Oleh: Susi Rio Panjaitan
Kisah tentang anak yang hilang dapat kita baca di Lukas 15:11-32. Di sana diceritakan tentang seorang anak bungsu yang meminta bagian yang merupakan haknya. Ayahnya memberikan. Lalu, ia menjual semua hartanya tersebut, pergi ke negeri yang jauh dan menghabiskan semua hartanya tersebut. Singkat cerita, di negeri itu terjadi kelaparan besar hingga akhirnya ia menjadi penjaga babi dan memakan ampas makanan babi. Untung ia segera menyadari kesalahannya dan kembali ke rumah bapanya. Melihat kepulangan anaknya, si bapa sangat bersukacita.
Rasanya, hampir semua orang Kristen tahu cerita anak yang hilang ini karena cerita ini merupakan salah satu cerita Alkitab yang sangat terkenal dan sangat sering diceritakan di Sekolah Minggu. Sayangnya, belum semua orang Kristen menyadari bahwa kisah “Anak yang Hilang” masih terjadi sampai sekarang di banyak keluarga Kristen. “Anak yang Hilang” bukan hanya sekedar suatu cerita atau perumpamaan, tetapi tragedi. Kita merasa anak kita ada di dekat kita, ke gereja bersama-sama dengan kita, tetapi sesungguhnya ia sudah hilang. Oleh karena itu, setiap orangtua harus selalu waspada dan berjaga-jaga agar tidak ada anaknya yang hilang.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dapat membuat anak menjadi hilang dan apa yang harus dilakukan agar anak tidak hilang? Berikut adalah beberapa hal yang dapat membuat anak menjadi hilang.
Orangtua yang terlalu Sibuk Melayani atau Bekerja
Bekerja agar semua kebutuhan anak tercukupi dengan baik adalah kewajiban orangtua. Demi dapat memenuhi semua kebutuhan anak dengan baik sesuai dengan standar tertentu, banyak orangtua yang bekerja sedemikian rupa, dari pagi hingga malam, bahkan harus pergi ke luar kota atau ke luar negeri untuk waktu yang lumayan lama. Atas nama “demi dapat memenuhi semua kebutuhan anak dengan baik”, bukan hanya salah satu orangtua saja yang bekerja di luar rumah, tetapi keduanya, ayah dan ibu. Alhasil, setiap hari anak ditinggal di rumah sendirian atau ditinggal dengan pengasuh atau sanak saudara (kakek/nenek/om/tante).
Kesibukan para orangtua sehingga harus keluar rumah juga dapat terjadi karena aktifitas sosial dan pelayanan di gereja. Apapun yang menjadi alasan orangtua keluar rumah sehingga tidak dapat selalu mendampingi anak, perlu kita sadari bahwa kondisi ini sangat berisiko bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Tugas dan tanggung jawab orangtua tidak hanya mencukupi dengan baik berbagai kebutuhan jasmani anak. Semua fase perkembangan anak memiliki potensi rawan masalah sehingga anak harus didampingi dengan baik. Contoh : batita yang tidak didampingi dengan baik berisiko mengalami masalah perkembangan dalam segala aspek. Misalnya: mengalami keterlambatan bicara (speech delay); anak remaja yang tidak didampingi dengan baik dapat terjerumus pada penggunaan napza, pornografi, pergaulan bebas dan lain-lain.
Oleh karena itu, orangtua harus memikirkan dengan baik semua konsekuensi dan solusi jika harus sering berada di luar rumah sehingga meninggalkan anak-anak, terutama anak-anak yang masih kecil, yang masih membutuhkan pendampingan penuh dalam setiap tahap perkembangannya. Di era digital ini, orang sangat mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Kecanggihan ini memang sangat menolong tetapi tetap tak bisa menggantikan kualitas komunikasi dan interkasi tatap muka. Jangan sampai kita kehilangan anak-anak kita. Bagaimana kita tahu kondisi anak kita jika kita jarang bersama mereka? Bagaimana mereka dapat bercerita atau mengadu kepada kita jika kita tak punya waktu yang cukup untuk mereka? Bagaimana kita dapat memahami apa yang mereka pikirkan dan rasakan jika kita tak selalu bersama dengan mereka?
Dalam Ulangan 6:7 tertulis: “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau sedang berbaring dan apabila engkau bangun.” Agar kita tak kehilangan anak-anak kita, maka kita harus sungguh-sungguh mendidik mereka di jalan Tuhan. Salah satu caranya adalah mengajarkan kepada mereka hukum Tuhan dengan berulang-ulang di setiap kesempatan yang dengan sengaja kita ciptakan. Jika kita tak punya waktu yang cukup untuk anak-anak kita karena alasan pekerjaan dan/atau pelayanan, bagaimana mungkin kita bisa melakukan apa yang tertulis dalam ayat ini?
Pasangan Suami Istri yang Saling Tidak Setia
Ketika pasangan suami istri tidak setia atau saling tidak setia, maka yang paling terluka adalah anak-anak. Tidak satu pun dari anak-anak yang suka atau rela orangtuanya saling menyakiti dan saling tidak setia. Bagaimanapun, anak adalah bagian dari kedua orangtuanya sehingga mereka tak mungkin membela atau memilih salah satu di antaranya. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hal yang paling membuat anak terluka adalah jika orangtuanya tidak setia. Misalnya: suami tidak setia kepada istri, istri tidak setia kepada suami, atau keduanya saling tidak setia.
Jika anak mendapati orangtuanya demikian, maka anak akan sangat terluka, terpukul dan menderita. Dalam kapasitasnya sebagai individu yang sedang berkembang dalam segala aspek, anak tidak akan mampu menanggung beban yang sangat berat itu. Sangat besar kemungkinan, anak akan mengalami berbagai gangguan, baik fisik maupun mental. Ia bisa menjadi patah hati, frustasi, depresi, menarik diri dari orangtua, keluarga, teman dan lingkungan. Atau, sangat mungkin dia melibatkan diri dalam perilaku yang dilarang oleh ajaran agama atau hukum, seperti mencuri, memperkosa, membunuh, melakukan perilaku seksual yang tidak sehat dan lain sebagainya.
Ini yang harus disadari oleh mereka para calon orangtua dan para orangtua. Relasinya dengan pasangannya (suami/istrinya) sangat berdampak pada anak-anaknya. Pasangan suami istri yang saling tidak setia dapat membuat anak menjadi sakit hati dan tawar hati. Dalam Kolose 3:21 tertulis: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.”Sakit hati dan tawar hati kepada orangtua dapat membuat anak keluar dari rumah dan akhirnya hilang. Secara fisik dia mungkin masih di rumah, tetapi hatinya sudah pergi jauh dari rumah.
Ketidakharmonisan dalam Keluarga
Sejatinya rumah adalah tempat yang paling aman dan nyaman di muka bumi ini karena di rumah ada orangtua dan keluarga yang saling mengasihi, menghormati, menghargai, menolong, membela dan lain-lain. Itulah sebabnya, banyak orang yang tidak betah berada berlama-lama di luar rumah. Bukan karena rumahnya bagus dan mewah, bukan karena di rumahnya banyak makanan yang lezat, dan juga bukan karena rumahnya dilengkapi banyak fasilitas yang modern dan canggih, tetapi semata-mata karena di rumahnya ada kehangatan, cinta kasih dan keharmonisan. Suami istri selalu kompak dan harmonis, saling mengasihi, dan anak-anak dekat dengan orangtua mereka. Anak-anak dapat dengan nyaman, bebas tetapi sopan mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan pikirakan kepada orangtua mereka. Relasi di antara seluruh anggota keluarga sangat baik. Mereka semua harmonis, kompak, damai dan penuh sukacita.
Keharmonisan sejati dalam keluarga juga terlihat saat mereka berdoa bersama, beribadah bersama dan melayani bersama. Datang ke gereja yang sama bersama-sama. Tidak heran jika keluarga yang harmonis seperti ini dikatakan sebagai keluarga yang diberkati. Dalam Mazmur 133:1-3 tertulis: “Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.” Demikianlah berkat yang akan turun pada keluarga yang harmonis.
Sebaliknya, ketidakharmonisan dalam keluarga akan membuat anak tidak nyaman dan tidak betah tinggal di rumah. Ia akan berusaha keluar dari rumah dengan berbagai alasan. Pasangan suami istri tidak saling menghormati, orangtua tak sayang pada anak-anaknya dan anak-anak yang saling bertikai pasti membuat rumah menjadi tidak nyaman. Ada sangat banyak anak yang lari dari rumah, menggunakan narkoba, berperilaku tidak baik dan akhirnya berhadapan dengan hukum karena dipicu oleh masalah ketidakharmonisan dalam keluarga. Oleh karena itu, agar tidak kehilangan anak, kita harus menciptakan dan memperjuangkan keluarga yang harmonis.
Pola Asuh
Pola asuh adalah salah satu hal yang sangat penting di dalam mendidik anak. Pembiaran terhadap perilaku anak yang salah dapat membuat anak menjadi tak tahu aturan, liar dan terhilang. Anak yang sangat diatur akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri, dan anak yang terlalu diberi kebebasan dapat menjadi kebablasan.Oleh karena itu, dalam mendidik anak, orangtua harus memiliki berbagai keterampilan. Mesti tahu kapan memberi kebebasan kepada anak, tahu kapan bersikap sangat tegas kepada mereka, dan tahu kapan memberikan kesempatan kepada anak untuk berpendapat. Mirip seperti bermain layang-layang. Tahu kapan harus mengulur, menarik, dan tahu kapan membiarkan layang-layang terbang bebas menari-nari di langit.
Mendidik anak tidak mudah sehingga dalam menerapkan pola asuh orangtua harus benar-benar penuh hikmat Allah. Oleh karena itu, sebelum menjadi orangtua dan selama menjadi orangtua, para orangtua harus mau berguru dan diajar oleh Orangtua Surgawi kita, yaitu Bapa Surgawi, melalui Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus. Syukur pada Tuhan, orang Kristen punya “manual book”, yaitu Alkitab. Dalam Alkitab tertulis semua hal yang dibutuhkan oleh para orangtua untuk mendidik dan mengasuh anak. “Segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.”, demikian tertulis dalam 2 Timotius 3:16. Agar anak tidak hilang, anak harus dididik dengan pola asuh yang diajarkan oleh Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab.
Target tertentu dari Orangtua terhadap Anak
Semua orangtua punya gambaran anak impian. Pada umumnya anak impian itu adalah anak yang hebat dan dapat dibanggakan. Karena ingin mendapatkan anak yang hebat dan membanggakan sesuai dengan yang mereka harapkan, banyak orangtua yang mendisain hidup dan masa depan anak mereka. Makanan, perlakuan, pendidikan dan lain sebagainya diatur sedemikian rupa agar anak dapat menjadi seperti yang mereka inginkan. Ada juga orangtua yang menjadikan anak sebagai penggenapan cita-citanya. Misalnya: ayah bercita-cita menjadi dokter. Karena tidak dapat meraih cita-citanya, ia ingin anaknya menjadi dokter, Kemudian, ia mempersiapkan anaknya sedemikian rupa agar dapat menjadi dokter. Tidaklah masalah jika anaknya memiliki cita-cita yang sama, tetapi menjadi masalah jika sang anak sama sekali tak berminat menjadi dokter. Masalah menjadi sangat serius apabila orangtua memaksa anak. Banyak mahasiswa tidak serius dalam studi dan gagal menyelesaikan studi karena ia belajar bukan berdasarkan keberminatan dan keberbakatannya, tetapi semata-mata karena keinginan orangtua.
Allah memiliki rancangan yang berbeda untuk setiap orang sehingga Ia menaruh potensi/talenta yang berbeda pada masing-masing orang. Anak bukanlah objek pemuas keinginan orangtua. Anak adalah individu merdeka, yang sepenuhnya adalah milik Allah, yang dipercayakan untuk didik dan diasuh oleh orangtua. Oleh karena itu, bukan tidak boleh membimbing dan mengarahkan anak kepada suatu hal yang kita anggap baik, misalnya pendidikan, pekerjaan/profesi/karir bahkan jodoh, tetapi orangtua harus tetap minta hikmat, kekuatan dan pimpinan Allah sertai menghargai hak anak sebagai individu. Didik dan asuhlah anak dengan baik agar ia tidak terhilang. Dalam 1 Petrus 5:2 tertulis: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.” Anak adalah domba yang dipercayakan Allah kepada gembala yang bernama orangtua. Agar domba-dombanya tidak hilang, maka gembala harus mengembalakan dombanya dengan baik, sesuai dengan kehendak Allah.
Orangtua yang Tidak menjadi Teladan
Hal yang paling membingungkan dan dapat menyesatkan anak adalah jika apa yang diajarkan padanya tidak sesuai dengan apa yang ia lihat dan dengar. Selain itu, jika anak melihat bahwa yang diajarkan dan yang diharapkan oleh orangtuanya kepadanya tidak sesuai dengan apa yang orangtuanya lakukan, hal itu dapat menimbulkan emosi negatif pada anak. Anak dapat menjadi memiliki penilaian yang buruk terhadap orangtua, kehilangan respek keapda orangtua, dan menjadi kecewa. Kekecewaan akan membuatnya frustasi dan hidup menyimpang dari jalan Tuhan.
Agar anak tidak terhilang dan senantiasa hidup di jalan Tuhan maka orangtua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Dalam Titus 2:7 tertulis: “Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dengan berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu.” Pastikan hidup kita benar di hadapan Allah! Pastikan kita hidup di jalan-Nya! Dengan demikian, kita dapat berkata kepada anak-anak kita: “Anakku, ikutilah teladanku.” Sama seperti Paulus yang meminta jemaat di Filipi untuk mengikuti teladannya (Filipi 3:17A).
Pergaulan Anak
“Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Demikian tertulis dalam 1 Korintus 15:33. Banyak anak terlibat dalam perilaku yang tidak baik karena pergaulan, seperti mencuri, berkelahi, mengkonsumsi pornografi, napza dan lain-lain. Oleh karenanya, anak harus dibimbing agar tak tersesat dalam pergaulan dan akhirnya hilang.
Internet (Gadget, Games dan Pornografi)
Orangtua di era digital punya saingan yang sangat berat, yaitu gadget. Gadget yang terkoneksi dengan internet membuat anak mudah berselancar di dunia maya. Jika anak tidak dapat menguasai diri dengan baik, maka ia dapat jatuh dalam berbagai perilaku yang tidak baik dan hilang. Bahkan, anak bisa hilang secara fisik karena diculik, diperdagangkan atau karena dibunuh oleh penjahat yang berkeliaran di dunia maya. Untuk menghindari hal ini, sedari dini anak harus diberikan pendidikan literasi digital.
Games dan pornografi adalah dua hal yang sangat dekat dengan gadget. Banyak orangtua yang kewalahan menghadapi anaknya yang dinilai tak bisa lepas dari gadget sehingga berperilaku buruk. Bermain games tentu baik karena dapat menstimulasi otak untuk berpikir, tetapi jika kecanduan, akibatnya buruk sekali. Pornografi sama sekali tak mendatangkan kebaikan, oleh karena itu pornografi harus dijauhi. Anak-anak harus memahami hal ini agar mereka tidak salah jalan dan akhirnya hilang. Internet adalah sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, tetapi jika digunakan dengan tidak baik, dapat merusak hidup orang.
“Orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” Demikian tertulis dalam Amsal 16:32B.Anak harus terampil dalam penguasaan diri agar ia tidak hilang. Oleh karena itu, sejak dini anak harus dilatih dalam penguasaan diri. Dengan demikian, ia tidak akan hilang karena perilaku adiksi games, pornografi atau adiksi lain termasuk internet.
Kehilangan tentu sangat menyakitkan, apalagi kehilangan anak. Jangan sampai kita merasa anak kita masih ada di dekat kita, padahal sesungguhnya ia telah hilang. Itu tragedi. Oleh karena itu, setiap orangtua harus dapat menjaga anak-anaknya dengan baik. Selamat menjaga anak-anak. (SRP)