PELAJARAN-PELAJARAN PENTING (BUAT SAYA) DARI TEOLOGIA MARTIN LUTHER

Bagikan:

Loading

Oleh : Rolf Rudiger Bernstein

Pendahuluan

Mula-mula setelah – dengan umur 21 tahun –  saya bertobat dan menjadi percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya, Martin Luther dan teologia tidak begitu berpengaruh dalam hidup saya. Memang sejak saya masuk sekolah saya mengenal nama Martin Luther – reformator dan penterjemah Alkitab. Tentu nama Martin Luther terkenal di Jerman – juga di antara mereka yg bukan Kristen. Tidak mungkin dalam waktu yang begitu singkat saya bisa menceritakan tentang segala ajaran Luther yang sudah menolong saya. Jadi secara singkat menyebut beberapa hal saja yang, khususnya yang menyangkut soteriologi (dogma keselamatan).

Mengesankan sekali buat saya adalah pengertian Luther mengenai Kekudusan Allah. Boleh dikatakan pengertiannya sangat dalam dan juga sekaligus pengertiannya akan kedudukannya sendiri sebagai manusia berdosa di hadapan Allah. Kedua hal ini saling berhubungan. Artinya, dengan mengenal Allah – manusia juga mengenal diri di hadapan Allah.

Dengan pengertian akan siapakah Allah (tentu maksudnya Allah yang telah menyatakan diri dalam Alkitab) tumbuh sekaligus pengertian akan siapakah manusia di hadapan Allah.  Luther sadar sepenuhnya bahwa ia akan binasa untuk selama-lamanya, karena Tuhan sebagai hakim yang kudus dan adil harus menghukum orang-orang najis, orang-orang berdosa.

Nabi Yesaya punya pengalaman yang mirip. Pada saat dia diperhadapkan dengan kekudusan Allah dalam bait suci, dia sangat terkejut karena ia segera sadar akan siapakah dia dihadapan Allah yang Maha Kudus, yaitu seorang najis yang akan binasa.

Karena itu Martin Luther tidak bisa hidup tenang-tenang saja. Ia tidak bisa menenangkan jiwanya dengan berpikir: Oh, Tuhan kan penuh kasih sayang. Dia akan mengampuni saya. Pada akhirnya semua akan baik-baik saja, jadi jangan kuatir. Tidak, dia dihinggapi rasa takut sekali memikirkan apa yang akan terjadi terhadap dia dalam penghakiman terakhir. Sebab itu dia berusaha sekuat-kuatnya mencari damai dengan Allah. Mula-mula dia menempuh jalan Rom Katolik. Menurut anggapan Rom Katolik pada zaman itu – dan sekarang barangkali masih juga – jalan terbaik yang pasti menuju sorga adalah dengan masuk biara dan menjadi rahib – dan itu dilakukannya.

Tapi ternyata segala kerajinannya, segala usahanya dalam mentaati semua peraturan – berpuasa, berdoa, mengaku dosa, menyiksa diri, mengambil bagian dalam sakramen misa dan sebagainya,  semuanya percuma saja, walaupun pergumulannya untuk menjalankan segala sesuatu dengan sempurna sangat mengesankan. Di kemudian hari, Martin Luther pernah mengatakan: “Seandainya pernah ada seorang rahib yang selamat bedasarkan ketaatanya dan usahanya dalam biara, akulah dia.”  Tidak ada rahib lain yang dapat menandingi dia dalam perjuangan mentaati segala peraturan agamawi.

Tetapi yang dicari itu – yaitu damai dengan Allah – tidak ditemukannya. Perlawanan dengan banyak kawan yang juga menempuh jalan yang sama dengan masuk biara  dan yang mengandalkan saja prestasinya sendiri dengan harapan bahwa itu akan cukup agar dapat diterima oleh Tuhan, Luther tidak bisa melakukan itu dan hatinya tetap gelisah memikirkan kekudusan dan keadilan Allah.

Dalam tafsiran surat Galatia, Luther bercerita tentang seorang pertapa yg bernama Arsenius. Pertapa tersebut punya reputasi yang sangat baik sebagai orang yang luar biasa suci hidupnya. Buat teman-teman sejaman, dia teladan besar. Tetapi tidak lama sebelum dia meninggal, dia berdiri dengan sedih hati dan memandang ke atas. Ketika ditanya mengapa ia berbuat demikian, Arsenius menjawab: “Saya takut mati.” Mendengar itu murid-muridnya coba menghiburnya. Kata mereka, bahwa tidak ada alasan sama sekali sehingga ia harus takut terhadap kematian, karena ia telah menjalankan hidupnya dalam kekudusan yang sempurna. Arsenius menyahut: “Memang saya telah berusaha sekuat-kuatnya mentaati segala hukum Allah, tetapi pengadilan Allah lain dari pada pengadilan manusia.” Lalu kepercayaannya akan segala perbuatan-perbuatannya yang baik hilang lenyap dan ia mulai putus asa.

Justru ini menurut pengalaman saya merupakan salah satu masalah terbesar buat umat manusia umumnya dan secara khusus buat mereka yg religius – artinya mereka yang rajin mengikuti peraturan-peraturan agama mereka.  Mereka mengandalkan prestasi agamawi mereka.

Tetapi Tuhan tidak mengizinkan Luther melakukan itu. Khususnya hukum pertama sangat menyusahkan hatinya: Kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap pikiran. Martin Luther berusaha sekuat-kuatnya untuk mentaati hukum pertama itu, tapi ia terus gagal. Tetapi yang sebaliknya terjadi, daripada makin bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan, ia mulai membenci Tuhan – membenci, karena Tuhan menuntut sesuatu dari manusia yang begitu berat, yang tidak bisa dilakukannya. Boleh dikatakan Luther mulai putus asa.

Di kemudian hari Luther mulai mengerti  bahwa maksud hukum Allah itu bukan untuk menyediakan sebuah tangga buat manusia untuk naik ke sorga (seperti rupanya anggapan Si Arsenius dan di samping dia banyak orang) – Tidak, melainkan kita baca  di Roma 3,20 : “ Sebab tidak seorangpun yg dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.“ Hukum Taurat berfungsi sebagai cermin – bukan untuk tubuh manusia – melainkan untuk jiwanya, untuk hatinya.  Hukum Allah diberikan dengan maksud supaya manusia dapat mengenal diri sebagai orang berdosa di hadapan Allah, mengenal diri sebagai orang berdosa yang sangat membutuhkan keselamatan.

Kedudukan kita di mata dunia tidak penting, yang penting adalah bagaimanakah kedudukan kita di hadapan Tuhan. Bagaimanakah kedudukan kita di hadapan Tuhan? – Roma 3,23: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Tidak ada yg terkecuali.

Jadi, Bagaimanakah Jalan Keselamatan?

Langkah pertama – menurut Luther adalah “deum iustifcare“ – artinya: Membenarkan Allah!  (justify God) Hal itu terjadi,  apabila kita menerima kebenaran firman Tuhan – khususnya dalam firman yang hidup, yaitu Yesus Kristus. Contoh mengenai “deum iustifcara“ kita lihat dalam sikap Daud. Ia berdoa: (Maz.51,6)  “Terhadap engkau, terhadap engkau sajalah, aku telah berdosa dan melakukan apa yang kau anggap jahat, supaya ternyata engkau adil dalam putusanmu dan bersih dalam penghukumanmu.“ Menurut Luther pembenaran Allah adalah prasyarat untuk bisa percaya. Langkah pertama adalah menerima vonis Allah atas hidup saya. Saya berkata: Ya, Tuhan itu adil kalau menghukum dan membuang saya. Dengan keputusan itu saya setuju dengan pandangan Tuhan mengenai diri saya. Dengan keputusan itu saya mengambil suatu posisi yang berlawanan dengan diri saya. Damai dengan Allah berarti sekaligus perang dengan diri sendiri. Tidak ada “ya“ tanpa adanya “tidak“. Ya kepada Allah dan firman-Nya dan tidak kepada pendapat dan pikiran sendiri akan keadaan di hadapan Allah. Allah telah menjatuhkan vonis terhadap manusia dan dunia, dan yang percaya menerima vonis tersebut. Menurut Luther, firman Tuhan ada dalam oposisi terhadap keinginan dan harapan manusiawi.  Malah Luther mengatakan: “Kalau pemberitaan Firman Tuhan dirasakan enak oleh para pendengar, berarti itu bukan firman Tuhan yg diberitakan.”

Manusia selalu ingin mendengar yang enak, yang menyenangkan hatinya – seperti pemberitaan para nabi-nabi palsu pada jaman Perjanjian Lama, yang hanya mengkonfirmasikan cara hidup rakyat dari pada memanggil mereka untuk bertobat, karena ternyata mereka sudah sangat menyimpang dari jalan Tuhan. Sebab itu nabi Yeremia dibenci oleh kawan-kawan sebangsa karena firman Allah yang disampaikannya tidak enak kedengaran.

Kita manusia bukan bagaikan “tabula rasa“ dalam relasi kepada Tuhan. Sebaliknya, hati kita penuh dengan segala macam bayangan dan pikiran tentang Allah. Kadang-kadang,  kalau saya coba bersaksi tentang Kristus, saya diperhadapkan dengan pendapat begini : Ya, saya juga percaya kepada Tuhan — tetapi bukan seperti kepercayaan kristen atau Islam. Saya mengikuti pikiran sendiri. Orang seperti itu membuat berhala buat diri sendiri. Itu namanya tidak percaya menurut pengertian Alkitab. Ketidakpercayaan menyatakan diri dalam sikap pembelaan diri di hadapan Allah dan memakai ukuran sendiri mengenai yang baik ataupun yang jahat, mengenai yang benar atau yang salah.

Juga orang kristen masih sering berada dalam bahaya mengikuti ukuran dan bayangan sendiri mengenai Allah dan tindakan-tindakanNya, dari pada mengikuti ajaran firman Tuhan. Kalau kita menerima vonis Allah terhadap kita – pada saat itu kita, boleh dikatakan, menjadi sependapat dengan Tuhan mengenai siapakah kita. Apabila itu terjadi kita juga mulai mengerti bahwa kita sungguh-sungguh membutuhkan seorang juruselamat – kita membutuhkan Yesus Kristus.

Bukankah justru itu suatu masalah besar, bahwa manusia pada umumnya sama sekali tidak sadar betapa besar kebutuhannya akan seorang juruselamat? Saya sering juga mendengar ucapan begini – orang berkata: Memang, aku percaya kepada Allah, tetapi untuk apa ada Yesus Kristus? – Rupanya mereka berpikir, kalau ada dosa, Tuhan bisa saja mengampuninya. Tuhan adalah Mahakuasa bukan, dan oleh karena itu dia dapat mengampuni begitu saja segala dosa. Jadi seorang juruselamat tidak diperlukan.

Menurut Luther, manusia tidak bisa mengerti dari diri sendiri akan kondisinya yang sebenarnya di hadapan Allah. Memang ada juga suatu kesadaran akan berbagai kekurangan dan kesalahan, sama seperti orang yang sakit menderita berbagai-bagai gejala. Tetapi diagnosa yang benar tidak diketahuinya malah tidak bisa diketahuinya. Manusia tidak tahu alangkah besar dan alangkah ngeri dosanya. Dia buta secara rohani akan kondisinya. Hanya dokter saja dapat membuat diagnosa yang tepat. Demikian juga Tuhan sebagai dokter yang unggul membuat diagnosa mengenai penyakit rohani manusia. Manusia dapat menerima diagnosa itu atau menolaknya. Yang percaya menerima diagnosa itu, yang tidak percaya menolaknya.

Luther menyebutnya: “menjadi orang berdosa“. Bukan makudnya seseorang mulai melakukan yang jahat. Tidak, yang dimaksudnya ialah pengertian manusia akan statusnya sebagai orang berdosa. Lewat iman akan firman Tuhan manusia mulai mengerti akan siapakah dia di hadapan Allah.

Luther juga mulai mengerti bahwa selama kita hidup di dunia ini, kita selalu, – setiap hari – harus hidup dengan mengandalkan kasih karunia Tuhan, karena hidup kita – juga sebagai orang Kristen – tidak pernah tanpa kesalahan dan macam-macam kekurangan. Sola gratia itu tidak hanya perlu untuk permulaan hidup kita sebagai Kristen, melainkan dibutuhkan sepanjang hidup kita. Kita tidak pernah akan mencapai suatu tahap dimana kita berkata: “Saya sudah sempurna, saya tidak lagi memerlukan kasih karunia Tuhan.” Sebaliknya terjadi, makin lama kita berjalan dengan Tuhan, makin dalam juga pengertian kita akan keadaan kita sebagai orang berdosa. Setelah saya bertobat, saya pikir, oh sekarang saya sudah menjadi milik Tuhan. Pasti segala kekurangan saya akan cepat hilang lenyap. Tidak, sebaliknya, makin lama saya berjalan dengan Bapa Sorgawi – makin saya sadar alangkah besar kebutuhan saya akan anugerah Tuhan. Tujuan kita sebagai Kristen bukan agar bisa hidup lepas dari Tuhan dan anugerah-Nya. Justru kebutuhan manusia akan Tuhan adalah suatu kehormatan yang mengangkat manusia ke atas segala makhluk yang lain.

Maka dengan hati yg penuh rasa syukur saya berkata bersama nabi Yeremia:  “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmatnya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaanmu!“

Bagaimana nasib kita kalau tidak demikian, kalau tidak besar kesetiaan Tuhan?- Terpujilah namanya! –

Sampai disinilah dulu sekelumit pikiran mengenai ajaran Luther yang sudah menjadi berkat buat saya. Terima kasih. (RRB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *