PERAN PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN KARAKTER ANAK

Oleh : Susi Rio Panjaitan

Anak tidak bisa dipisahkan dari peran perempuan. Hampir dalam segala aspek kehidupan anak dipengaruhi oleh perempuan. Di mana ada anak, di situ ada perempuan. Bahkan dapat dikatakan, hidup anak lebih dipengaruhi oleh perempuan dibanding laki-laki. Di rumah, anak diasuh oleh ibu. Jika ibu bekerja di luar rumah, biasanya anak akan diasuh oleh pengasuh perempuan. Di Sekolah Minggu, kebanyakan Guru Sekolah Minggu perempuan. Masuk sekolah, yang menjadi guru mayoritas perempuan. Hal ini membuat banyak anak yang tidak mendapatkan figur laki-laki  sehingga menimbulkan kekhawatiran  bahwa anak laki-laki tidak memiliki teladan bagaimana menjadi laki-laki dari laki-laki.

Pengasuhan anak pun  lebih banyak dibebankan kepada perempuan. Hal ini di mulai dari rumah. Tanggungjawab pengasuhan anak lebih banyak dibebankan kepada ibu. Mungkin alasannya adalah karena ibulah yang melahirkan anak sehingga mereka punya ikatan emosi yang lebih kuat. Alasan berikutnya adalah karena zaman dulu ibu tidak bekerja di luar rumah (baca: kantor), jadi pada umumnya ibu tinggal di rumah. Oleh karena itu, ibulah yang bertugas mengasuh dan mengurus anak, sedangkan ayah bertugas mencari nafkah. Walaupun ada pergeseran dimana banyak ibu yang sudah bekerja di luar rumah dengan jam kerja sebagaimana halnya laki-laki, tugas mengasuh anak tetap dibebankan kepada ibu. Contohnya: jika anak sakit dan harus dijaga oleh orangtuanya, maka yang cuti/tidak masuk kantor adalah ibu.  Perempuan dianggap lebih mampu mengurus dan merawat anak dibanding dengan laki-laki.

Hal yang sama terjadi di zaman Yakub dan Esau. Ketika Yakub lari meninggalkan Laban, mertuanya, pulang ke negeri sanak saudaranya, sebetulnya Yakub takut bertemu dengan Esau karena ia berpikir Esau akan menyerangnya (Baca Kejadian 31 – Kejadian 33). Ketika Yakub melihat Esau datang, ia menyerahkan anak-anak kepada para perempuan yang ikut bersamanya saat itu. Ini tertulis pada Kejadian 33:1 yang berbunyi: “Yakup pun melayangkan pandangnya, lalu dilihatnya Esau datang dengan diiringi oleh empat ratus orang. Maka diserahkannyalah sebagian dari anak-anak itu kepada Lea dan sebagian kepada Rahel serta kepada kedua budak perempuan itu.”

Pada pundak perempuan ditaruh tanggungjawab mengasuh, merawat, melindungi sekaligus melayani anak-anak. Hal ini tidak hanya berlaku pada perempuan yang berperan sebagai ibu, tetapi juga pada perempuan yang berperan sebagai  nenek, tante, guru, pengasuh, tetangga, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar perempuan dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga berdampak positif terhadap perkembangan anak? Penulis mencatat ada beberapa syarat agar perempuan dapat menjalankan peran tersebut, antara lain:

  1. Menghayati perannya sebagai anak di masa lalu

Semua perempuan dewasa pasti pernah menjadi anak-anak sehingga tahu persis bagaimana rasanya menjadi kanak-kanak. Dengan demikian, perempuan dapat memahami dan berempati terhadap anak. Dalam 1 Korintus 13:11 Paulus berkata: “Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.”

1 Korintus 13 ini oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diberi judul “Kasih”. Dalam perikop ini dipaparkan apa itu kasih dan bagainama cara menunjukkan kasih kepada sesama. Anak-anak di masa kanak-kanak menunjukkan karakteristik khas dalam berbicara, berperilaku dan berpikir. Seiring dengan bertambahnya usia, maka karakteristik tersebut diharapkan berkembang menjadi karakteristik orang dewasa. Anak-anak dalam fase perkembangannya butuh dipahami, dibimbing, dilindungi, dirawat, diasuh dan dilayani sesuai dengan kebutuhan perkembangannya sehingga ia dapat berkembang dengan baik dalam segala aspek sebagaimana seharusnya. Di sinilah peran perempuan diharapkan. Karena perempuan dewasa pernah menjadi anak-anak, maka ia dapat berempati dan mengasihi anak-anak. Kasih dan empati ini akan memampukan perempuan memahami, membimbing, melindungi, merawat, mengasuh dan melayani anak-anak. Dengan demikian, perempuan berperan positif dalam perkembangan anak.

 

  1. Pembelajar

Meskipun perempuan dewasa pernah mengalami masa kanak-kanak, tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak masa kini memiliki banyak perbedaan dengan anak-anak pada generasi sebelum mereka. Hal ini  salah satunya disebabkan oleh kemajuan teknologi dan globalisasi. Oleh karena itu, agar dapat menjalankan perannya dengan baik, maka perempuan harus mau belajar dan memiliki sikap mental seorang pembelajar. Pelajarilah dengan baik siapa anak yang ada di samping kita, entah itu anak, cucu, keponakan, anak didik, anak layan dan lain-lain.  Belajar dapat dilakukan melalui cara formal dan non formal. Saat ini ada banyak cara yang bisa ditempuh sebagai upaya belajar. Di atas semua itu, perempuan harus menjadikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Guru utama dan terutama. Belajarlah dari Tuhan Yesus! Kita dapat mencontoh Maria yang mengutamakan belajar dari Yesus. Ini dapat kita lihat pada Lukas 10:39b yang berbunyi: “Maria ini duduk di dekat Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya.”

  1. Bijaksana

Agar dapat memahami, membimbing, melindungi, merawat, mengasuh dan melayani anak, perempuan harus bijaksana. Tidak boleh reaktif dan emosional dalam menghadapi anak termasuk ketika anak melakukan hal-hal yang dianggap menjengkelkan.  Dalam Matius 25:1-13 kita dapat belajar tentang gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh. Untuk dapat menjadi bijaksana, seorang perempuan harus berhikmat. Hikmat merupakan buah dari takut akan Tuhan, sebagaimana yang tertulis dalam Amsal 9:10a (Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN).

 

  1. Berkarakter

Karakter adalah hal yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan manusia termasuk dalam memahami, membimbing, melindungi, merawat, mengasuh dan melayani anak. Mana mungkin bisa mengasuh anak dengan baik jika kita masih berkarakter pemarah. Tidak mungkin bisa mengurus anak jika kita seorang pemalas. Banyak orang gagal dalam mendidik anak karena tidak berkarakter. Untuk dapat melakukan tugas pelayanan ini, perempuan harus berkarakter. Pembentukan karakter Kristiani hanya dapat terjadi jika orang mau “hidup nempel” dengan Tuhan. Karakter adalah buah dari “nempel” dengan Tuhan Yesus Kristus. Ibarat ranting yang tidak mungkin dapat hidup dan berbuah jika ia tidak melekat pada pokoknya, demikianlah kita sebagai perempuan tidak mungkin dapat hidup dan berbuah jika kita “tidak nempel” pada Tuhan Yesus Kristus. Yohanes 15:5 berkata: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

  1. Sudah selesai dengan diri sendiri

Dalam Galatia 2:20 tertulis:  “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang sekarang kuhidupi di dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Selesai dengan diri sendiri. Hidup tidak lagi fokus dan dikendalikan diri sendiri. Kristuslah yang menjadi fokus dan pengendali. Keinginan bahkan kepentingan diri sendiri bukan lagi yang terutama. Orang yang sudah selesai dengan diri sendiri mampu memikirkan orang lain, mampu berbagi dengan orang lain, mampu memahami, mampu menolong dan melayani orang lain di tengah keterbatasan diri. Anak adalah individu yang unik. Dalam setiap fase perkembangannya, ia memiliki keunikan dan kebutuhan tertentu. Misalnya: senang diperhatikan, maunya didengarkan, manja dan lain-lain. Bukan berarti anak berkarakter buruk, tetapi ini adalah karakter khas yang melekat pada anak-anak pada umumnya. Perempuan yang sudah selesai dengan dirinya sendiri akan mampu mendidik dan melayani anak-anak dengan segala dinamika dalam setiap fase perkembangan mereka. Perempuan yang sudah selesai dengan dirinya sendiri menjadi efektif dalam pelayanannya terhadap anak dan ini berdampak positif bagi perkembangan anak.

 

  1. Pendoa

Banyak sekali tantangan dalam mengasuh dan mendidik anak. Saat ini, internet menjadi saingan terberat orangtua. Selain itu, setiap saat anak bisa saja diterkam oleh predator karena para predator ada di mana saja di luar jangkauan kita. Oleh sebab itu, doa menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Berdoalah bagi anak-anak wahai perempuan! Dengan berdoa, kita dapat memohon belas kasihan Allah agar melindungi anak kita dan anak yang lainnya, seperti yang tertulis pada Kolose 1:9-11 (“Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu, Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah, dan dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemuliaan-Nya untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar, dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang.”)

 

  1. Menjadi teladan iman

Memberikan teladan adalah cara paling efektif dalam mendidik anak. Jika perempuan ingin  membimbing, mengajar dan mendidik anak, maka ia harus dapat menjadi teladan. Dalam 2 Timotius 1:5 tertulis: “Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.”Dari ayat ini dapat kita lihat bahwa iman dapat diturunkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya melalui keteladanan. Entah kita sebagai ibu, nenek, tante, guru, guru sekolah minggu dan lain-lain, dalam intertaksi dan pelayanan kita kepada anak-anak, kita harus dapat menjadi teladan.

  1. Cakap

Kecakapan yang dimiliki oleh perempuan sangat berguna dalam pelayanannya terhadap anak. Perempuan yang cakap seperti yang tertulis dalam Amsal 31: 10-31, selain menggembirakan hati suaminya, juga akan membahagiakan anak-anaknya (Baca Amsal 31: 10-31). Hati anak yang berbahagia tentu berdampak positif terhadap segala aspek perkembangannya.

Perkembangan anak tak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Oleh karena itu, sebagai perempuan mari  kita menjalankan peran dengan baik agar dapat berdampak positif dalam perkembangan anak! Tuhan Yesus Kristus kiranya memampukan kita menjalankan peran ini. Amin.  (SRP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× How can I help you?