Oleh : Susi Rio Panjaitan
Menjadi Guru Sekolah Minggu bukan hal mudah. Pada bahu Guru Sekolah Minggu terletak tanggung jawab yang berat. Padanya diberikan kepercayaan sekaligus tugas yang besar. Paling tidak, ia turut bertanggung jawab dalam membentuk karakter dan iman satu generasi di gereja tempat ia melayani. Hidupnya disorot. Perilaku, penampilannya dan tutur katanya diperhatikan orang. Ada standard tertentu untuknya. Selain itu, Guru Sekolah Minggu dituntut untuk dapat mengajar dengan baik, tak perduli apakah ia berlatar belakang pendidikan guru atau tidak. Ia harus bisa memahami anak dengan baik walaupun ia tak berlatar belakang pendidikan psikologi. Ia juga harus memahami isi Alkitab, meskipun ia tidak berlatar belakang pendidikan teologia. Ia pun harus memiliki daya kreatifitas yang tinggi.
Sebagai individu, komunitas, peran, dan tugas serta tanggung jawab seorang Guru Sekolah Minggu tidak hanya di gereja dan Sekolah Minggu. Ia bisa seorang istri, suami, ayah, ibu, anak, karyawan, pengusaha, mahasiswa dan lain sebagainya, yang dalam kesemuanya itu ia pun punya tugas dan tanggung jawab. Karena ia seorang Guru Sekolah Minggu, sering kali padanya dituntut lebih banyak dibanding orang lain yang bukan Guru Sekolah Minggu. Misalnya: Jika ia seorang karyawan, walaupun tidak ada aturan tertulis, ia dituntut lebih luwes, lebih ramah, lebih sabar, lebih disiplin, lebih sopan, lebih murah hati, lebih suka menolong dan lain-lain di banding karyawan lain. Jika ia seorang mahasiswa, maka ia dituntut hal yang sama. Bila ketahuan menyontek, maka akan dikatakan: “Waduhhhh, katanya Guru Sekolah Minggu. Kok nyontek? Apa dong yang diajarin ke Anak-anak Sekolah Minggu?” Jika seorang Guru Sekolah Minggu sudah berumah tangga, maka relasi dan kehidupan rumah tangganya pun akan disorot. Jika ia single, pergaulannya akan diperhatikan dan dinilai orang. Singkat kata, cukup tinggi standard nilai/moral dan spritualitas yang dipakai untuk Guru Sekolah Minggu. Hidupnya diharapkan dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi orang lain terutama bagi Anak-anak Sekolah Minggu. Padahal, sama halnya dengan individu lainnya, Guru Sekolah Minggu juga menghadapi berbagai pergumulan hidup. Oleh karena itu, kondisi kesehatan mental Guru Sekolah Minggu menjadi faktor yang sangat menentukan.
Kesehatan mental ada pada tataran kondisi psikologis seseorang. Kesehatan mental seseorang dapat dikatakan baik jika ia merasa aman, nyaman dan sejahtera dengan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya. Jika kesehatan mental Guru Sekolah Minggu baik, maka ia dapat berpikir dengan baik. Kemampuan berpikir yang baik ini akan membuatnya mampu mengambil keputusan dan berperilaku yang dengan baik (sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat) serta juga dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. Orang dengan kesehatan mental yang baik menjadi produktif dan kreatif karena ia memahami segala potensinya dan mampu menggunakan serta mengembangkan potensinya tersebut. Ketika menghadapi masalah, ia mampu berpikir dengan jernih dan positif. Tidak reaktif tetapi responsif. Dengan demikian, ia dapat berkontribusi pada keluarga, komunitas, lingkungannya gereja dan Sekolah Minggu. Kesehatan mental yang baik juga berpengaruh kepada kesehatan fisik Guru Sekolah Minggu. Ia tampak segar, ceria dan bersemangat. Ia mengeluarkan energi positif dan orang-orang di sekitarnya dapat merasakan hal tersebut.
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang, antara lain: riwayat gangguan kesehatan mental dalam keluarga, trauma, gaya hidup yang tidak sehat (bergadang, mengkonsumsi alkohol, kecanduan, napza) dan cedera pada otak. Jenis penyakit mental antara lain: bipolar; depresi; delusi; skizofrenia; gangguan kecemasan; fobia; serangan panik; obsessive compulsive disorder (OCD) dengan gejala sebagai berikut: suka berteriak; delusi; halusinasi; gangguan konsentrasi; merasa takut dan khawatir yang berlebihan dan tanpa alasan; merasa bersalah yang berlebihan atau tanpa alasan; tidak mampu mengelola stres; marah yang berlebihan atau tanpa alasan; berpikir untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain; menarik diri; merasa sakit pada bagian tubuh tertentu; paranoia; mengalami perubahan suasana hati yang drastis; tampak bingung; pelupa; mudah tersinggung; merasa kesal, sedih, lelah; merasa tidak berarti; merasa tidak berdaya; putus asa; menjadi merokok, minum alkohol, menggunakan narkoba padahal sebelumnya tidak; selera makan berubah dengan drastis; mengalami perubahan gairah seksual; energi menurun; mengalami masalah tidur; kehilangan kemampuan merawat anak diri/anak/keluarga; tidak mau ke sekolah atau tempat kerja serta tidak mampu memahami situasi dan orang lain.
Jika Guru Sekolah Minggu mengalami gangguan kesehatan mental, selain akan berdampak buruk bagi dirinya sendiri, keluarga, pekerjaan/studinya, dan relasinya, ia juga tak dapat melakukan tugas pelayanannya dengan baik. Kualitas pelayanannya akan terganggu dan pasti berdampak tidak baik bagi keseluruhan pelayanan di Sekolah Minggu. Oleh karena itu, Guru Sekolah Minggu harus perduli terhadap kesehatan mentalnya dan juga kesehatan mental Guru Sekolah Minggu yang lainnya. Sama halnya dengan kesehatan fisik, kesehatan mental juga harus dirawat. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan oleh Guru Sekolah Minggu sebagai upaya merawat kesehatan mentalnya:
Mengasihi Diri Sendiri
“Siapa memperoleh akal budi, mengasihi dirinya.” Demikian tertulis dalam Amsal 19:8. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa orang yang berakal budi mengasihi dirinya. Ayat ini menarik sekali untuk direnungkan. Banyak orang yang merasa mengasihi diri sendiri padahal sesungguhnya tidak. Gaya hidupnya, perilakunya dan lain sebagainya mengatakan hal kebalikannya. Orang yang mengasihi diri sendiri akan memperlakukan dirinya dengan baik. Ia akan menjaga dan merawat dirinya. Ia tidak akan merusak dirinya. Orang yang mengasihi dirinya tentunya tidak akan mengkonsumsi napza, tidak akan melibatkan diri dalam berbagai bentuk aktifitas yang tidak sehat dan berbahaya. Ia tidak akan menyiksa dirinya sendiri dengan target-target hidup yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal. Ia akan memelihara dirinya sedemikian rupa. Ia peka terhadap suara tubuhnya karena ia dekat dengan dirinya. Ia tahu dan dapat melihat dengan jelas jika dirinya bergembira, merasa nyaman dan aman. Ia juga dapat mendengar dengan jelas ketika dirinya berkata lelah, tidak nyaman, tertekan atau sakit serta tahu apa yang harus dilakukan ketika dirinya bersuara demikian. Ia membebaskan dirinya untuk bersyukur dan menikmati hidup yang Allah anugerahkan kepadanya.
Selain itu, ada banyak orang sulit yang mengasihi diri sendiri. Mengasihi diri sendiri dianggap sebagai suatu sikap yang egois. Padahal, kemampuan mengasihi orang lain/sesama diawali dari mengasihi diri sendiri. Dalam Matius 22:39 tertulis: “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Jadi, bagaimana mungkin kita mengasihi sesama jika kita tidak mengasihi diri sendiri? Tidak mungkin kita dapat mengasihi orang lain seperti yang Allah perintahkan jika kita tidak mampu mengasihi diri kita sendiri. Oleh sebab itu, mari belajar mengasihi diri sendiri! Pekalah terhadap suara tubuh sendiri. Beristirahatlah ketika tubuh berkata lelah! Perlakukanlah diri sendiri dengan baik. Jangan biarkan diri memikul beban yang terlalu berat yang tak mampu dipikul! Dari pada membiarkan diri memikul beban berat yang tak dapat dipikul, lebih baik menerima undangan Tuhan Yesus yang berkata: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28)
Menjaga Pikiran
Seringkali kita menjadi susah hati dan terlibat dalam banyak masalah karena pikiran kita sendiri. Berpikiran negatif tentang keadaan, orang lain, bahkan Tuhan. Berpikir terlalu jauh sehingga menjadi cemas dan takut. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma yang tertulis pada Roma 12:3 Paulus berkata: “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Selain itu, Paulus dan Timotius dalam surat mereka kepada jemaat di Filipi yang tertulis dalam Filipi 4:8 mengatakan: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Perkataan Paulus ini sangat benar dan berlaku juga untuk kita. Agar kita memiliki kesehatan mental yang baik, maka kita harus dapat menjaga dan mengelola pikiran kita sedemikian rupa. Mari belajar menyelaraskan pikiran dan perasaan kita dengan pikiran dan perasaan Kristus seperti yang tertulis dalam Filipi 2:5 (Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus)!
Menjaga Hati
Dalam Amsal 4:23 tertulis: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Hati manusia memegang peran yang sangat penting. “Segala sesuatu tergantung dari hati kita”, begitu kata seorang sahabat penulis. Banyak persoalan dan masalah kesehatan muncul, baik kesehatan fisik dan mental karena hati. Amarah, kebencian, dendam dan iri hati adalah berbagai jenis “penyakit hati” yang dapat merusak diri kita sendiri, termasuk merusak kesehatan fisik dan mental kita. Sama halnya dengan pikiran, hati juga harus dikelola sedemikan rupa. Emosi negatif tidak boleh menguasai diri kita, termasuk kekuatiran dan ketakutan. Dalam Matius 6:25 Tuhan Yesus bersabda: ”Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?”
Jangan biarkan ketakutan dan kekuatiran menguasai diri kita karena itu sangat berbahaya bagi kesehatan mental kita! Sebaliknya, mari menerima nasehat Petrus untuk menyerahkan segala kekuatiran kepada Tuhan Yesus Kristus karena Ia yang memelihara kita (1 Petrus 5:7)!
Menerapkan Pola Hidup Sehat
Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Manusia baru dapat dikatakan manusia jika memiliki ketiga hal tersebut dalam waktu bersamaan. Ketika manusia masih hidup, ketiga komponen ini (tubuh, jiwa dan roh) saling mempengaruhi. “Mens Sana in Corpore Sano” . Ya, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Contohnya: Jika perut kita lapar sekali, kita bisa pusing. Jika pusing tidak bisa berpikir dengan baik dan emosi negatif bisa tersulut dengan mudah. Atau, jika seseorang sakit dalam waktu yang sangat lama dan ia menderita karena hal itu, itu dapat mempengaruhi spiritnya. Masih banyak contoh lain yang membuktikan bahwa tubuh, jiwa dan roh saling mempengaruhi.
Demikian juga halnya dengan kesehatan mental. Kondisi fisik sangat mempengaruhi kesehatan mental. Oleh karena itu, kita harus menjaga pola hidup kita. Hiduplah dengan pola hidup sehat! Pilihlah makanan dan minuman yang sehat dengan porsi yang dibutuhkan oleh tubuh! Olahraga dan paparan sinar matahari pagi adalah salah satu yang direkomenndasikan oleh banyak ahli kesehatan mental. Ini masuk akal. Paparan sinar matahari pagi dan olahraga membuat tubuh menjadi rileks. Sirkulasi darah ke otak menjadi lebih lancar. Hal ini membuat orang dapat berpikir jernih. Kemampuan berpikir jernih tentu membuat orang mampu mengambil keputusan-keputusan yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan.
Menjalin dan Memelihara Relasi yang Sehat
Dalam Pengkhotbah 4:9a tertulis: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri.” Dari ayat ini jelas terlihat bahwa manusia adalah makluk sosial. Dalam hidupnya, terlepas dari apapun status perkawinannya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Ia butuh berkomunikasi dan berelasi dengan orang lain, entah itu sahabat, kerabat, kolega, pasangan, anak-anak, saudara, orangtua, rekan sepelayanan dan lain-lain. Manusia butuh terhisap dalam suatu komunitas atau persekutuan.
Sayangnya, tidak semua orang atau komunitas berdampak sehat bagi kita. Ada yang disebut “toxic relationship”. Istilah “toxic relationship” adalah satu istilah yang digunakan untuk suatu hubungan yang tidak sehat. Dalam hubungan itu tidak adalah lagi saling mengasihi, menghargai, mengampuni, melayani dan lain-lain. Hubungan seperti ini tentu saja berbahaya bagi kesehatan mental. Oleh karena itu, jika kita ada dalam satu hubungan atau komunitas yang tidak sehat seperti ini, kita perlu berpikir ulang dan melakukan evaluasi. Mengapa hal ini terjadi? Bagaimana cara untuk menyehatkan relasi dan komunitas ini? Suatu relasi hanya dapat terbangun jika ada komunikasi yang baik. Jangan sungkan untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan apa yang kita rasakan dan pikirkan tentang relasi atau komunitas tersebut! Sampaikan hal ini kepada pihak-pihak terkait dengan cara, waktu dan tempat yang tepat! Jika segala upaya sudah dilakukan tetapi tetap saja tidak ada perbaikan karena pihak-pihak terkait enggan melakukan perbaikan, demi merawat kesehatan mental, keluar dari sana dengan damai sejahtera adalah pilihan yang dapat dipertimbangkan.
Melakukan Manajemen Stres
Sepanjang hidup orang pasti mengalami stres. Mulai dari bangun tidur sampai akan tidur lagi, ada saja hal yang dapat memicu stres. Seringkali stres tidak dapat dihindari. Jika tidak dikelola stres dapat menjadi pemicu masalah kesehatan mental. Inilah yang disebut dengan distress. Oleh karena itu, stres harus dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan hal yang baik. Stres yang dikelola dan dimanfaatkan dengan baik dapat meningkatkan daya kreatifitas sehingga mendatangkan kebaikan bagi kita. Langkah awal yang dapat kita lakukan untuk mengelola stres adalah datang kepada TUHAN, seperti yang tertulis dalam Mazmur 118:5 “Dalam kesesakan aku datang kepada TUHAN. TUHAN telah menjawab aku dengan memberi kelegaan.” Apakah saat ini Anda sedang stres? Datanglah kepada TUHAN. Ia pasti menjawab dan memberi kelegaan kepada Anda!
Menolong Orang Lain
Ketika kita menolong orang lain, itu artinya hidup kita berguna bagi orang tersebut. Merasa bahwa diri kita berguna bagi orang lain adalah hal yang baik untuk kesehatan mental. Dalam banyak masalah kesehatan mental, orang menjadi depresi dan enggan melanjutkan hidup karena merasa hidupnya tidak berguna. Oleh karena itu, mari mengupayakan agar diri kita dapat berguna bagi orang lain. Mari belajar untuk tidak hanya mementingkan dan mengutamakan diri sendiri, melainkan memikirkan dan mengutamakan kepentingan orang lain! Dengan demikian hidup kita akan menjadi berguna. Berguna bagi Tuhan dan berguna bagi sesama.
Melakukan Aktifitas Fisik
Tubuh kita terdiri dari banyak bagian yang terhubung satu sama lain sehingga membentuk berbagai sistem. Otot dan persendian membutuhkan gerak, demikian juga dengan sistem penafasan, sistem pencernaan dan yang lainnya. Oleh karena itu, agar dapat bekerja dan berfungsi dengan baik, tubuh harus bergerak. Dapat bergerak dengan baik merupakan salah satu tanda bahwa tubuh kita sehat. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh pada status kesehatan mental. Selain itu, aktifitas fisik dapat menghindarkan kita dari berpikir yang tidak berguna yang memicu gangguan pada kesehatan mental.
Relaksasi dan Refresing(Me Time)
Relaksasi adalah upaya untuk membuat diri menjadi rileks. Setelah berbagai hal dan kejadian yang membuat otot-otot dan pikiran menjadi tegang, kita membutuhkan relaksasi dan refreshing (penyegaran). Saat ini dikenal istilah “me time”, yang diartikan sebagai waktu untuk diri sendiri. Keluarga, pekerjaan bahkan pelayanan termasuk pelayanan di Sekolah Minggu dapat membuat kita menjadi sibuk sedemikian rupa. Semua tenaga, waktu, konsentrasi dan daya tercurah untuk semua hal itu. Tak ada waktu untuk diri sendiri. Memberikan perhatian kepada keluarga, pekerjaan, sahabat dan pelayanan tentu sangat baik, tetapi jangan lupa merawat kesehatan mental diri sendiri. Bagaimanapun, selain mahluk sosial, manusia adalah mahluk individual. Oleh karena itu, kita harus seutuhnya mencintai diri sendiri dan merawat diri sendiri.
Setiap orang punya cara berbeda dan unik dalam mengisi “me time”. Yang pasti, “me time” harus diisi dengan hal-hal yang menyenangkan dan bermanfaat bagi diri sendiri. Misalnya berenang, merawat diri ke salon, berleha-leha di rumah sambil membaca buku karya penulis favorit, memasak makanan kesukaan (bukan karena tuntutan kebutuhan keluarga), berkebun dan lain-lain. Ada juga orang yang mengisi “me time”nya dengan hal-hal yang rohani, seperti retreat pribadi, mendengarkan lagu-lagu rohani, mendengarkan kotbah, membaca Alkitab, membaca buku-buku rohani dan lain sebagainya. Meluangkan waktu untuk “me time” dan mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan dan bermanfaat bagi diri sendiri, dapat membuat kita menjadi rileks, segar kembali secara fisik dan mental. Hal ini sudah pasti akan meningkatkan status kesehatan mental kita.
Sama halnya dengan penyakit fisik, setiap orang berisiko terkena penyakit mental. Oleh karena itu, kita harus belajar merawat kesehatan mental kita. Kewaspadaan harus ditingkatkan jika dalam keluarga kita ada riwayat gangguan kesehatan mental. Selain itu, jika kita merasa mengalami tanda gangguan kesehatan mental, jangan malu untuk meminta bantuan kepada tenaga ahli, misalnya psikolog atau dokter spesialis kesehatan jiwa (psikiater). Jika ditangani dengan tepat, gangguan kesehatan mental dapat dikendalikan sehingga kita dapat menjalani hidup dengan baik, berkarya, berprestasi, melayani dan tentu saja bahagia. Selamat melanjutkan pelayanan di Sekolah Minggu. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Tuhan Yesus Kristus, Tuhan kita.” – 1 Tesalonika 5:23 – (SRP)