Oleh: Susi Rio Panjaitan
Siapakah yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)? Untuk dapat memahami siapa yang dimaksud dengan ABK, ada dua dokumen yang dapat kita jadikan rujukan, yaitu: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menuliskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan). Dalam undang-undang ini dijelaskan juga tentang anak penyandang disabilitas. Dituliskan bahwa anak penyandang disabilitas adalah anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (Pasal 1 Ayat 7).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam Pasal 4 Ayat (1) dan Penjelasaannya mengatakan bahwa penyandang disabilitas meliputi penyandang disabilitas fisik; penyandang disabilitas intelektual; penyandang disabilitas mental; dan/atau penyandang disabilitas sensorik. Penyandang disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome. Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a) Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan b) Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif. Penyandang disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Selain anak penyandang disabilitas, ada anak yang disebut sebagai anak yang memiliki keunggulan dan anak dengan hambatan belajar. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa, tidak terbatas pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada bidang lain (Pasal 1 Ayat 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Anak dengan hambatan belajar adalah anak yang memiliki hambatan dalam mempelajari hal tertentu. Hambatan ini muncul sebagai akibat masalah neurologis, dimana cara kerja otak mereka berbeda dengan cara kerja otak anak-anak lain. Pada dasarnya, anak-anak dengan hambatan belajar sama pintar atau bahkan lebih pintar dari teman sebayanya. Mereka bukan anak yang malas dan juga bukan anak yang bermasalah dalam motivasi belajar. Karakteristik dari hambatan belajar yang mereka alami adalah secara konsisten atau terus-menerus mengalami hambatan dalam mempelajari pelajaran atau keterampilan tertentu. Misalnya: hambatan dalam belajar membaca (dyslexia); hambatan dalam belajar matematika (dyscalculia); hambatan dalam belajar menulis (dysgraphia); hambatan dalam mempelajari keterampilan motorik (dyspraxia); hambatan dalam memahami bahasa (aphasia/dysphasia); hambatan dalam proses mendengar (auditory processing disorder); dan hambatan dalam visual (visual processing disorder).
Agar dapat hidup, bertumbuh, berkembang, belajar, berkarya, berprestasi dan berpartisipasi dalam keluarga maupun masyarakat, anak penyandang disabilitas, anak yang memiliki kecerdasan luar biasa atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa, dan anak dengan hambatan belajar memiliki berbagai kebutuhan yang unik. Itulah sebabnya mereka disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sama halnya dengan anak-anak lain yang tidak menyandang kebutuhan khusus, ABK adalah individu yang unik dan berharga. Dari perspektif iman Kristiani, keunikan dan keberhargaan ABK adalah karena mereka diciptakan segambar dengan rupa Allah. ABK bukan produk gagal Allah, tetapi mereka adalah ciptaan yang sempurna karena diciptakan oleh Allah yang sempurna.
Gereja dan Sekolah Minggu yang baik akan memberikan pelayanan yang baik ABK dan menjadikan mereka prioritas penting dalam program pelayanan. Pelayanan yang baik dari Gereja dan Sekolah Minggu dapat membantu ABK bertumbuh dalam pengenalan dan iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Bagaimana pun kondisi seorang ABK, Gereja dan Sekolah Minggu tidak boleh menolaknya. Dari Alkitab kita dapat mengetahui dengan jelas betapa Yesus sangat mengasihi anak-anak, tanpa terkecuali. Bahkan, dengan tegas Yesus melarang siapa pun untuk menghalang-halangi anak-anak datang kepada-Nya. Dalam Matius 19:24 tertulis: “Tetapi Yesus berkata: ” Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” Ada sanksi tegas bagi siapa pun yang melakukan penyesatan kepada anak, sebagaimana ditulis dalam Matius 18:6, yang berbunyi: “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Karena Yesus sangat mengasihi anak-anak bagaimana pun kondisi anak-anak itu, maka Gereja dan Sekolah Minggu tidak boleh abai terhadap pelayanan anak termasuk pelayanan kepada ABK.
Agar dapat memberikan pelayanan yang baik untuk ABK, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka, maka Guru Sekolah Minggu harus memiliki kompetensi tertentu, antara lain:
Kompetensi Kepribadian
Memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani adalah hal dasar yang harus dimiliki oleh Guru Sekolah Minggu yang mau memberikan diri untuk melayani ABK. Karakter Kristen adalah sebagaimana yang diuraikan dalam Galatia 5: 22-23, yakni: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Kesembilan karakter ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait satu sama lain. Contohnya: Tidak mungkin seseorang dapat berbuat baik jika ia tidak memiliki kasih. Jika pun bisa, kebaikan yang ia lakukan sangat rapuh, dan tidak berkualitas. Apabila sesuatu yang tidak ia sukai terjadi, misalnya orang yang menerima kebaikan itu tidak bersikap baik padanya, maka kebaikan dengan cepat berubah menjadi amarah, benci dan berbagai emosi dan perilaku negatif lainnya. Contoh lain adalah: tidak mungkin kita dapat menguasai diri jika kita tidak memiliki kesabaran.
Guru Sekolah Minggu juga harus memiliki komitmen yang tegas dan jelas. Dengan demikian, ia tidak akan mudah putus asa atau mundur dari pelayanan sekalipun banyak tantangan. Ia juga harus berkomitmen melindungi ABK. Segala yang ia lakukan kepada ABK adalah hanya hal-hal yang berguna untuk kepentingan terbaik anak. Ia tidak boleh melakukan penyesatan dan kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap anak.
Komptensi Pengetahuan dan Keterampilan
Jika seorang Guru Sekolah Minggu benar-benar ingin melayani ABK, maka ia harus memperlengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan agar dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anak layannya. Ia tidak boleh malas, tetapi harus mau belajar agar kapasitasnya semakin baik. Paling tidak, ada beberapa pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai, antara lain:
# Keterampilan Memahami Anak
Memahami siapa yang dilayani akan memudahkan kita dalam memberikan pelayanan. Untuk dapat melayani ABK, maka Guru Sekolah Minggu harus memiliki pemahaman yang baik akan mereka. Oleh sebab itu, penting bagi Guru Sekolah Minggu untuk belajar Psikologi Perkembangan Anak serta Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.
# Keterampilan Mengajar
Salah satu bentuk pelayanan kepada ABK adalah mengajar mereka. Agar dapat mengajar dengan baik, maka Guru Sekolah Minggu harus memiliki keterampilan mengajar. Keterampilan mengajar antara lain: 1) menyiapkan bahan ajar sesuai dengan kurikulum dan silabus yang mengakomodir kebutuhan belajar ABK; 2) memilih dan menguasai metode mengajar yang tepat sesuai dengan usia, jumlah, dan kondisi anak dalam kelas; 3) menyiapkan alat peraga atau media pembelajaran yang tepat; 4) mengelola kelas sehingga menjadi menyenangkan bagi anak; 5) serta menyiapkan aktivitas-aktivitas pendukung dan hadiah ( rewards) yang dapat meningkatkan semangat belajar ABK.
# Keterampilan Berkomunikasi dan Berinteraksi dengan Anak
Mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan ABK merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh pelayan atau Guru Sekolah Minggu ABK. Ada ABK yang memiliki hambatan dalam berbicara dan berkomunikasi, misalnya: anak penyandang autis dan downsyndrome. Guru Sekolah Minggu harus memahami hal ini dan harus dapat menggunakan cara yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak.
# Keterampilan Berpenampilan
Dalam pelayanan Sekolah Minggu, penampilan Guru Sekolah Minggu sangat mempengaruhi. Pakaian, sepatu, perhiasan, riasan wajah dan parfum. Gunakanlah pakaian yang pantas dan nyaman. Jangan menggunakan pakaian yang sempit, pendek, terlalu panjang, terlalu kedodoran, atau terlalu terbuka di bagian belakang. Pakailah sepatu yang nyaman. Guru Sekolah Minggu harus lincah. Ada ABK yang senang berlari, melompat, memanjat, dan lain-lain. Jika Guru Sekolah Minggu tidak dapat bergerak dengan lincah hanya karena sepatunya (misalnya karena hak sepatu yang terlalu tinggi dan lancip), maka selain tidak maksimal dalam pelayanan, juga berbahaya bagi anak. Demikian juga dengan riasan wajah dan perhiasan. Banyak ABK yang mengalami masalah konsentrasi. Riasan wajah dan perhiasan yang dikenakan oleh Guru Sekolah Minggu dapat mengganggu konsentrasi anak. Parfum juga harus diperhatikan. Penciuman banyak ABK sangat sensitif. Apa yang kita anggap wangi belum tentu wangi menurut mereka. Pastikan semua yang dipakai memang bermanfaat untuk pelayanan. Jangan sampai apa yang dipakai mengganggu konsentrasi anak dan mengganggu proses pelayanan di Sekolah Minggu.
# Keterampilan Menenangkan Anak jika Anak Tantrum
Ada ABK yang memiliki gangguan komunikasi dan sosio-emosianal. Mereka tidak mampu mengekspresikan emosi mereka dengan tepat. Mereka juga mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan cara yang dapat dipahami oleh orang lain. Itulah sebabnya banyak dari ABK yang tantrum. Tantrum pasti akan mengganggu kegiatan di kelas Sekolah Minggu dan mengganggu anak-anak lainnya. Oleh karena itu, keterampilan menenangkan anak saat anak tantrum wajib dimiliki oleh Guru Sekolah Minggu.
# Keterampilan Berkomunikasi Asertif dan Berkolaborasi
Guru Sekolah Minggu adalah bagian dari Sekolah Minggu dan Gereja. Agar pelayanan dapat berjalan dengan baik dan tujuan pelayanan tercapai, maka Guru Sekolah Minggu harus mampu berkomunikasi dan berkolaborasi dengan pihak lain, seperti: Guru Sekolah Minggu lainnya, Majelis, Penatua, Pendeta, anggota jemaat, koster Gereja, dan orangtua anak. (SRP)