GEREJA RAMAH DISABILITAS

Bagikan:

Loading

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Dalam berbicara tentang disabilitas perlu merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 1 Ayat (1) dikatakan bahwa  penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Ragam penyandang disabilitas meliputi: a) penyandang disabilitas fisik, yaitu  terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil; b) penyandang disabilitas intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome; c) penyandang disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: psikososial (di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian) dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (di antaranya autis dan hiperaktif); dan d) penyandang disabilitas sensorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Ragam penyandang disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyandang disabilitas ganda atau multi  adalah penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas runguwicara dan disabilitas netra-tuli. Yang dimaksud dengan dalam jangka waktu lama adalah jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat permanen.

Dalam  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 5 dikatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak hidup; bebas dari stigma; privasi; keadilan dan perlindungan hukum; pendidikan; pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; kesehatan; politik; keagamaan; keolahragaan; kebudayaan dan pariwisata; kesejahteraan sosial; aksesibilitas; pelayanan publik; pelindungan dari bencana; habilitasi dan rehabilitasi; konsesi; pendataan; hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi. Selain hak-hak tersebut, perempuan dengan disabilitas memiliki hak atas kesehatan reproduksi; menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi; mendapatkan pelindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; dan untuk mendapatkan pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Anak penyandang disabilitas juga memiliki hak tambahan, yaitu hak mendapatkan pelindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual; mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal; dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan; perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; pemenuhan kebutuhan khusus; perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu; dan mendapatkan pendampingan sosial.

Penyandang disabilitas sudah ada sejak zaman dahulu kala, termasuk pada zaman Yesus. Pada zaman Yesus, ada banyak kisah tentang penyandang disabilitas. Yesus sangat perduli kepada kelompok rentan yang sering termarginalkan ini. Yesus pernah menyembuhkan dua orang yang kerasukan (Matius 8:28-34); menyembuhkan orang lumpuh (Matius 9:1-8); menyembuhkan mata orang buta (Matius 9:27-31); menyembuhkan orang bisu (Matius 9:32-34); menyembuhkan orang timpang (Matius 15:29-31); menyembuhkan orang kusta (Markus 1:40-45); menyembuhkan orang tuli (Markus 7:31-37); menyembuhkan orang yang mati tangannya (Lukas 6:6-11); dan menyembuhkan orang yang bungkuk punggungnya sehingga tidak dapat berdiri (Lukas 13:10-17).

Pada masa Yesus ada stigma terhadap penyandang disabilitas, yakni seseorang menjadi penyandang disabilitas karena dosanya atau dosa  orangtuanya. Ini terlihat dari pertanyaan murid-murid Yesus . Mereka menanyakan kepada Yesus siapa yang berbuat dosa sehingga seseorang lahir sebagai orang buta, orangtuanya atau dirinya sendiri. Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut Yesus mengatakan bahwa bukan dia dan juga bukan orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (Yohanes 9:3-4). Sampai saat ini, stigma terhadap penyandang disabilitas masih ada. Dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf b dan Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dikatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak bebas dari stigma yang meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya. Jadi jelas, kita tidak boleh memberikan stigma apapun kepada penyandang disabilitas.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 5 Ayat (1) Huruf (g)  dan Pasal 12 mengatakan bahwa  penyandang disabilitas memiliki hak kesehatan yang meliputi hak: memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dalam pelayanan kesehatan; memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di bidang kesehatan; memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya; memperoleh alat bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya; memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah; memperoleh pelindungan dari upaya percobaan medis; dan memperoleh pelindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek. Selain stigma, di masa Yesus, penyandang disabilitas juga sulit bahkan tidak memperoleh akses kepada layanan kesehatan. Ada orang lumpuh yang harus diusung di atas tempat tidur dan dimasukkan ke ke dalam sebuah rumah melalui atap rumah yang terlebih dahulu dibongkar oleh orang-orang yang mengusungnya.Di dalam rumah itu ada Yesus. Mereka tidak mau memberikan akses kepada orang lumpuh tersebut untuk bertemu Yesus. Untungnya, Yesus melihat iman mereka dan menyembuhkan orang lumpuh itu (Lukas 5:17-26).

Pasal 5 Ayat (1) Huruf (i)  dan Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak keagamaan yang meliputi hak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan; mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya; mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pada saat menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya; dan berperan aktif dalam organisasi keagamaan. Dengan merujuk pada pasal-pasal ini , maka gereja harus dapat memenuhi hak keagamaan warga gereja yang menyandang disabilitas. Merujuk pada pasal ini, maka dapat diartikan bahwa gereja harus ramah terhadap penyandang disabilitas. Yang menjadi pertanyaan adalah: 1) Apakah warga gereja yang menyandang disabilitas sudah  memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan; 2) Apakah warga gereja yang menyandang disabilitas sudah mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya?; 3) Apakah warga gereja yang menyandang disabilitas sudah mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pada saat menjalankan ibadat?; 4) Apakah warga gereja yang menyandang disabilitas sudah dapat berperan aktif dalam organisasi gereja?

Apakah Warga Gereja yang Menyandang Disabilitas sudah  Memperoleh Kemudahan Akses dalam Memanfaatkan Tempat Peribadatan?

“Di Yerusalem dekat dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima serambinya dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta; orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh, yang menantikan goncangan air kolam itu. Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke dalam kolam itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apapun penyakitnya. Di situ ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit. Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: “Maukah engkau sembuh?” Jawab orang sakit itu kepada-Nya: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.” – (Yohanes 5:2-7) – Terlepas dari apa konteks ayat-ayat tersebut, di sana kita melihat ada orang sakit yang tidak mendapatkan akses. Sampai saat ini hal ini masih terjadi. Ada banyak warga gereja yang menyandang disabilitas yang tidak memperoleh kemudahan akses, termasuk dalam memanfaatkan tempat peribadatan. Misalnya: hal paling sederhana adalah gedung gereja tidak memiliki bidang miring sehingga pengguna kursi roda sulit bahkan tidak bisa masuk ke dalam gedung gereja. Hal tersebut membuat mereka tidak bisa datang ke gereja untuk beribadah dan hal lainnya.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 98 Ayat (1) Huruf (b) dan Ayat (2-3)  dikatakan bahwa bangunan gedung yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas termasuk juga bangunan gedung yang memiliki fungsi  keagamaan. Bangunan gedung yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas harus dilengkapi dengan fasilitas dan aksesibilitas dengan mempertimbangkan kebutuhan, fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemilik dan/atau pengelola bangunan gedung yang tidak menyediakan fasilitas yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas  dikenai sanksi administratif berupa: peringatan tertulis; pembatasan kegiatan pembangunan; penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; pembekuan izin mendirikan bangunan gedung; pencabutan izin mendirikan bangunan gedung; pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau perintah pembongkaran bangunan gedung.

Jadi jelas bahwa gedung gereja di Indonesia harus ramah terhadap penyandang disabilitas, Hal ini diatur dalam undang-undang dan ada sanksi yang jelas bagi pihak yang tidak menaatinya.

Apakah Warga Gereja yang Menyandang Disabilitas sudah Mendapatkan Kitab Suci dan Lektur Keagamaan lainnya yang Mudah Diakses Berdasarkan Kebutuhannya?

Warga jemaat penyandang tunanetra memerlukan Alkitab dan lektur lain dalam bentuk suara atau huruf braille. Penyandang tunarungu membutuhkan  penerjemah bahasa isyarat agar dapat mengikuti ibadah atau kebaktian.

Apakah Warga Gereja yang Menyandang Disabilitas sudah Mendapatkan Pelayanan Sesuai dengan Kebutuhan pada Saat Menjalankan Ibadat?

Ada berbagai ragam disabilitas dengan varian masing-masing. Hal ini berarti. setiap ragam dan varian memiliki kebutuhan yang berbeda, termasuk dalam beribadat. Misalnya: penyandang autis memiliki kebutuhan pelayanan yang berbeda dengan penyandang tunadaksa. Penyandang downsindrome berbeda kebutuhannya dengan penyandang tunanetra. Oleh karena itu, gereja perlu memahami berbagai ragam dan varian disablitas yang ada pada warga gereja sehingga dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Apakah Warga Gereja yang Menyandang Disabilitas Sudah dapat Berperan Aktif dalam Organisasi Gereja?

Walau pun memiliki hambatanan tertentu, bukan berarti penyandang disabilitas tidak dapat berperan aktif dalam organisasi gereja. Gereja harus memberikan kesepatan yang seluas-luasnya kepada warga gereja penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam organisasi gereja sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Mereka bukan objek pelayanan, tetapi subjek pelayanan. Mereka juga dapat berkontribusi bagi organisasi gereja dan warga gereja yang lain.

Tuhan Yesus Kristus sangat mengasihi dan perduli kepada penyandang disabilitas. Oleh karena itu, gereja  pun harus demikian. Gereja harus ramah terhadap disabilitas. Menjadi penyandang disabilitas bukan semata-mata karena faktor dari lahir. Menjadi penyandang disabilitas dapat terjadi  karena faktor  usia, penyakit atau kecelakaan, sehingga siapa pun berisiko menjadi penyandang disabilitas. (SRP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *