GEREJA MEREFORMASI DIRI: PERLUKAH?

Bagikan:

Oleh : Rolf Rudiger Bernstein

GEREJA MEREFORMASI DIRI: PERLUKAH?

Jawabnya sebenarnya singkat saja: Ya, memang perlu … perlu sekali! Tetapi kalau hanya itu kontribusi saya kepada topik kita hari ini mungkin saudara-saudara tidak akan puas dan akan bertanya: mengapa perlu! Adakah bukti-bukti untuk perlunya gereja mereformasi diri? Saya mau mencoba mengemukakan beberapa alasan mengenai perlunya reformasi yg harus jalan terus.

Dalam Perjanjian Baru terdapat berbagai-bagai gambar mengenai gereja. Misalnya: Gereja sebagai tubuh, sebagai bait suci, sebagai mempelai perempuan, sebagai rumah rohani dan sebagainya,  tetapi kalau memikirkan pergumulan atau perang gereja di dunia ini saya suka gambar yang lain, yaitu gereja sebagai kapal.  Memang gambar gereja sebagai kapal tidak terdapat dalam Perjanjina Baru, namun kupikir gambar tersebut berguna juga. Di Jerman ada sebuah lagu rohani yang memakai gambar tersebut, begini bunyinya:

Ein Schiff, dass sich Gemeinde nennt, fährt durch das Meer der Zeit …“ bahasa Indonesia: „Sebuah kapal yang disebut gereja berlayar melintasi lautan waktu …“

Kita semua tahu bahwa kapal-kapal yang berlayar di laut terus dilanda dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan tertentu, khususnya angin dan berbagai-bagai arus. Demikian juga dengan gereja di dunia ini. Ia terus dipengaruhi oleh „Zeitgeist“, artinya oleh  berbagai-bagai ide-ide, gerakan-gerakan, filsafat-filsafat dan sebagainya, yang mempengaruhi „iklim mental“. Begitu terjadi terus sejak gereja ada. Gereja terus diperhadapkan dengan berbagai-bagai filsafat.

Tetapi kembalilah kita sebentar kepada gambar kapal! Apa yg perlu supaya sebuah kapal tetap tinggal pada jalurnya sehingga bisa menuju tujuannya? Jelaslah, yang pertama perlu adalah daun kemudi supaya kapalnya bisa dikemudikan. Yang kedua, yang perlu adalah seorang juru mudi yang cakap. Tetapi itupun belum cukup. Apa lagi yg masih mutlak perlu? Yang mutlak perlu ada kompas. Tanpa kompas bagaimana sang juru mudi bisa tetap tinggal pada jalurnya?  Itu tidak mungkin!

Demikian juga dengan gereja!  „Kompas“ buat gereja adalah Kitab Suci – Firman Tuhan! Kalau para juru mudi di gereja tidak sungguh-sungguh berusaha untuk berorientasi pada kompasnya, yaitu Firman Tuhan, gereja pasti akan sesat. Buktinya adalah keadaan rohani gereja pada zaman Luther – 500 tahun yang lalu. Kapal yang bernama gereja waktu itu sudah menyimpang dari jalur yg benar. Karena itu pentingnya berpegang pada Kitab Suci sebagai kompas untuk gereja  diperjuangkan para reformator. Kata semboyan mereka menjadi „Sola scriptura“. Hanya Kitab Sucilah pedoman yang benar. Kata pemazmur: „Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.“  Pernyataan ini tidak hanya berlaku untuk sang pemazmur saja, melainkan untuk gereja segala zaman. Mengapa prinsip „sola scriptura“ begitu penting buat para reformator dulu? Karena pada zaman mereka gereja sudah jauh menyimpang dari jalur yang benar! Seandainya tidak demikian untuk apa perlunya reformasi? Para reformator perhatikan, bahwa sudah lama gereja tidak lagi memakai Kitab Suci sebagai pedoman, melainkan di samping Kitab Suci juga tradisi manusiawi dan ajaran-ajaran filsafat. Mereka yakin bahwa gereja pasti akan terus menyimpang dari jalur yg benar kalau prinsip „sola scriptura“ dikesampingkan. Sama seperti sebuah kapal pasti akan sesat, kalau kompasnya tidak lagi dipakai sebagaimana mestinya. Dan begitulah terjadi.

Pada zaman Calvin, gereja di Jeneva adalah gereja reformatoris, artinya gereja berpegang pada kitab suci sebagai pedoman untuk dogma dan hidup kristiani. Tetapi sekarang gereja di Jenewa sudah jauh menyimpang dan tidak bisa lagi disebut gereja reformatoris seperti pada zaman Calvin.

Rupanya sulit buat gereja tetap tinggal pada jalur yg benar. Dan bukan hanya di gereja muncul masalah itu, melainkan juga di organisasi-organisasi Kristen umumnya.

Contoh yang lain adalah pengaruh gerakan pencerahan, yang pada dasarnya menobatkan akal budi manusia sebagai „raja“. Akibatnya, akhirnya muncul  teologi liberal dengan metode historis-kritis dalam penafsiran Alkitab. Saya sedih memikirkan, bahwa justru negara Jerman yang dulunya mengalami berkat Tuhan yg luar biasa melalui reformasi, tetapi mulai abad ke-19 Jerman menjadi sumber teologia liberal yg tersebar di mana-mana sambil  „meracuni“ dan melemahkan gereja-gereja di seluruh dunia.  Sekarang semua fakultas teologia di Jerman liberal adanya dan jemaat dipimpin oleh pendeta-pendeta tamatan fakultas-fakultas itu, yang tidak lagi menyakini Kitab Suci sebagai Firman Tuhan yang dapat dipercayai dalam segala hal. Bagaimana efeknya terhadap gereja? Gereja di Jerman, maksud saya gereja „resmi“ (the mainline churches) sangat lemah secara rohani. Masih banyak orang terdaftar sebagai anggota, tetapi yang hadir dalam kebaktian pada hari minggu sedikit saja. Mengapa demikian? Alangkah menyedihkan perkembangan ini! Ada masih banyak contoh lain yg bisa disebut.

Ternyata sangat sulit buat gereja untuk tetap berpegang pada Injil. Sudah pada zaman Perjanjian Baru terjadi segala macam peperangan rohani dengan guru-guru sesat. Dalam surat Galatia Paulus menulis:  Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.   

Dalam pesan terakhir kepada para penatua di Efesus, Paulus menekankan begini:

(Kisah 20, 28) … jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah …

Pernah seorang pemimpin Gereja (saya sudah lupa namanya) berkata: Gereja rusak melalui pelayan-pelayannya yang tidak pernah dipanggil! Bukan musuh-musuh dari luar yang menjadi bahaya terbesar untuk gereja, melainkan musuh-musuh dari  dalam, yaitu mereka yg diseledupkan ke dalam gereja sebagai agen-agen iblis.

Alangkah berat tanggungjawab seorang pemberita Firman Tuhan, entah namanya Evangelis, Pendeta atau penatua. Kalau seseorang memberanikan diri memutarbalikkan Firman Tuhan, berat sekali hukumannya. Kita harus selalu ingat, bahwa Injil itu bukan berita yg dipikirkan manusia, sehingga boleh saja diubah sesuka hati sesuai dengan perkembangan zaman – artinya  sesuai dengan pemikiran dunia sezaman. Jangan!

Paulus menekankan: (Gal.1) „11 Sebab aku menegaskan kepadamu, saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil manusia. 12 Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus.

Oleh karena itu para pelayan harus menjaga diri dan tidak pernah lupa, bahwa mereka kelak harus mempertanggungjawabkan ajaran mereka di hadapan Tuhan.

Di 1.Kor 4 Paulus menulis: Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. 2 Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.

Terjemahan ayat ini dalam bhs Inggeris lebih akurat..

This is how one should regard us, as servants of Christ and stewards of the mysteries of God.2 Moreover, it is required of stewards that they be found faithful. (Stewards have to be faithful) Sejogyanya setiap hamba Kristus berusaha agar tetap setia dalam menunaikan tugasnya. Teladan utama buat hamba-hamba Kristus adalah Rasul Paulus. Silahkan baca dan renungkanlah khotbah perpisahannya kepada para penatua dari Efesus di Kisah 20.

Yang terakhir tetapi tidak kalah penting, saya mau mengemukakan suatu peringatan mengenai ungkapan yg cukup sering kedengaran, yaitu:

ecclesia reformata, semper reformanda“ artinya: Gereja reformatoris harus senantiasa direformasi. Awaslah, sebab gampang saja muncul salah pengertian mengenai semboyan itu. Seolah-olah gereja harus ikut dalam arus dunia dan bahwa itu perlu supaya pelayanan dan pemberitaan Gereja tetap relevan untuk generasi sezaman.  Dengan kata lain, gereja harus terus menyesuaikan diri dengan Zeitgeist yang tentu terus-menerus berubah-ubah. Sebagai contoh aktuil di dunia bagian barat adalah soal homosex. Kira-kira 20 tahun yang lalu para peserta sinode umum masih sependapat bahwa tidak ada ungkapan-ungkapan positif dalam Alkitab mengenai homosexualitas karena jelas itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tahu-tahu, sekarang bukan hanya pernikahan homosex diberkati di Gereja, melainkan juga ada pendeta-pendeta yang hidup bersama dalam perkawinan homosex.

Kalau semboyan: ecclesia reformata semper reformanda diartikan demikian, itu sudah bertolak belakang dengan pesan yang terdapat dalam Firman Tuhan, yaitu agar tetap setia dan jangan menyeleweng. Tentu gereja harus berusaha mencari jalan yg terbaik untuk melayani umat manusia, tetapi isi Kitab Suci sekali-kali jangan dirubah.  

Pada dasarnya yang selalu menjadi pertanyaan ialah: Apakah seluruh isi Alkitab Firman Allah sungguh-sunggu dapat diandalkan? Janganlah kita lupa bahwa kita sebagai orang Kristen diperhadapkan dengan musuh yang luar biasa berkuasa, yaitu Iblis yang terus berusaha untuk merusakkan otoritas Kitab Suci – Firman Tuhan. Ia tahu, kalau ia berhasil dan gereja kehilangan kompasnya, gereja pasti akan menyimpang dari jalur yang benar dan akhirnya akan hancur. (RRB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *