MENUMBUHKEMBANGKAN SIKAP JUJUR PADA ANAK

Bagikan:

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Ananias dan Safira adalah pasangan suami istri. Mereka menjual sebidang tanah milik mereka. Dengan sepengetahuan istrinya, Ananias membawa sebagian dari hasil penjualan tanah tersebut ke hadapaan para rasul. Yang jadi masalah adalah, ternyata pasangan suami istri ini telah bersepakat untuk tidak jujur dengan mengatakan bahwa yang mereka serahkan itu merupakan semua hasil penjualan tanah. Akibatnya, pasangan suami istri itu mati. Kisah ini dapat dibaca dalam Kisah Para Rasul 5:1-11. Cerita tentang Ananias dan Safira sering disampaikan di Sekolah Minggu untuk mengajarkan tentang kejujuran. Tidak hanya Ananias dan Safira yang menuai celaka karena ketidakjujuran. Saat ini, banyak orang yang terkena masalah karena hidup tidak jujur bahkan harus berhadapan dengan hukum dan dihukum. Korupsi, perilaku plagiat, jual beli skripsi/tesis dan menggelapkan uang lembaga/organisasi/perusahaan adalah bentuk-bentuk perilaku tidak jujur yang membuat banyak orang harus berhadapan dengan hukum. Banyak juga orang Kristen yang menjadi pelaku tindak kriminal ini. Bahkan, ada yang berani menggelapkan uang gereja.  Akibat perilakunya, mereka tidak hanya menerima hukuman dari hukum positif (dipenjara dan membayar denda), tetapi juga mendapatkan hukuman sosial berupa label, stigma, cibiran, caci maki dan lain-lain.

Kejujuran merupakan salah satu soft skill yang harus dimiliki oleh setiap orang. Memang, ketika kita berkata atau berlaku jujur, belum tentu semua orang suka dan diuntungkan. Bisa jadi ada orang yang tidak suka kepada kita dan merasa dirugikan. Akibatnya, sangat mungkin kita dimusuhi dan dijauhi orang. Akan tetapi, apa pun konsekuensi dari kejujuran, Allah menginginkan setiap kita jujur dan Ia pasti akan menolong orang yang jujur. Dalam Amsal 2:7A tertulis: “Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur.”  Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk takut hidup dalam kejujuran. Mampu hidup dalam kejujuran adalah suatu kecerdasan sekaligus keterampilan hidup yang harus ditumbuhkembangkan dalam diri seseorang sedari kecil. Jika seseorang dari kecil sudah terbiasa hidup jujur, maka ketika besar dan dewasa ia akan terampil hidup jujur. Oleh karena itu, seorang anak harus dididik untuk hidup jujur sedari dini, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” Demikianlah tertulis dalam Matius 5:37. Standar Tuhan Yesus sangat jelas. Bagi orang Kristen tidak berlaku istilah “bohong putih” atau “berbohong untuk kebaikan”. Bohong adalah bohong apapun bentuk dan alasannya. Tuhan tidak suka dengan kebohongan. Tuhan menghendaki setiap anak-anak-Nya berkata jujur satu sama lain, seperti yang tertulis dalam Keluaran 20:16 (“Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”) dan Efesus 4:25  (Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.”). Anak harus dilatih untuk berkata jujur dan kejujuran anak harus dihargai. Misalnya: Waktu ibu pergi ke pasar, Rudi bermain bola di dalam rumah. Tidak sengaja, bola yang ditendang Rudi mengenai vas bunga kesayangan ibu. Vas bunga itu jatuh dan pecah. Ketika ibu pulang, Rudi memberi  tahu kepada ibu bahwa ia sudah memecahkan vas bunga kesayangan ibu.” Seberapa sayang pun ibu terhadap vas bunga tersebut, ibu tetap harus menghargai kejujuran Rudi. Dari pada memaki-maki apalagi memukul Rudi akibat pengakuannya tersebut, lebih baik ibu  membimbing Rudi untuk meminta maaf dan berjanji tidak lagi bermain bola di dalam rumah. Boleh saja Rudi diberi konsekuensi (misalnya karena ia tidak taat dengan perintah ibu yang melarang bermain bola di rumah), tetapi konsekuensi itu harus bernilai pendidikan dan tidak mengandung unsur emosional dari ibu. Jangan sampai Rudi berpikir bahwa tidak perlu berkata jujur karena tidak berguna bahkan merugikan diri sendiri.

Selain berkata jujur, anak juga harus dididik untuk dapat berperilaku jujur. Contoh: “Agus siswa kelas V SD. Hari ini ibu guru memberi tugas (PR) membuat pidato dengan topik “Hari Kemerdekaan”. Pidato tersebut akan disampaikan di kelas minggu depan.  Agus merasa bahwa itu tugas yang sangat berat. Agus pun menyampaikan kepada ibunya bahwa ia tidak bisa membuat pidato itu. Ternyata, dalam WAG orangtua murid, ibu guru sudah menyampaikan hal tersebut. Selain itu, ibu guru juga mengatakan ada hadiah yang akan diberikan oleh sekolah kepada anak yang mampu membuat pidato dengan baik, tetapi jika tidak dikerjakan, maka akan memperngaruhi nilai.” Cerita seperti ini sering terjadi. Anak mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan di rumah. Dalam kondisi ini, yang harus dilakukan oleh orangtua Agus adalah membimbing Agus untuk membuat pidato sesuai dengan kemampuannya. Apapun hasilnya, harus diapresiasi. Dengan demikian, Agus dapat bertumbuh menjadi anak yang tangguh, tidak mudah menyerah pada tantangan, dan jujur.  Dalam banyak kasus yang seperti ini, bukannya mendorong anak untuk berusaha maksimal dan jujur, ada orangtua malah mengajar anak untuk berbohong. Orangtua yang membuat pidato, atau meminta orang lain (misalnya: guru les) yang mengerjakan, atau mencopy-paste karya orang lain yang diambil dari internet, tetapi mencantumkan nama anak sebagai si pemilik karya. Ini adalah perbuatan yang tidak terpuji dan berbahaya. Ini sama saja dengan mengajar anak mencuri, berbohong, mudah menyerah, mau hidup enak dan mudah dan  tidak kreatif. Akibatnya, anak dapat menjadi berpotensi menjadi pelaku tindak kejahatan yang melanggar hukum. Apapun alasannya, jika ini terjadi, maka sesungguhnya, pihak yang paling dirugikan adalah anak. Cepat atau lambat, orangtua pun akan menjadi korban ketidakjujuran anak.

Agar dapat membentuk generasi jujur, keteladanan orangtua menjadi hal yang sangat penting. Banyak orangtua gagal mendidik anak menjadi jujur karena orangtua tidak dapat menjadi teladan. Bagaimana anak hidup dalam kejujuran jika orangtua tidak jujur? Sebaliknya, jika sedari kecil anak sudah terbiasa melihat dan mendengar orangtuanya selalu berkata dan berlaku jujur, maka akan lebih mudah bagi anak untuk hidup dalam kejujuran. Jadi, jika kita ingin anak kita menjadi generasi jujur, maka kitalah yang terlebih dahulu hidup dalam kejujuran. Dengan demikian kita dapat berkata: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus (1 Korintus 11:1).” “Jujurlah Nak, sama seperti ayah dan ibumu jujur.” (SRP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *