BUKAN GURU SEKOLAH MINGGU “KALENG-KALENG”

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Mendidik anak di era ini memiliki tantangan tersendiri. Ada cukup banyak perilaku anak yang dikeluhkan, seperti: dianggap tidak/kurang beretika, tidak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya bahkan orangtua kandungnya sendiri, berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma, terlibat dalam penyalahgunaan napza, dan melakukan hal-hal yang melanggar hukum Tuhan atau pun hukum positif. Akibatnya, banyak anak yang harus berhadapan dengan hukum bahkan dihukum. Orangtua dianggap sebagai pihak yang paling berkewajiban dan bertanggung jawab dalam mendidik anak. Banyak orangtua yang kewalahan dengan  perilaku anak-anaknya sehingga banyak dari antara mereka yang mencari pertolongan kepada profesional. Walaupun dikatakan bahwa tugas dan tanggung jawab mendidik anak ada pada orangtua, gereja  tidak boleh lepas tangan. Anak juga merupakan warga jemaat sehingga gereja pun harus melayani mereka.

Menjadi Guru Sekolah Minggu adalah kepercayaan sekaligus tanggung jawab yang diberikan Allah kepada orang-orang tertentu melalui gereja untuk melayani dan mendidik warga jemaat yang berusia anak. Melayani dan mendidik anak di gereja/Sekolah Minggu tentu bukan hal yang mudah. Peran dan tugas sebagai Guru Sekolah Minggu sangat besar. Agar pelayanan dan pendidikan anak di Sekolah Minggu dapat berjalan dengan baik dan berhasil, maka harus dikerjakan dengan sepenuh hati dan sebaik mungkin. Guru Sekolah Minggu yang sejati pasti mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sukacita, bersungguh-sungguh dan dengan segala upaya yang terbaik. Sebaliknya, Guru Sekolah Minggu ‘kaleng-kaleng” mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sekedarnya bahkan sembrono.  Yang dibutuhkan oleh anak adalah Guru Sekolah Minggu yang bermutu, bukan Guru Sekolah Minggu “kaleng-kaleng”

Setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan agar kita tidak menjadi Guru Sekolah Minggu “kaleng-kaleng”, yaitu karakter; komitmen; dan profesionalitas. Ketiga komponen ini saling terkait satu sama lain.

KARAKTER

Karakter seseorang adalah faktor penentu banyak hal dalam kehidupannya. Banyak orang gagal dalam pekerjaan, studi, atau berelasi bukan karena ia kurang cerdas atau kurang berketerampilan, tetapi karena masalah karakter. Tak jarang juga terjadi konflik di Sekolah Minggu yang diakibatkan oleh masalah karakter Guru Sekolah Minggu. Dalam kekristenan, karakter sangat terkait dengan bagaimana seseorang memberi dirinya hidup dalam pimpinan Roh. Jika seseorang memberi dirinya dipimpin oleh Roh, maka ia tidak akan menuruti keinginan daging yang adalah dosa, seperi percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora, dan sebagainya (Galatia 5:18-21). Sebaliknya, jika seseorang memberi dirinya dipimpin oleh Roh, maka ia menghasilkan buah yang manis yang disebut dengan buah Roh, yakni kasih, sukacita,  damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23).

Orang Kristen (pengikut Kristus) sering diidentikan dengan kasih. Artinya, hidup orang Kristen, termasuk Guru Sekolah Minggu harus merefleksikan kasih Kristus. Dengan demikian, kasih harus merupakan karakter Guru Sekolah Minggu. Dalam 1 Korintus 13:4-7 tertulis: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

KOMITMEN

Untuk dapat menjadi Guru Sekolah Minggu yang bermutu (bukan “keleng-kaleng”) maka seseorang harus memiliki komitmen yang tegas dan jelas. Dengan demikian, ia tidak akan mudah putus asa atau mundur dari pelayanan karena adanya faktor hambatan. Selain itu, ia pun harus berkomitmen melindungi anak. Artinya, dalam segala apa yang ia lakukan dalam pelayanan di Sekolah Minggu adalah hal-hal yang berguna untuk kepentingan terbaik anak. Ia tidak boleh melakukan penyesatan dan kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap anak. Ia harus menjadi pelindung bagi anak. Dalam beberapa kasus kekerasan terhadap anak (termasuk kekerasan seksual) ditemui bahwa yang menjadi pelaku adalah Guru Sekolah Minggu.

Dalam Pasal 20 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan: “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan OrangTua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.” Jadi, Guru Sekolah Minggu berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi anak.

Guru Sekolah Minggu juga harus berkomitmen untuk melayani dan mengajar Anak Sekolah Minggu dengan benar, sesuai dengan apa yang Kristus ajarkan, sehingga penyesatan terhadap anak tidak terjadi.  Tuhan Yesus memberikan ancaman sanksi yang sangat tegas dan berat kepada pelaku penyesatan terhadap anak. Dalam  Matius 18:6 Yesus mengatakan: “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”

Selain itu, Guru Sekolah Minggu harus  berkomitmen untuk menjaga hidupnya kudus di hadapan Allah dan di hadapan sesama. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Guru Sekolah Minggu harus dapat menjadi teladan bagi Anak Sekolah Minggu. Jangan sampai ada perilaku kita yang tidak benar sehingga  menjadi batu sandungan bagi Anak Sekolah Minggu.  Dalam 2 Timotius 2:21 tertulis: “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.”Jadi jelas, jika kita ingin Allah memakai hidup kita, maka kita harus menjaga hidup kita agar tetap kudus seperti yang Ia kehendaki.

PROFESIONALITAS

Pelayanan di Sekolah Minggu harus dilakukan dengan profesional. Dalam Kolose 3:23 tertulis: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Pada umumnya, orang tidak akan membantah jika diperintah oleh bosnya. Dengan bersegera orang akan melakukan apa yang disuruh oleh bosnya. Ia juga akan berusaha menunjukkan ekspresi  wajah yang baik di hadapan sang bos. Dengan berbagai alasan,  pada umumnya orang akan menuruti apa yang diminta oleh bos tanpa berani menunda apalagi membantah.  Dalam  Kolose 3:23 terdapat frasa “seperti untuk Tuhan”. Tuhan adalah bos di atas segala bos. Jika untuk bos yang ada di dunia ini saja kita mau dan mampu melakukan yang terbaik sesuai dengan apa yang bos minta, maka kita harus terlebih lagi berbuat yang terbaik kepada Tuhan. Merujuk pada pasal ini, maka kriteria profesional pada  Guru Sekolah Minggu adalah mau dan mampu melakukan semua tugas pelayanannya sebaik mungkin dengan standar seperti untuk Tuhan. Jadi, ketika seorang Guru Sekolah Minggu menyapu lantai ruang Sekolah Minggu, maka ia harus menyapu dengan benar-benar bersih karena ia menyapu lantai untuk Tuhan. Ketika Guru Sekolah Minggu bertugas mengajar di suatu kelas, maka ia akan mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin, karena ia bercerita untuk Tuhan.

Standar profesionalitas Guru Sekolah Minggu adalah mengerjakan tugas pelayanan seperti untuk Tuhan. Dengan demikian, Guru Sekolah Minggu yang profesional adalah Guru Sekolah Minggu yang: suka berdoa; suka membaca Alkitab; gemar belajar; mau diajar/dididik/; disiplin; bertanggung jawab; mau dan mampu bekerja dalam tim; suka menambah kapasitas diri; mampu menempatkan diri dengan baik; berpakaian dan berdandan dengan sopan dan pantas; tidak hitung-hitungan;  tidak menjadikan uang sebagai alasan untuk tidak melayani; serta melayani dengan hati. (SRP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× How can I help you?