DAMAI ITU INDAH

Bagikan:

Loading

Oleh: Pdt. Marihot Siahaan

Pertama-tama izinkanlah saya menyampaikan dengan tulus kepada saudara-saudara semua: “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.” Semoga Allah menerima seluruh ibadah saudara-saudara di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Amin.

Suatu kesempatan yang sangat indah bagi saya, diminta sebagai pembicara pada acara Pesantren Kilat (SanLat) di SMK Cipta Karya ini. Sangat indah, karena merupakan kesempatan pertama sekali bagi saya sebagai pembicara pada acara yang berkaitan dengan pesantren, yang sebelumnya tidak pernah terbayang dalam pikiran saya. Memang dalam tiga tahun belakangan ini saya banyak bertemu dan berkomunikasi dengan saudara-saudara komunitas Islam, Ustadz dan Kiyai-kiyai, tetapi menjadi pembicara di pesantren belum pernah. Mudah-mudahan melalui kesempatan yang indah ini kita semua memperoleh sesuatu yang dapat mencerahkan dan menjernihkan pikiran.

Damai itu indah, adalah suatu kalimat yang sering kita lihat pada spanduk yang ditebar sepuluh tahun belakangan ini, secara khusus di Jakarta. Membaca kalimat itu, entah kenapa dalam hati saya selalu menyimpulkan bahwa ungkapan itu pastilah dicetuskan oleh seorang yang beragama lain dari agama saya. Kesan yang sama terjadi dulu sebelum saya hijrah dari Sumatera Utara ke Jakarta, kalau saya membaca ungkapan “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Tetapi menarik, setiap saya membacanya saya merasa gembira, karena ungkapan-ungkapan itu menurut saya sangat indah, baik dan bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang bulu, suku, agama, ras dan aliran.

Dalam hidup damai ada kebersamaan. Boleh dikatakan juga bahwa hidup damai berarti hidup bersama. Kebersamaan dapat ditemukan dalam banyak hal, termasuk dalam melakukan sesuatu secara bersama. Duduk bersama, jalan bersama, lari bersama, nyanyi bersama, olahraga bersama, berjuang bersama dan kerja bersama. Kebersamaan bukan hanya mungkin bagi yang satu jenis, kelas, suku atau agama. Kebersamaan dan kerja sama yang lebih indah justru pada mereka yang memiliki perbedaan.

Adalah suatu fakta dan kenyataan bahwa di Indonesia, masyarakat yang majemuk setiap hari hidup dalam kebersamaan. Indonesia terdiri dari lebih dari 17.700 pulau. Ada lebih dari 300 suku, masing-masing dengan bahasa dan budayanya. Di samping penduduk Islam dengan jumlah terbesar di dunia, ada beberapa agama dan aliran kepercayaan hidup di Indonesia. Saya mempunyai keyakinan, mayoritas penduduk Indonesia sadar bahwa dalam kemajemukan itu setiap hari kita hidup dalam kerja sama dan kebersamaan. Dari memperjuangkan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan sampai hidup keseharian, masyarakat Indonesia tidak bisa lepas lagi kerja sama. Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu. Kita memang berbeda-beda tetapi satu hati, pikiran, pandang dan langkah menuju kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia. Ibarat kita sedang berada dalam perahu besar Indonesia, kita harus bersama-sama dan sekuat tenaga mendayung hingga sampai dermaga sejahtera.

Tetapi bagaimana menurut pandangan Agama, apakah kebersamaan dan bekerja sama diperbolehkan? Banyak kalangan agama yang mengharamkan kerja sama seperti itu. Tidak terkecuali dari kalangan Kristen. Orang-orang seperti ini lebih suka mengingat dan mempertajam perbedaan dari pada menceritakan persamaan. Lebih suka membanding-bandingkan bahwa agamanya lebih benar dari agama lain. Kelompok Kristen ekstrim misalnya dalam khotbah-khorbah/ceramah-ceramah sering berapi-api menyebut “keturunan Ismail” untuk menyebut Islam. Hal ini dilakukan hanya untuk mempertegas perbedaan Kristen dengan Islam. Anehnya mereka jarang menyebut diri sebagai “keturunan Ishak” (saudara Ismael). Tidak tahu apakah mereka pura-pura tidak tahu atau sama sekali tidak tahu bahwa dalam Alkitab diceritakan Ismael dan Ishak adalah bersaudara. Mudah-mudahan mereka tidak terlalu sering menonton acara komedi “Sitcom OB” yang ada di salah satu TV Swasta, sehingga selalu menganggap saudara Ismail adalah Sayuti. Dua minggu yang lalu seorang guru sekolah minggu bertanya kepada murid-muridnya di gereja: “Siapa saudara Ismail?” Murid-murid menjawab serentak: “Sayuti!”

Orang-orang Kristen seperti itu sulit menerima kerja sama dengan agama lain. Kerja sama dengan agama lain dianggap bertentangan dengan kehendak Tuhan dan ajaran Kristen. Karena itu di luar Kristen belum menjadi anak-anak Tuhan. Belum diselamatkan, tidak suci, najis dn kafir. Yang lebih ekstrim, bahwa sikap seperti itu tidak hanya diarahkan kepada yang berlainan agama, tetapi juga kepada orang Kristen yang dianggap tidak sepaham dengan mereka. “Saudara” bagi kelompok ini hanyalah yang meyakini ajaran mereka dan menjalankan tata cara-cara mereka. Di luar itu, semua masih hidup dalam kegelapan, najis dan kafir (yang tidak mungkin melakukan yang baik).

Tetapi apa kata Alkitab (Kitab Suci Kristen) akan hal itu? Dalam dua bagian Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, banyak ayat-ayat yang mengharuskan orang Kristen hidup damai dalam kemajemukan. Dalam kitab Kisah Para Rasul 10:28 dikatakan demikian: “Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahi.” Jelas, bahwa Allah melarang orang Kristen bersikap congkak, sombong dan menghakimi terhadap orang lain yang berbeda dengannya. Orang Kristen tidak boleh memandang rendah orang lain. Orang Kristen harus sadar bahwa setiap orang setara di hadapan Tuhan.

Prinsip demikian tentu menjadi jembatan atau pintu komunikasi yang sangat baik dengan orang lain yang berbeda latar belakang, tingkat, suku, agama, ras dan aliran. Karena di dalamnya terdapat sikap ingin mengenal dan menghargai orang lain. Dengan demikian, SARA bukan lagi ancaman penyulut konflik, tetapi menjadi kekuatan dalam kebersamaan/kesatuan. Saya pribadi selalu berharap SARA bukan lagi singkatan dari suku, agama, ras dan aliran, tetapi harus menjadi singkatan sekaligus punya makna “semua bersaudara”.

Alkitab juga mencatat kerja sama yang indah antara dua bangsa yang berlainan agama. Dalam 1 Raja-raja 5:1-12 disebut Salomo, raja Israel bekerja sama dengan Hiram, raja Tirus. Yang paling mengejutkan bahwa kerja sama kedua raja tersebut bukan saja yang bersifat sosial, tetapi kerja sama untuk membangun Bait Allah (rumah Allah). Hiram memasok bahan dan tukang untuk Salomo, sedangkan Salomo memasok bahan pangan untuk Hiram. Contoh ini mengingatkan saya kepada sebuah menumen “Salib Kasih” yang berdiri tinggi di atas bukit di daerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Ternyata, arsitek dan tukangnya beragama Islam. Demikian juga rumah pendeta di mana saya tinggal sekrang, tukangnya beragama Islam. Orang Kristen ekstrim akan menuduh itu sebagai kekafiran dan sinkritisme karena dibangun oleh tukang beragama Islam. Tetapi saya melihatnya sebagai contoh kerja sama yang baik dalam kemajemukan.

Ada juga teladan yang patut diteladani orang Kristen yang hidup dalam masyarakat majemuk, yakni Daniel. Dalam kitab Daniel 1:3-9 diceritakan bahwa Daniel tidak eksklusif. Ia rela hidup dan bekerja di Babilonia, yang bukan negerinya. Menjadi pegawai raja dan tinggal di istana raja. Dan yang paling menarik adalah, walaupun Babilonia bukan negaranya dan tidak menganut agama yang dianutnya, ia bekerja dan mengabdi sungguh-sungguh bagi kemakmuran negara itu. Dan ternyata ia menjadi pekerja teladan di negara dan agama lain.

Bagi orang Kristen, mengasihi musuh adalah tugas. Berat tetapi harus. Yesus Kristus mengajarkan bahwa inti utama dari hukum adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia (kitab Matisu 22:37-40; Markus 12:29-31). Kemudian, pada ayat lain Yesus Kristus berkata kepada murid-murid-Nya: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (kitab Matius 5:44-45)

Dari perintah Yesus Kristus itu jelas bahwa setiap orang Kristen harus selalu membangun jembatan persaudaraan dengan setiap orang. Baik dengan yang berbeda dengan mereka, bahkan dengan musuh. Musuh di sini ialah yang berbuat jahat atau yang menganiaya. Dan orang Kristen harus mengampuni musuhnya. Kejahatan musuh tidak boleh dibalas dengan kejahatan, sebab ada tertulis: “Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.” (1 Tesalonika 5:15) Pintu maaf harus selalu terbuka bagi setiap yang melakukan kejahatan terhadap orang Kristen.

Perlu dicamkan bahwa musuh bagi orang Kristen bukan yang berbeda suku, agama, ras dan aliran agama dengan orang Kristen. Islam dan agama-agama lainnya bukan musuh, melainkan saudaranya Kristen. Dan lagi dalam Alkitab, yang dapat disebut menjadi saudara adalah bagi siapa seseorang itu berbuat baik. Oleh karena itu, orang Kristen yang mau benar-beanr menjadi saudara bagi orang Islam dan agama lain, harus senantiasa berusaha melakukan yang baik bagi mereka. Itu adalah perintah Tuhan.

Hanya orang yang mau melakukan perintah Tuhan di ataslah yang layak disebut sebagai anak-anak Allah karena telah berusaha membangun hidup damai. Yesus Kristus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (kitab Matius 5:9) Dalam kitab Ibrani 12:14 dikatakan: “Berusahalah hidup damai dengan semua orang.” Dalam kitab 1 Tesalonika 5:13 dikatakan: “Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain.” Dan lagi, dalam kirab Roma 12;18 dikatakan: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Indah bukan? Kristen punya tugas mulia dari Tuhan. Tapi tunggu dulu, amat berat dan susah melakukannya. Karena, kemungkinan besar orang Kristen banyak yang tidak tahu dan tidak mau tahu dengan tugas itu.

Terakhir, izinkan saya menceritakan pengalaman saya. Daerah Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berpenduduk kurang lebih 80 persen Islam dan 20 persen Kristen. Saya dan kakak perempuan saya, yang juga pekerja gereja, kira-kira 15 tahun lalu pernah mengunjungi orang-orang Kristen di sana. Pergi ke perkampungan Kristen yang lumayan jauh, di tengah hutan dan bukit lembah harus melewati perkampungan Islam. Ketika hari hampir gelap, kami masih di perkampunan Islam, sementara perjalanan masih jauh. Orang-orang Islam itu tahu betul kami adalah ulama Kristen yang mau mengunjungi orang Kristen, tetapi dengan ramah mereka mengajak kami menginap di rumah mereka sebelum kami melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Perlu diketahui, masyarakat Sipirok sangat terkenal dengan kerukunan antar umat beragama.

Pengalaman saya satu lagi. Siborongborong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara adalah tempat lahir dan kampung halaman saya. Penduduknya 99 persen Kristen. Penduduk Islam adalah pendatang, hidup berdagang, terutama restoran Padang. Tahukah saudara, bahwa di sana restoran Padang laris manis? Dan yang paling penting, di sana Mesjid berdiri tepat di pintu gerbang kota Siborngborong dan tidak pernah mengalami gangguan. Indah bukan?

Dari semua, jelaslah betapa damai itu indah. Betapa kebersamaan itu indah. Hanya kalau kita bersama dan sesama satu sama lain, kita dapat melakukan sesuatu yang baik demi kemaslahatan (kebaikan, keuntungan, dan kesejahteraan) semua umat. Kalau kita tidak mau bekerjasama, situasi bisa semakin runyam. Dan yang rugi bukan siapa-siapa, melainkan kita sendiri. Camkanlah kalimat ini, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersma dengan rukun.” Demikianlah kata pemazmur dalam kitab Mazmur 133:1

Demikianlah, kiranya anugerah Tuhan Allah menyertai kita semua. Amin. (MS)

(*Disampaikan pada Pesantren Kilat di sekolah SMK Cipta Karya 1, Jl. Kayu Manis Timur No. 52 D, Jakarta, pada tanggal 3 Oktober 2007)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *