ONESIMUS — Berikut ini kami menyajikan refleksi dari Pdt. (Em) Weinata Sairin, M.Th (mantan Wasekum PGI) berjudul: Gereja dan Pancasila di Tengah Dunia yang Penuh Turbelensi. Tulisan ini dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila pada Rabu (1/6/2022). Kami memuat tulisan ini karena isinya berbobot.
Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia secara teologis memahami bahwa bangsa dan negara Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 adalah pekerjaan Allah. Seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke sebagai tanah air Indonesia adalah karunia Allah. PGI telah merumuskan pemahaman teologis seperti itu secara formal dalam Sidang Raya PGI 1994 di Jayapura. Akan tetapi nuansa pemikiran itu sudah lama tertanam dalam hati sanubari warga Gereja di Indonesia.
Dr. Johanes Leimena di depan peserta Sidang Raya DGI 1956 mengatakan hal senada. “Pada hakekatnya negara Indonesia menurut paham saya adalah suatu karunia Allah. Suatu negara yang dikaruniakan Allah kepada bangsa Indonesia. Karena itu, negara ini mempunyai tempat, suatu fungsi dan satu tujuan yang tertentu di dalam dunia ini,” kata Leimena.
Dalam ceramah tahun 1956 itu, Leimena menyatakan bahwa negara nasional Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh adalah suatu negara yang berbentuk republik kesatuan; suatu negara hukum yang demokratis; suatu negara yang tidak berdasarkan atas salah satu agama, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.
Tanggapan Umat Kristen
Sejak awal berdiri negeri ini, Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang mampu mengakomodasi kemajemukan. Berdasarkan hal itu, bagi Gereja dan umat Kristen, Pancasila adalah pilihan yang tepat untuk menjadi dasar negara.
Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat di Salatiga 1967 menegaskan: “Pancasila sebagai dasar negara telah memungkinkan hidup bersama atas hak dan kewajiban yang sama dari golongan-golongan dengan agama dan budaya yang berbeda dalam negara Indonesia. Pancasila adalah dasar hidup bersama dalam suatu negara. Sebab itu setiap usaha untuk mengubah, mengganti atau menggerogoti Pancasila secara terang-terangan atau tersembunyi selalu melahirkan malapetaka bagi bangsa.”
Kemudian Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) mengelaborasi rumusan 1967 itu. KGM berlangsung di Klender, Jakarta, pada 1976 yang bertema: “Melihat tanda-tanda zaman, pergumulan Pancasila dalam membangun masa depan.”
KGM 1976 menyatakan bahwa Pancasila telah dan akan terus memainkan peranan dalam kehidupan bangsa dan negara. Pancasila menjadi alat pemersatu yang bisa mencakup dan menyalurkan kepelbagaian cita-cita dan pembangunan bangsa. Hal ini juga bisa sebagai pegangan untuk mempertahankan identitas bangsa serta menggugah semangat serta kesetiaan kepada tanah air.
Pengalaman Pancasila
Sikap kritis dari KGM 1976 terhadap Pancasila juga tak bisa diabaikan yaitu, bahwa penjabaran teoritis Pancasila justru bisa membawa Pancasila pada posisi sebagai saingan iman Kristen. Ini bisa menimbulkan bahaya, menjadikan Pancasila sakral. Bahkan ini menjadi satu sistem falsafah yang berpretensi menjawab soal-soal terakhir dari kemanusiaan yang sebenarnya menjadi kompetensi agama. Itulah sebabnya KGM 1976 memberikan penekanan pada aspek “pengamalan Pancasila”, bukan pada aspek-aspek teoritis. Aspek-aspek teoritis cenderung doktriner, kaku, dan dogmatis yang bisa bermuara pada pengagamaan Pancasila itu sendiri.
Sayang sekali, pengamalan Pancasila, pada zaman Orde Baru (Orba) mengalami kemunduran yang luar biasa. Pancasila telah dijadikan suatu ideologi yang otoriter yang melanggengkan daya cengkeram kekuasaan Orba. Ideologi ini menjadi senjata ampuh untuk membungkam pemikiran kritis dan tameng untuk memasung demokrasi. Pancasila menjadi amat teoritis dan pada aras praktis justru terjadi pertentangan yang diametral dengan Pancasila.
Sakralisasi Pancasila berjalan seiring dengan peningkatan hegemoni kekuasaan Orba yang otoriter, sentralistik, dan represif. UU No.8/1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia. Ketetapan ini mendapat perlawanan keras dari lembaga-lembaga agama. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sesudah diskusi yang amat alot dengan pemerintah, baru tahun 1989 secara kritis dan kreatif menyesuaikan Tata Dasarnya dengan UU No.8/1985.
Pancasila Sebagai Landasan
Kini banyak orang agak takut membicarakan Pancasila. Bahkan ada kecenderungan untuk mengganti Pancasila karena ada yang menganggapnya gagal sebagai alat pemersatu bangsa. Gereja-gereja meyakini bahwa sampai saat ini belum ada dasar lain, selain Pancasila yang berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bagi pluralisitas etnik, budaya dan agama dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Pancasila adalah satu-satunya fundamen kukuh yang di atasnya membangun dan mendirikan rumah besar Indonesia yang kaya dan plural.
Pancasila adalah satu-satunya ruang yang di dalamnya semua unsur dari bangsa yang majemuk ini bisa bertemu, berdialog dan merumuskan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang penuh harapan dan menjanjikan. Karena itu, Pancasila sebagai dasar negara adalah satu-satunya pilihan.
Tidak ada tawar-menawar lagi untuk menggantikan Pancasila, kecuali jika kita menginginkan bangsa Indonesia yang besar dan heterogen ini terpecah-pecah dan tercerai-berai. Karena itu, kita harus terus-menerus mereaktulisasi, merevitalisasi Pancasila, sehingga ia mampu mempersatukan kebhinnekaan bangsa, sekaligus dapat menjawab perubahan global. Semua warga negara di semua aras harus melaksanakan keteladanan dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Jadi Pancasila tidak terpasung menjadi slogan, jargon, label politik, tetapi benar-benar menjadi napas hidup, dan roh yang mengarahkan langgam kerja manusia Indonesia.
Kesamaan hak, kesetaraan, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, sikap inklusif dan non-diskriminatif yang menjadi benang merah dari Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan. Kita juga harus tegas bahwa Pancasila tidak identik dengan Orba dan bukan produk Orba. Orba justru telah menyelewengkan, mereduksi dan merendahkan Pancasila, sehingga menjadi instrumen kekuasaan yang menguntungkan Orba.
Gereja-gereja, umat Kristen Indonesia, bersama seluruh komponen bangsa perlu menghidupkan kembali Pancasila dan memposisikannya sebagai dasar negara yang abadi dan lestari. Sebagai dasar negara, Pancasila harus menjadi nada dasar dan jiwa dari seluruh ketentuan perundangan di negeri ini, mulai dari UUD hingga produk-produk hukum di bawahnya. Karena itu, Amandamen UUD 1945 harus mampu memposisikan Pancasila lebih kukuh dan teguh dalam diktum perundangan.
Pemikiran Konstruktif
Gereja dan umat Kristen Indonesia perlu merumuskan pemikiran-pemikiran konstruktif di bidang ini bagi pemerintah, bangsa dan negara, termasuk bagaimana cara yang lebih efektif dalam mengaplikasikan nilai-nilai luhur Pancasila di tengah realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Kita sedang hidup dan menghidupi sebuah dunia yang sedang berubah terus dan penuh turbulensi dari saat ke saat. Seluruh dimensi kehidupan tengah bergelut dengan perubahan itu.
Adanya KDRT, kejahatan seksual, cyber crime, korupsi, radikalisme dalam banyak wajah, maraknya bunuh diri, perdagangan narkoba, aksi teroris MIT, KKB, pembunuhan suami terhadap istri dan anak dengan membakar mereka, dan berbagai kasus sejenis yang akhir-akhir ini mengemuka secara kasat mata menjelaskan kepada kita bahwa nilai-nilai agama, Pancasila, kearifan lokal belum tertanam secara penuh dalam hati sanubari insan Indonesia.
Kita amat berharap dengan berkolaborasi dengan instansi terkait, BPIP akan mampu mendesain program-program terobosan yang berfokus pada internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan pribadi setiap insan Indonesia.
Gereja dan umat Kristen Indonesia harus mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga, merawat, dan melestarikan Pancasila sebagai dasar negara.
Teks resmi Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia (DKG PGI) 2019-2024 menegaskan hal yang amat penting dan strategis. Gereja-gereja di Indonesia mendukung Pancasila sebagai dasar ideologi NKRI.
Pancasila merupakan dasar keberadaan negara bangsa Republik Indonesia, suatu “rumah” bersama bagi semua golongan. Di atas dasar inilah cita-cita untuk membangun masyarakat yang beraneka ragam namun terus mengupayakan persatuan-sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika dapat dicapai.
Kita sebagai bangsa harus terus-menerus siuman dan sadar terhadap nafsu, gairah, obsesi, gerakan untuk mengganti Pancasila, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan. Pancasila adalah anugerah Allah bagi mewujudnya sebuah NKRI yang adil, damai, bersatu, dan berkeadaban.
Jadi Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia harus merawat, menjaga, menghormati anugerah Allah itu hingga titik darah penghabisan. Tak ada pilihan lain. Kiranya Tuhan memberkati Gereja dan NKRI.
Penulis: Weinata Sairin
Editor: Boy Tonggor Siahaan
Leave a Reply