ONESIMUS — Menjadi tua itu pasti, tapi bagaimana menjadi tetap berguna di usia tua? Ada istilah yang menyebut lansia itu “usia indah” atau usinda, artinya mengucap syukur atas usia lanjut yang diberikan Tuhan apalagi bisa mencapai usia lebih dari 70 tahun. Sepuh seperti kata pemazmur.
Menurut Undang-undang tentang Lansia di Indonesia, seseorang adalah lansia ketika mulai memasuki usia 60 tahun. Padahal, mungkin bagi banyak orang, mereka masih merasa energik di usia tersebut, masih mampu berkarya, atau bekerja untuk mencari nafkah. Ada perasaan khawatir yang meresahkan hati ketika saya mulai berada di kelompok usia lansia, khususnya khawatir akan masalah keuangan dan masa depan anak-anak. Saya menyikapi perasaan negatif itu dengan mencoba mengalihkannya menjadi yang positif. Ada pertanyaan pada diri sendiri. Bagaimana saya bisa berguna bagi kelompok usia yang lebih muda dari saya, dan bagi sesama lansia?
Belajar dari Pengalaman Orangtua
Saya melihat pengalaman Ibu saya di masa tuanya. Ia menjadi tempat bertanya, tempat curhat, tempat diskusi di lingkungan tetangga, keluarga, atau gereja. Pada saat itu medianya hanya melalui telepon atau tatap muka di rumahnya. Ibu saya menjadi teman diskusi atau sekadar ngobrol saja mulai dari pembahasan agama, kesehatan, politik, sampai hubungan mertua-menantu yang menjadi problema kaum muda. Ternyata dengan kegiatan rajin berdiskusi membuat otaknya terasah terus.
Kebiasaan lain yang selalu Ibu saya lakukan adalah kedisiplinannya. Dari hal kecil, ia selalu menaruh barang di tempatnya seperti kunci gantung di dinding; pensil, pulpen masukkan ke dalam gelas dan diletakkan di rak buku, sampai rutinitas jam bangun dan jam tidur. Dia juga rajin mengisi TTS walau tidak terisi sepenuhnya. Semasa hidupnya, dia hanya mengandalkan transportasi umum ke gereja atau ke tempat tujuan lainnya. Dia juga dikenal sering melontarkan lelucon yang mengundang tawa. Ibu saya mencapai usia sampai 98 tahun dan tidak mengalami kepikunan.
Ini Tips untuk Kita
Belajar dari pengalaman Ibu saya, ada empat hal yang dapat saya petik.
- Pertama, disiplin menjaga otak tetap aktif untuk melawan kepikunan dengan berdiskusi, mengisi TTS, bersosialisasi.
- Kedua, memberi kontribusi pemikiran di lingkungan warga, gereja, atau keluarga dengan menghadiri pertemuan seperti pertemuan lansia di gereja, rapat warga di lingkungan RT.
- Ketiga, menciptakan suasana gembira dengan membuat guyon, memberi komentar lucu namun tetap sederhana.
- Keempat, rajin beribadah baik di kebaktian minggu atau di lingkungan keluarga, serta meluangkan waktu untuk bersekutu dengan Tuhan setiap hari dan mendoakan anak-cucu.
Di masa lansia yang sedang saya jalani, saya banyak meniru keteladanan ibu saya. Saya coba melakukannya dengan aktif di lingkungan warga, keluarga, maupun gereja, menghadiri pertemuan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Di rumah, saya bersaat teduh, berdoa syafaat, membuat pupuk organik cair dari sisa kulit buah dengan sistem eco-enzym, membuat kompos dari sampah organik dengan tujuan untuk mengurangi sampah rumah tangga.
Kita tidak tahu kapan Tuhan memanggil, tetapi selama ada kesempatan marilah kita berbuat baik kepada sesama. Seperti yang tersirat dari penggalan puisi “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail.
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya,
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air.
Jakarta, 22 Juni 2022
Penulis: St. Ny. Dewi Mangunsong – Siahaan (73 tahun)
Leave a Reply