami makna kehidupan ketika bersama bergandengan tangan dengan penyandang disabilitas dalam melayani dan juga dilayani. Suatu saat Tuhan akan menambahkan hikmat pelayanan tersebut kepada kita. Karena itu, jangan sia-siakan mereka. Kiranya Tuhan memberkati dalam pelayanan kita.*****
Penulis: Mr. Inspirator Tonggor Siahaan (penyandang disabilitas alumnus STT Jakarta)
Leave a Reply