TOXIC PARENTING DALAM KELUARGA KRISTEN

Bagikan:

Loading

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Secara sederhana toxic parenting dapat diartikan sebagai cara orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua tidak sehat, tidak baik dan tidak benar. Kata-kata maupun perilakunya tidak mendatangkan kebaikan pada anak. Akibatnya anak menjadi sedih, terluka secara fisik dan psikologis, menderita, kecewa, marah, sakit, pertumbuhan dan perkembangannya fisik, mental dan rohaninya terganggu bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak. Oleh karena itu, toxic parenting tidak boleh ada dalam keluarga Kristen.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dapat menyebabkan terjadinya toxic parenting? Berbahagialah kita karena dalam Alkitab hal ini sangat terang dijelaskan. Dalam Alkitab tertulis beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya toxic parenting, di antara adalah sebagai berikut:

  1. Suami yang Tidak Setia kepada Istrinya (Maleakhi 2:14-16) – Relasi suami istri memang relasi spesial antara seorang suami dengan istrinya. Hanya mereka berdua yang terlibat dalam relasi itu. Akan tetapi, relasi antara suami dan istri akan sangat mempengaruhi kesejahteraan anak-anak mereka. Ayah selalu diidentikkan sebagai kepala rumah tangga dan imam untuk istri dan anak-anaknya. Jadi, jikalau seorang suami tidak setia kepada istrinya, kira-kira model parenting seperti apa yang akan ia terapkan kepada anak-anaknya? Apa yang akan dilihat dan dipelajari oleh anak-anak dari ayah mereka yang tidak setia kepada ibu mereka? Suami yang tidak setia kepada istrinya tidak akan dapat memberikan parenting yang baik kepada anak-anaknya. Bahkan, dari sana anak-anak akan belajar tentang ketidaksetiaan. Hal ini tentu saja menjadi toxic parenting dan tentu sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan serta kesehatan mental anak. Oleh karena itu, agar seorang ayah dapat mendidik anaknya dengan baik, maka terlebih dahulu ia harus setia kepada istrinya.
  2. Suami yang Tidak Mengasihi Istrinya (Efesus 5:25) Dalam Efesus 5:25 tertulis: “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. “ Mengasihi istri sebagaimana halnya Kristus mengasihi jemaat adalah standar yang Tuhan berikan untuk para suami. Kasih Kristus sedemikian besar kepada jemaat sehingga Kristus rela menyerahkan dan mengorbankan diri bagi jemaat. Demikianlah tuntutan Tuhan kepada para suami. Seorang suami harus mengasihi istrinya sedemikian rupa. Kasih itulah yang akan memampukan para suami untuk melakukan hal-hal yang baik bagi istri mereka. Jika seorang suami yang tidak sungguh-sungguh mengasihi istrinya, maka ia tidak mungkin dapat berbuat seperti yang Tuhan kehendaki. Lalu apa hubungannya dengan parenting? Seorang suami yang  tulus dan sungguh-sungguh menunjukkan kasihnya kepada istrinya akan jauh lebih mudah melakukan tindakan parenting kepada anak-anaknya. Seorang istri yang dikasihi dengan sungguh-sungguh oleh suaminya akan lebih mudah juga mendidik anak-anaknya. Bayangkan jika seorang istri terluka karena perbuatan suaminya! Ia tentu sulit atau tidak efekti dalam melakukan proses parenting.
  3. Istri yang Tidak Setia kepada Suaminya (Kejadian 39:1-23 dan Amsal 7:1-27) – Kejadian 39:1-23 oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diberi judul perikop “Yusuf di Rumah Potifar”. Pada perikop tersebut diceritakan tentang istri Potifar yang menggoda Yusuf agar berzinah dengannya. Karena tidak berhasil menggoda Yusuf, istri Potifar memfitnah Yusuf sehingga Yusuf dipenjara. Amsal 7:1-27 berisi nasehat orangtua kepada anak laki-lakinya agar hati-hati terhadap perempuan jalang. Perempuan jalang dalam nasehat ini ternyata sudah berstatus sebagai seorang istri. Jadi jelas, ada istri yang tidak setia kepada suami dan perkawinannya. Istri model begini tidak hanya akan menyakiti hati suaminya tetapi pasti melukai hati anak-anaknya. Ia tidak mungkin dapat melakukan tugasnya sebagai orangtua (parenting) dengan baik. Ia akan menjadi racun (toxic) bagi anak-anaknya.
  4. Istri yang Tidak Tunduk kepada Suaminya (Efesus 5:22-24) – Tunduk kepada suami adalah perintah Tuhan kepada para istri. Ada orang yang tidak setuju dengan hal ini. Mereka berpendapat bahwa kedudukan suami dan istri adalah sejajar sehingga tidak perlu ada istilah “tunduk”. Ada juga yang mengatakan atau berpendapat bahwa sikap atau perilaku tunduk kepada suami hanya boleh dilakukan oleh para istri jika para suami memenuhi berbagai syarat tertentu. Walaupun demikian, pada kenyataannya, seorang istri yang tidak mau tunduk atau suka melawan atau menyerang suaminya tidak dapat menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya, terutama dalam hal ketaatan dan penundukan diri. Bahkan, perilaku buruk sang istri kepada suami akan jadi contoh buruk bagi anak-anak. Selain itu, dapat menimbulkan luka, kesedihan bahkan trauma kepada anak.
  5. Istri yang Tidak Cakap (Amsal 31:10-31) – Amsal 31:10-31 yang oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diberi judul perikop “Puji-pujian untuk Istri yang Cakap” memaparkan tentang seperti apa perempuan yang disebut sebagai istri yang cakap sehingga ia mendapatkan puji-pujian. Pada ayat (28) dikatakan bahwa anak-anaknya bangun dan menyebutnya berbahagia. Sudah barang tentu seorang anak akan kagum, senang dan bangga jika ibunya memiliki perilaku yang baik sehingga dikagumi dan dipuji orang. Rasa kagum, senang dan bangga ini akan berdampak positif bagi perkembangan anak. Seorang ibu yang berkarakter seperti yang dipaparkan dalam Amsal 31:10-31 kemungkinan besar akan lebih mudah mengasuh dan mendidik anaknya karena ia sudah terlebih dahulu memberikan keteladanan. Anak menjadi lebih mudah melakukan hal-hal yang baik karena sudah melihat contoh. Selain itu, tidak akan timbul kebingungan pada anak karena apa yang diajarkan/dikatakan ibunya sesuai dengan apa yang diteladankan/diperbuat ibunya.
  6. Anak Emas (Kejadian 25:19-34) – Persoalan anak emas tidak hanya terjadi di masa Esau dan Yakub tetapi masih terjadi di masa kini. Anak emas adalah anak yang lebih disayang oleh orangtuanya, lebih dari pada anak-anak yang lain. Rasa lebih sayang ini tampak nyata dari cara orangtua dalam berbicara dan memperlakukan si anak emas tersebut. Misalnya: berbicara lebih lembut, dimanja, semua permintaannya dituruti atau memberikan apapun dalam porsi dan kualitas yang lebih bagus dibanding kepada anak-anak yang lain. Ada anak yang dijadikan anak emas oleh orangtuanya karena anak ini dirasa lebih pintar, lebih ganteng/cantik, lebih menurut atau lebih berprestasi sehingga membanggakan. Ada juga orang menjadikan seorang anak sebagai anak emas karena riwayat tertentu. Misalnya: lahir dari upaya dan proses yang tidak mudah, lahir ketika orangtuanya sudah berusia tua, kelahirannya lama ditunggu, anak bungsu dan lain sebagainya. Dalam perkawinan kedua, dimana masing-masing pihak membawa anak dari perkawinan sebelumnya, ada orang memperlakukan seorang anak menjadi anak emas karena anak tersebut adalah anak kandungnya. Memperlakukan seorang anak sebagai anak emas adalah hal yang salah apapun yang menjadi alasannya. Anak yang dijadikan anak emas dapat tumbuh menjadi anak yang berkarakter buruk seperti manja, cengeng, malas, tidak mau berjuang, suka memerintah, tidak sopan dan angkuh. Pada anak yang diperlakukan bukan sebagai anak emas dapat timbul rasa dan pemikiran yang negatif, seperti: merasa tidak dikasihi, kecewa, amarah, sakit hati bahkan dendam.
  7. Orangtua yang Suka Berbicara Kotor (Efesus 4:29) – Orangtua yang suka berbicara kotor tidak akan dapat mendidik dan mengasuh anaknya dengan baik. Kata-kata kotor yang ditujukan kepada anak dapat mencederai hati anak dan dapat membuat anak mengalami gangguan psikologis serius seperti menjadi pemurung, penakut, tidak percaya diri, rendah diri, pemarah tertekan dan depresi. Selain itu, hal ini akan membuat anak meniru. Ia menjadi suka berbicara kotor seperti orangtuanya. Jika seorang anak suka berbicara kotor, maka ia akan mengalami banyak masalah, terutama di luar rumah, misalnya di sekolah. Ia akan dijauhi bahkan dimusuhi oleh anak-anak lain karena dinilai berperilaku tidak baik.
  8. Orangtua yang Mencintai Uang (1 Timotius 6:10) Akar segala kejahatan adalah cinta uang”, demikian tertulis dalam 1 Timotius 6:10. Dalam ayat ini dilanjutkan lagi: “Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” Jadi jelas, orangtua yang mencintai uang akan melakukan apapun, termasuk hal-hal yang buruk, demi mendapatkan uang yang lebih banyak. Ia tidak akan takut berjudi, korupsi, mencuri, menipu, merampas hak orang lain, melakukan transaksi dagang yang tidak halal, membunuh bahkan ia bisa menjual anak dan istrinya. Hal ini dapat membuatnya berhadapan dengan hukum. Apa dampaknya kepada anak? Anak akan mengalami goncangan psikologis. Ia akan dilabel sebagai anak penjudi, anak koruptor, anak perampok, anak bandar narkoba dan lain-lain. Pasti ini akan membuat mental anak terganggu. Orangtua yang mencintai uang akan menjadi racun (toxic) bagi anak-anaknya. Tidak mungkin ia dapat mendidik dan mengasuh anaknya dengan baik.
  9. Orangtua yang Suka Menyakiti Hati Anak (Kolose 3:21) – Sakit hati yang dialami oleh anak akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannnya, apalagi jika sakit hati itu disebabkan oleh orangtuanya. Sejatinya, orangtua adalah orang yang merawat dan menyembuhkan hati anak ketika terluka. Seharusnya, orangtua bukan pelaku yang membuat hati anak terluka dan sakit. Pada umumnya, anak akan lebih menderita jika disakiti oleh orangtuanya dibanding dengan jika disakiti oleh orang lain. Oleh karena itu, orangtua harus berhati-hati dan bijaksana agar tidak menyakiti hati anak. Dalam Kolose 3:21 Paulus mengatakan kepada jemaat di Kolose bahwa sakit hati dapat membuat anak menjadi tawar hati. Sakit hati pada anak dapat terjadi karena perlakuan dan kata-kata orangtua terhadap anak.
  10. Orangtua yang Suka Memukul (Amsal 13:24) – Dalam Amsal 13:24 tertulis: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.” Ayat ini sering dipakai orang untuk membenarkan pemberian hukuman fisik atau pukulan kepada anak. Tak bisa dipungkiri bahwa ada kalanya hukuman fisik berupa pukulan cukup efektif memberikan efek jera kepada anak ketika ia melakukan hal-hal yang tidak baik atau tidak taat. Akan tetapi, perlu diperhatikan, dipikirkan dan dipertimbangkan dengan baik kapan dan bagaimana hukuman itu diberikan. Tidak boleh sembarangan memukul anak. Hukuman fisik atau pukulan tidak hanya menimbulkan sakit pada tubuh anak, tetapi juga akan menimbulkan sakit hati pada anak. Alih-alih menimbulkan efek jera dan disiplin, hukuman fisik justru menjadi kesempatan bagi orangtua untuk melampiaskan emosi. Ini pasti menimbulkan sakit dan luka di hati anak sehingga berdampak buruk bagi perkembangan dan kesehatan mentalnya. Dalam banyak kasus, pemberian hukuman fisik menyebabkan kematian pada anak.
  11. Orangtua Pemarah (Amsal 29:22) “Si pemarah menimbulkan pertengkaran, dan orang yang lekas gusar, banyak pelanggarannya.” Demikianlah tertulis dalam Amsal 29:22. Orangtua pemarah tidak akan dapat mendidik anaknya dengan baik. Ia hanya akan melakukan toxic parenting. Anak-anaknya akan dicekam ketakutan dan selalu merasa terancam. Orangtua yang pemarah akan membuat anak-anak menjadi kuatir. Anak akan berupaya menjauh dari orangtua yang pemarah.
  12. Orangtua Pemabuk (Kejadian 19:33-35; Efesus 5:18) – Mabuk membuat orang tidak dapat berpikir jernih sehingga perkataan dan perilakunya tidak baik. Hal inilah yang terjadi pada Lot. Lot mabuk karena terlalu banyak minum anggur yang sengaja disuguhkan oleh kedua putrinya. Oleh karena mabuk, Lot menjadi tidak mampu berpikir dan tak dapat melihat dengan baik sehingga ia meniduri kedua anak gadisnya. Lot berlaku bodoh. Kemabukan membuat orang menjadi bodoh. Orangtua yang pemabuk tidak akan dapat mendidik anaknya dengan baik. Itulah sebabnya Paulus menasehati jemaat di Efesus agar tidak mabuk anggur karena anggur menimbulkan hawa nafsu (Efesus 5:18).
  13. Orangtua yang Suka Membangkitkan Amarah Anak (Efesus 6:4) – Sama halnya dengan individu lainnya, anak juga memiliki berbagai emosi, baik emosi positif maupun emosi negatif. Salah satu bentuk emosi negatif pada anak adalah amarah. Amarah pada anak dapat tersulut jika dipancing. Banyak orangtua yang dengan sadar atau tidak penjadi penyulut amarah anak. Jika seorang anak dipenuhi amarah, maka ia tidak akan dapat memahami apalagi menaati apa yang dinasehatkan oleh orangtuanya. Bahkan, jika tidak dikelola dengan baik, amarah pada anak dapat menyebabkannya tumbuh menjadi anak yang bermasalah dalam emosi dan perilaku. Sewaktu-waktu ia dapat melakukan tindakan yang negatif dan destruktif sebagai akibat kemarahannya. Orangtua yang berhikmat akan belajar mengenal dan memahami setiap anaknya. Dari pada membangkitkan amarah anak, lebih baik kita didik mereka dalam ajaran dan nasehat Tuhan.
  14. Orangtua yang Tidak Ramah kepada Anak (Efesus 4:32a) – Bersikap galak dan kasar terhadap anak tidak akan membuat anak respek kepada orangtuanya. Hal itu justru dapat menimbulkan hal negatif pada anak, seperti marah, benci, takut dan dendam. Setiap orangtua harus ramah kepada anak-anaknya. Keramahan terhadap anak bukan berarti membiarkan mereka menjadi sembrono dalam berkata-kata maupun bersikap kepada orangtuanya. Jika orangtua ramah kepada anak, maka anak akan merasa nyaman. Dengan demikian anak akan jadi lebih mudah dididik.
  15. Orangtua yang Tidak Menjadi Teladan bagi Anak (Filipi 3:17) – Metoda mendidik yang paling tepat dan efektif adalah melalui keteladanan. Jika orangtua tidak dapat memberikan keteladanan yang baik kepada anak, maka anak akan mengalami kebingungan. Selain itu, seiring dengan tahap perkembangannya, anak akan menilai orangtuanya sebagai orang yang tidak dapat dipercaya dan diteladani. Orangtua yang tidak dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya akan menjadi toxic (racun) bagi anak-anaknya.
  16. Orangtua yang Mengalami Gangguan Kesehatan Mental (Filipi 4:6-8) – Orangtua yang mengalami gangguan kesehatan mental pasti akan melakukan toxic parenting. Kesehatan mental orangtua sangat berpengaruh pada kesehatan mental anak-anaknya. Simtom gangguan kesehatan mental biasanya berupa ketakutan yang hebat, kecemasan, pikiran yang tidak terkontrol, tidak merasa tenang dan damai, kuatir dan lain-lain. Oleh karena itu, orangtua yang mengalami gangguan kesehatan mental harus mendapatkan perawatan yang tepat hingga pulih sehingga ia mampu melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua.
  17. Suka Membanding-bandingkan Anak dengan Anak yang Lain atau Diri Sendiri Setiap anak unik dan istimewa. Jadi, adalah tidak bijak jika membanding-bandingkan seorang anak dengan anak yang lain. Tidak ada orang yang suka jika dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Anak yang dibanding-bandingkan dengan anak lain (termasuk saudara kandungnya maupun orangtuanya) akan merasa dirinya tidak diterima, rendah dan tidak berharga. Bahkan, dapat menimbulkan kekecewaan dan kemarahan pada anak. Padahal orangtua tidak boleh menyakiti hati anak atau menimbulkan amarah pada anak (Efesus 6:4 dan Kolose 3:21). Orangtua yang suka membanding-bandingkan seorang anak dengan anak lain atau dirinya sendiri adalah orangtua yang tidak bijaksana. Perilakunya ini merupan toxic parenting.
  18. Memberi Label Negatif – Pemberian label negatif kepada anak adalah hal yang buruk. Label anak bodoh, malas dan nakal akan merusak mental dan perilaku anak. Anak akan berperan seperti label yang dilekatkan kepadanya. Selain itu, label-label itu akan menghancurkan harga diri anak. Ini dapat membuat anak menjadi sedih, kecewa, marah, stres bahkan depresi. Pemberian label negatif oleh orangtua kepada anak merupakan salah satu bentuk toxic parenting. Dari pada melekatkan label negatif pada anak, lebih baik lakukan upaya pendekatan. Stimulus yang positif dan berarti akan mendorong anak berperilaku positif. Tidak ada anak yang bodoh dan tidak ada anak yang nakal. Yang ada adalah anak yang tidak mendapatkan stimulus yang tepat dan pengasuhan yang baik.
  19. Menjadikan Anak sebagai Duplikat Orangtua atau Pewujud Cita-cita Orangtua – Ada orangtua yang tidak dapat menggapai cita-citanya sehingga ia memaksa anaknya meraih itu. Contoh: Seseorang ingin menjadi dokter. Karena ia tidak berhasil menjadi dokter, maka ia memaksa anaknya menjadi dokter. Tidak jadi masalah jika sang anak memiliki keinginan dan kemampuan untuk menjadi dokter, akan tetapi jika anak tidak tertarik atau tidak memiliki kemampuan untuk menjadi dokter, maka akan muncul masalah besar. Contoh lain: Seseorang berprofesi sebagai pengusaha. Ia ingin anaknya menjadi mengusaha seperti dirinya dan meneruskan usahanya. Akan tetapi si anak sama sekali tidak tertarik dengan profesi tersebut. Oleh karena itu, ia memaksa anaknya untuk mejadi pengusaha seperti dirinya. Setiap orang memiliki ketertarikan dan kemampuan yang unik dan berbeda. Setiap profesi dan pilihan karir adalah baik. Yang penting, apapun yang menjadi profesi dan pilihan karir seseorang, profesi itu harus diraih dan dijalankan dengan cara yang baik dan benar. Jika orangtua memaksa anaknya untuk menjadi seperti yang ia inginkan, maka akan muncul masalah besar. Anak akan merasa dirinya tidak dihargai, merasa tidak diterima sebagaimana adanya, merasa dilecehkan, merasa ditekan dan merasa dipaksa. Bisa saja anak menerima apa yang dikehendaki oleh orangtuanya, tetapi ada resiko yang harus diperhitungkan. Misalnya: anak melakukan dengan setengah hati atau melakukan dengan hati yang tidak bahagia sehingga hasilnya tidak maksimal. Ada juga kemungkinan dimana anak akan melawan dan memberontak kepada orangtua.
  20. Menjadikan Anak sebagai Pemuas Hawa Nafsu – Angka kejahatan seksual pada anak yang dilakukan oleh orangtua sangat marak terjadi. Perilaku ini adalah tindakan melawan hukum, baik hukum positif Indonesia terlebih hukum Tuhan. Orangtua yang menjadi pelaku kejahatan seksual pada anak harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Sayangnya, kasus kejahatan seksual pada anak yang dilakukan oleh orangtua banyak yang tidak dilaporkan atau dilaporkan tetapi tidak diproses sebagaimana seharusnya. Alasannya, pelaku adalah orangtua anak, maka jika diproses sebagaimana mestinya, akan membuat aib dalam keluarga. Akibatnya, anak menjadi korban dan hak asasinya dirampas. Orangtua yang seperti ini adalah penjahat dan sudah pasti menjadi racun (toxic) mematikan bagi anak-anaknya.

Menjadi orangtua memang tidak mudah. Ketika sepasang insan Kristen memutuskan berumah tangga dan memiliki anak, maka mendidik serta mengasuh anak merupakan tanggung jawab yang harus diemban seumur hidup. Walaupun melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai orangtua Kristen tidak mudah, bukan berarti tidak bisa atau tidak mungkin dilakukan dengan baik dan benar seperti yang Allah kehendaki. Belajarlah pada Orangtua kita yang kekal, yakni Bapa sorgawi! Ia pasti akan menolong dan memampukan setiap orangtua dalam melakukan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai orangtua. Sukalah membaca Alkitab! Alkitab adalah buku panduan hidup bagi orang yang percaya kepada Kristus.  Dalam Alkitab tertulis dengan jelas semua hal yang dibutuhkan orang dalam mendidik anak sehingga ia dapat mendidik anak dengan baik dan benar seturut firman Tuhan serta tidak melakukan toxic parenting. (SRP)