Oleh: Susi Rio Panjaitan
Dalam Amsal 17:6a tertulis: “Mahkota orangtua adalah anak cucu.” Mahkota adalah sesuatu yang diletakkan di kepala, yang merupakan lambang/simbol identitas, kebesaran dan kekuasaan. Mahkota terbuat dari material-material yang mahal dan indah. Dalam Amsal 17:6a dikatakan bahwa anak adalah mahkota orangtua. Artinya, selain sebagai generasi penerus dan harapan orangtua, anak adalah kebanggaan sekaligus identitas orangtua. Tidak heran jika pada umumnya, di Indonesia, jika seseorang sudah memiliki anak, katakanlah anaknya bernama Jonathan, maka ia akan dipanggil/disapa dengan sebutan Papa Jonathan atau Mama Jonathan. Anak menjadi identitas orangtua.
Semua orang tentu menginginkan identitas yang positif. Jika anak berperilaku positif, maka identitas orangtua menjadi positif, tetapi jika identitas anak negatif, maka identitas orangtuanya menjadi negatif juga. Hampir semua orangtua mengupayakan yang terbaik bagi anaknya bahkan sejak anak tersebut masih dalam kandungan, dengan harapan kelak besar dan dewasa anak tersebut menjadi anak yang dapat diharapkan dan dibanggakan oleh orangtua. Sayangnya, banyak orangtua yang menjadi kecewa, malu, sedih, bersusah hati bahkan menderita karena ulah anaknya setelah anak itu besar/dewasa. Hal ini terjadi pada imam Eli. Anak-anak lelaki imam Eli adalah orang-orang dursila. Mereka tidak mengindahkan TUHAN. Oleh karena perbuatan imam Eli yang tidak berkenan kepada TUHAN dan oleh karena perbuatan anak-anaknya, TUHAN menegur imam Eli dan menghukum keluarga mereka (Baca : 1 Samuel 2 : 11-36).
Yang menjadi pertanyaan adalah: “Apa yang harus dilakukan agar anak tumbuh dan berkembang menjadi individu/pribadi yang positif sehingga ia dapat menjadi mahkota yang indah bagi orangtuanya?” Amsal 29:17 berkata: “Didiklah anakmu, maka ia akan memberi ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu”. Merujuk pada pasal ini, agar anak memberi ketenteraman dan sukacita kepada orangtuanya, maka anak harus dididik. Dari pasal ini juga terlihat bahwa instruksi untuk mendidik anak diberikan kepada orangtua. Ayat ini masih sangat relevan saat ini. Jika kita ingin anak kita bertumbuh menjadi individu yang baik, yang berguna bagi dirinya sendiri, berguna bagi sesama dan berguna bagi Tuhan sekaligus menjadi kebanggaan kita, maka anak harus dididik. Sayangnya, saat ini banyak orangtua yang enggan mendidik anak dengan benar oleh karena berbagai alasan. Suatu hari, saya kedatangan klien, sepasang suami istri bersama seorang anak mereka yang berusia enam tahun. Begitu masuk ke tempat kami, anak itu langsung lari sana, lari sini, memasuki semua ruangan dan membongkar apapun yang ingin ia bongkar. Saya sengaja mendiamkan untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh kedua orangtuanya. Tenyata mereka hanya diam, tak melakukan apapun. Mereka katakan bahwa begitulah perilaku anaknya sehari-hari. Karena sudah membuat benar-benar berantakan dan orangtuanya tidak melakukan apapun, akhirnya salah seorang staf kami turun tangan. Menggendong anak itu, mengajaknya bicara dan mengalihkan perhatiannya pada kegiatan lain. Ternyata, anaknya bisa tenang dan bisa bermain dengan baik.
Kisah di atas merupakan salah satu contoh kecil, itu pun terjadi pada anak penyandang autis. Semua anak punya potensi untuk dapat dididik. Sayangnya, banyak orangtua yang tidak mau mendidik anaknya karena berbagai alasan. Ada yang mengatakan bahwa ia sudah lelah bekerja seharian di kantor, jadi kalau harus menegur anak takutnya jadi emosi dan memukul anak. Ada juga yang mengatakan bahwa anaknya sangat bandel, tak bisa dibilangin dan semaunya sendiri. Bahkan ada yang mengatakan merasa sudah sangat kewalahan sehingga sengaja memasukkan anak tersebut ke sekolah tertentu yang dianggap akan sanggup mendidik anaknya, walaupun konsekuensinya harus membayar sangat mahal. Tugas mendidik anak dilimpahkan pada pihak/orang lain. Padahal, kitalah (orangtua) yang menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak. Guru, Guru Sekolah Minggu, anggota keluarga lainnya (kakek nenek, tante dan om) serta pengasuh yang kita bayar untuk menjaganya, hanya berperan sebagai mitra kita. Orangtualah yang berperan, bertugas dan bertanggungjawab mendidik anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 Ayat (1) Huruf (a) berbunyi: “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak.” Dalam Ayat (2) dari pasal yang sama tertulis: “Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 33 Ayat (1) dari undang-undang yang sama berkata: “Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan.” Dari pasal-pasal ini jelas terlihat bahwa negara melalui undang-undang menaruh kewajiban dan tanggung jawab mendidik anak pada orangtua. Jika orangtua tidak ada, tidak diketahui keberadaannya atau karena alasan tertentu sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat beralih kepada keluarga. Selain itu, jika orangtua dan keluarga dari anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka negara dapat menunjuk seseorang atau badan hukum sebagai wali anak. Sangat berat dan besar tanggung jawab orangtua terhadap anak, tetapi tidak ada sekolah formal menjadi orangtua. Walaupun demikian, bukan berarti menjadi orangtua tidak dapat dipelajari. Kita punya Alkitab. Alkitab adalah “manual book” yang dapat dipakai oleh para orangtua Kristen dalam mendidik anak.
Alkitab sarat dengan pelajaran sekaligus panduan yang dapat digunakan oleh orangtua dalam mendidik anak, di antaranya:
Tidak Menyakiti dan Membangkitkan Amarah Anak
Dalam banyak kasus ditemui bahwa masalah perilaku yang terjadi pada anak disebabkan oleh karena ia sangat marah dan sakit hati kepada orangtuanya. Banyak orangtua yang dengan sadar atau tidak, atau secara langsung atau tidak, telah menyakiti hati anak-anaknya dan membuat mereka tawar hati. Bukan hanya itu, perilaku orangtua banyak yang dapat menimbulkan amarah dan dendam pada anak sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti mabuk-mabukkan, balap liar, menggunakan napza, menenggelamkan diri pada games online dan pornografi, tawuran, mencuri, free sex, dan lain-lain. Tak sedikit dari anak-anak itu yang harus berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, sebagai orangtua, kita memang harus benar-benar memperhatikan hidup kita. Pastikan hidup kita benar di hadapan Allah. Mendidik anak adalah keharusan, tetapi mencaci maki mereka atau memukul membabi buta dengan alasan mendidik bukanlah hal yang benar. Kasar dan tegas adalah dua hal yang sangat berbeda. Orangtua memang harus tegas, tetapi tidak boleh kasar. Selain itu, jangan pernah memberikan label negatif kepada anak seperti bodoh, tak bisa apa-apa, dan label negatif lainnya karena ini pasti akan menimbulkan sakit hati pada anak. Hal lain yang harus kita perhatikan adalah perilaku dan pergaulan kita sehari-hari. Ada banyak anak yang terluka karena dengan sengaja atau tidak telah membaca dan melihat jejak digital oangtuanya. Mereka merasa malu dengan postingan orangtua mereka di media sosial. Bagaimanapun, anak-anak zaman sekarang jauh lebih mahir berdigital dan berinternet dibanding kita, orangtuanya. Dengan mudah mereka bisa masuk dalam akun media sosial kita dan membaca/melihat semua yang kita sembunyikan di sana. Sekali mereka menemukan di sana ada hal-hal yang tidak baik, itu pasti akan melukai mereka. Dampaknya akan sangat berbahaya. Dimulai dari mereka kehilangan respek kepada kita, membangkang dan kemudian berlanjut pada melakukan hal-hal buruk. Mereka melakukan itu sebagai bentuk kekecewaan atau balas dendam. Seorang anak yang harus berhadapan dengan hukum, ketika ditanya mengapa melakukan hal itu, menjawab begini: “Saya benci sekali kepada ayah saya karena begini begitu, tapi saya tidak bisa pukul dia. Jadi saya mau menghancurkan ayah saya dengan cara menghancurkan diri saya sendiri.” Seorang anak yang salah dalam pergaulan dan akhirnya hamil di luar nikah, ketika ditanya mengapa sampai berperilaku demikian menjawab begini: “Ternyata ibu saya bukan perempuan baik-baik. Ibu saya ternyata seorang perempuan jalang karena ia telah begini begitu.” Ketika lebih lanjut ditanya dari mana ia tahu, ia menjawab: “Saya lihat ibu saya membuka HP dan senyam senyum. Ada yang aneh. Lalu saya masuk ke akun medsosnya, saya cek hpnya. Di sana saya melihat bukti-bukti itu.”
Dalam Efesus 6:4 tertulis: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” dan dalam Kolose 3:21 tertulis: “Hai bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Jadi jelas, sebagai orangtua kita tidak boleh menyakiti hati anak, menimbulkan amarah di hatinya atau membuatnya tawar hati karena itu dapat menjadi pemicu bagi anak untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
Mendidik Anak Menurut Jalan yang Patut Baginya
Dalam Amsal 22:6 tertulis: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”Didik sekarang, esok gemilang. Artinya, jika sejak dini anak sudah dididik di jalan yang patut baginya, maka di hari esok (termasuk pada masa tuanya) ia akan tetap dalam jalan itu. Misalnya: jika sedari dini anak dididik untuk hidup jujur, maka kelak besar dan dewasa ia hidup dalam kejujuran. Hidup jujur tentu hal yang berkenan kepada Allah dan akan menghasilkan buah yang manis.
Mengizinkan Anak Datang kepada Kristus
Dengan datang kepada Kristus anak memperoleh berkat. Dengan datang kepada Kristus anak akan belajar dan dididik. Apa bentuk datang kepada Kristus saat ini? Anak dapat datang kepada Kristus melalui doa, membaca Alkitab, bernyanyi memuji Tuhan, Sekolah Minggu, dan lain-lain. Jika orangtua tidak mendukung dan memfasilitasi anak berdoa, membaca Alkitab, memuji Tuhan, datang ke Sekolah Minggu atau hal lain yang sebenarnya bermanfaat bagi perkembangan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus, itu sebenarnya merupakan bentuk menghalangi anak datang kepada Kristus. Selain itu, orangtua harus hati-hati dalam mendeskripsikan Tuhan. Anak, terutama anak yang masih kecil sedang dalam masa perkembangan kognitif. Tidak semua hal dapat ia pahami dengan mudah. Misalnya: Kita bilang pada anak: “Ayo, jangan lupa berdoa, nanti Tuhan marah.” Perkataan kita ini dapat membuat anak menangkap bahwa Tuhan itu tukang marah. Jika kita lupa berdoa bisa bikin Tuhan marah. Fatalnya, pemahaman ini dapat membuat anak menjadi takut dan tak mau dekat-dekat sama Tuhan karena Tuhan pemarah. Pada Matius 19:14 tertulis: “Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” Pada waktu itu, anak datang kepada Yesus dalam bentuk fisik dan murid-murid Yesus menghalang-halangi. Karena hal itu, Tuhan Yesus menegur mereka. Saat ini, hal yang sama akan Tuhan Yesus lakukan kepada kita jika kita menghalang-halangi anak kita datang kepada-Nya.
Mendidik Anak dengan Cara Mengajar
Dalam Amsal 3:12 tertulis: “Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayanginya.”Dari ayat ini jelas terlihat bahwa seorang ayah yang menyayangi anaknya akan mengajar anaknya. Dapat pula dikatakan bahwa karena seorang ayah sayang kepada anaknya, maka ia mengajar anaknya, atau, jika seorang ayah sayang kepada anaknya maka ia mengajar anaknya. Mengajar adalah proses melatih anak agar paham dan mampu melakukan sesuatu. Kadang kala proses mengajar tidak enak. Misalnya: Orangtua mengajar anaknya kemandirian. Tentu hal ini dimulai dari hal-hal yang tampak kecil dan sederhana, seperti berpakaian sendiri. Untuk anak yang baru belajar berpakaian, hal ini tidak mudah. Memasukkan tangan dan kepala ke dalam lubang baju yang tepat bukan perkara mudah bagi mereka, bahkan bisa membuat mereka jengkel bahkan ada anak yang sampai menangis karena merasa hal tersebut susah. Hanya karena anak merasa kesulitan dan menangis, bukan berarti proses belajar berhenti atau tak usah belajar lagi. Demi mencapai kemandirian anak dalam berpakaian, maka orangtua harus tetap melanjutkan proses belajar walau mungkin perlu dengan cara bertahap. Dengan demikian, anak akan mampu mandiri. Ini tidak hanya berlaku pada keterampilan yang bersifat hard skill, tapi juga pada keterampilan soft skill, seperti meminta maaf, mengucapkan terima kasih, meminta tolong, bekerja sama, mengendalikan emosi dan lain sebagainya.
Pendispilinan
Mari kita cermati ayat-ayat berikut! Amsal 13:24 tertulis: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.” Amsal 22:15 “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya.” Amsal 29:15 “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.” Dari ayat-ayat ini dapat dengan jelas kita lihat bahwa teguran bahkan tongkat diperlukan dalam upaya mendidik anak. Dalam proses mendidik pasti dibutuhkan disiplin. Tanpa disiplin, maka proses mendidik akan gagal. Ada kalanya orangtua harus menggunakan teguran dan tongkat sebagai upaya mendisiplinkan anak. Walaupun demikian, teguran harus disampaikan dengan benar. Orangtua harus menggunakan kata-kata yang baik ketika menegur. Tidak boleh menggunakan kata-kata kotor dan kasar serta label yang dapat menyakiti hati anak dan menghancurkan harga dirinya. Tidak boleh dilakukan di hadapan sembarang orang agar anak tidak merasa dipermalukan. Dalam Ibrani 12:11 tertulis: “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.” Ya, memang pendisiplinan tidak enak, tetapi jika dilakukan dengan cara yang benar, pada waktu yang benar dan tempat yang benar, bukan karena emosi dan amarah orangtua, maka itu membuahkan hasil yang manis.
Berulang-ulang
Sesuatu yang didengar atau dilihat berulang-ulang secara terus menerus akan melekat dalam ingatan. Ingatan ini akan mendorong terjadinya suatu perilaku. Dalam Ulangan 6:7 tertulis: “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Mendidik anak dengan cara mengajarkannya berulang-ulang merupakan metode mengajar yang sudah sangat lama dan masih relevan sampai saat. Selain itu, dari ayat ini dapat kita lihat bahwa berbagai kesempatan dan waktu mesti kita pakai dengan bijaksana untuk mendidik anak.
Jika kita ingin masa tua kita bahagia karena anak-anak kita hidup dalam takut akan Tuhan, maka anak harus dididik sedari dini dari sekarang. Didik sekarang, esok gemilang. (SRP)