Oleh: Susi Rio Panjaitan
Perilaku flexing merujuk pada tindakan seseorang yang secara eksplisit menampilkan kekayaan, prestise, atau status sosial mereka kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan atau mengesankan orang lain. Salah satu bentuk paling umum dari flexingadalah menampilkan barang-barang mewah seperti mobil mahal, jam tangan berharga, perhiasan, atau properti mewah. Ini biasanya dilakukan melalui media sosial, seperti posting foto atau video, untuk menunjukkan status ekonomi yang tinggi. Ada juga orang yang melakukan flexing dengan cara menunjukkan prestise mereka, misalnya dengan menyebutkan jabatan atau gelar akademis yang mereka miliki, partisipasi dalam acara atau kegiatan bergengsi, atau hubungan dengan orang-orang berpengaruh. Selain itu, perilaku flexing juga sering ditunjukkan dengan cara menunjukkan tubuh mereka yang berotot atau kebugaran fisik mereka yang tinggi. Flexing seperti in biasanya dilakukan melalui media sosial, dimana seseorang memposting foto atau video dari rutinitas olahraga atau hasil diet yang ketat. Flexing juga bisa dilakukan melalui penggunaan produk-produk bermerk atau berlabel terkenal. Misalnya, seseorang memakai pakaian, sepatu, atau aksesori dari merek-merek mewah untuk menunjukkan status sosial atau kekayaan mereka. Selain tindakan langsung, flexing juga dapat tercermin melalui bahasa tubuh, seperti sikap yang tampak terlalu percaya diri, gerakan yang menarik perhatian, atau kontak mata yang kuat. Ini bertujuan untuk menarik perhatian orang lain dan memperoleh pengakuan.
Meskipun perilaku flexing dimaksudkan untuk menunjukkan kesuksesan atau keberhasilan, perilaku flexing yang dilakukan seseorang dapat menimbulkan dampak negatif pada orang lain. Perilaku ini dapat menciptakan ketidaknyamanan, iri hati, rendah diri, dan ketidakpuasan pada diri sendiri bagi yang merasa kurang mampu melakukan flexing. Perilaku flexing juga dapat mencerminkan bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dan bagaimana ia ingin dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu, perilaku flexing sangat berkaitan dengan upaya untuk memperkuat identitas atau citra diri tertentu di mata publik. Dalam beberapa kasus, flexing menjadi strategi pemasaran atau promosi bagi merek atau produk tertentu. Namun, dalam konteks sosial yang lebih luas, perilaku flexing sering kali dilihat sebagai tindakan yang kurang sopan atau tidak pantas, terutama jika dilakukan dengan cara yang sombong atau merendahkan orang lain.
Pada masa ini, perilaku flexing merupakan fenomena yang sangat banyak terjadi di berbagai platform media sosial dan budaya populer. Dengan popularitas media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, perilaku flexing menjadi lebih mencolok dan dapat diakses secara luas. Orang-orang sering memanfaatkan platform-platform ini untuk memamerkan gaya hidup glamor, termasuk barang-barang mewah, perjalanan, dan kegiatan eksklusif mereka. Budaya influencer telah memperkuat perilaku flexing dengan memberikan platform yang besar bagi individu untuk memamerkan gaya hidup mereka kepada jutaan pengikut. Para influencer seringkali memperoleh sponsor dari merek-merek mewah atau bergengsi untuk memperkuat citra mereka sebagai simbol status sosial yang tinggi. Selain barang-barang fisik, flexing saat ini juga melibatkan aspek digital, seperti memamerkan jumlah pengikut, likes, atau komentar yang tinggi di media sosial. Ini menciptakan persepsi bahwa memiliki pengaruh yang besar di dunia maya merupakan bentuk status sosial.
Perilaku flexing juga dapat terlihat dalam bentuk konsumsi berbasis langganan (subscription-based) seperti layanan streaming, keanggotaan klub eksklusif, atau paket langganan barang mewah. Ini dapat membuat individu menjadi secara terus-menerus memamerkan akses mereka ke konten eksklusif atau produk mewah tanpa perlu memiliki produk tersebut secara fisik. Meskipun flexing terlihat sebagai cara untuk mendapatkan validasi dari orang lain, perilaku flexing juga dapat muncul akibat dipengaruhi oleh dorongan mental dan emosional. Ada orang melakukan flexing sebagai cara untuk mengatasi rasa tidak aman atau ketidakpastian dalam hidup mereka dengan menciptakan citra yang kuat dan sukses di mata publik. Meskipun masih ada pengagum dan pengikut dari perilaku flexing, akan tetapi kritik dan penolakan terhadap perilaku flexing juga banyak. Banyak orang mulai melakukan kritik terhadap perilaku flexing karena dianggap sebagai bentuk kesombongan. Flexing juga seringkali diperkuat oleh pengaruh budaya populer seperti lagu-lagu rap atau hip-hop yang seringkali menampilkan lirik-lirik tentang kekayaan dan gaya hidup mewah. Ini memperkuat citra flexing sebagai sesuatu yang diinginkan atau diidolakan oleh banyak orang, terutama di kalangan generasi muda.
Sebagian orang melakukan flexing semata-mata karena menikmati perasaan gengsi atau kebanggaan pribadi yang didapat dari memamerkan keberhasilan mereka. Ini menjadi cara untuk memperkuat identitas atau citra diri tertentu di mata publik. Ada juga orang yang berperilaku flexing sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak aman atau ketidakpuasan dalam hidup mereka. Dengan menunjukkan kekayaan atau prestise mereka kepada orang lain, mereka merasa lebih baik untuk sementara waktu, meskipun itu hanya memberikan kepuasan yang singkat. Faktor-faktor yang menyebabkan orang berperilaku flexing sangat bervariasi, tergantung pada konteks sosial, budaya, dan kondisi psikologis individu tersebut.
Perlu dipahami bahwa perilaku flexing dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental individu, baik terhadap invidu yang melakukan flexing,maupun pada individu yang terpapar flexing. Orang yang terus-menerus terpapar oleh perilaku flexing bisa merasa tidak cukup atau rendah diri karena perbandingan sosial yang tidak sehat. Mereka merasa tidak layak atau merasa kurang sukses jika mereka tidak dapat menampilkan gaya hidup yang sama seperti yang dipamerkan oleh orang lain. Menyaksikan flexing secara terus-menerus dapat menyebabkan peningkatan kecemasan dan depresi pada individu yang merasa tertekan atau terancam oleh standar yang tidak realistis. Perasaan tidak mampu untuk mencapai tingkat keberhasilan atau kebahagiaan yang sama dengan orang lain dapat memperburuk kondisi kesehatan mental.
Orang yang terlibat dalam perilaku flexingdapat menjadi terlalu tergantung pada pengakuan orang lain. Mereka merasa perlu untuk terus-menerus memamerkan kekayaan atau prestise mereka untuk memperoleh validasi dari orang lain. Ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan emosional. Selain itu, upaya untuk menampilkan gaya hidup mewah atau kekayaan melalui flexing dapat menyebabkan tekanan finansial yang signifikan. Individu akan memaksa diri untuk membeli barang-barang atau fasilitas mahal untuk mempertahankan citra yang mereka bangun, termasuk untuk sesuatu yang melebihi kemampuan finansial mereka. Flexing juga dapat merusak hubungan sosial karena menimbulkan perasaan cemburu, iri hati, atau ketidaknyamanan di antara teman atau keluarga. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya isolasi sosial atau konflik interpersonal yang akan memperburuk kondisi kesehatan mental individu.
Terlibat dalam perilaku flexing dapat membuat individu terjebak dalam siklus ketidakpuasan dengan diri sendiri, dimana mereka terus-menerus berusaha untuk mencapai standar yang tidak realistis. Ini dapat menghambat perkembangan pribadi dan mengganggu perasaan kesejahteraan secara keseluruhan. Flexing dapat mengaburkan garis antara nilai-nilai dan prioritas yang sehat dengan penekanan pada kekayaan atau status sosial. Individu akan kehilangan jati diri mereka sendiri dan mengalami kebingungan identitas karena terlalu fokus pada citra yang mereka bangun di dunia luar. Dalam banyak kasus, perilaku flexing menjadi indikator adanya masalah yang serius dalam kesehatan mental individu, seperti kurangnya rasa percaya diri, kebutuhan akan pengakuan eksternal, atau ketidakpuasan dengan keadaan hidup mereka. Oleh karena itu, penting untuk mengenali dampak negatif dari flexing dan mencari bantuan profesional jika diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan mental yang mungkin timbul.
Perilaku flexing juga terjadi pada warga gereja. Ada orang menggunakan flexing untuk menunjukkan diri mereka sebagai anggota gereja yang saleh atau berbakti. Mereka mungkin memamerkan kegiatan keagamaan mereka, seperti beribadah rutin, partisipasi dalam pelayanan gereja, atau memberi sumbangan ke gereja. Ini cara mereka untuk memperoleh pengakuan atau penghargaan dalam komunitas gereja. Di dalam komunitas gereja, ada hierarki sosial yang bisa menjadi sumber persaingan dan perbandingan sosial. Beberapa individu mungkin menggunakan flexing untuk menegaskan atau meningkatkan status sosial mereka di dalam gereja. Misalnya, dengan memamerkan jabatan atau tanggung jawab gerejawi yang mereka pegang. Ada warga gereja yang berperilaku flexinguntuk menampilkan kekayaan materi atau kesuksesan ekonomi mereka sebagai tanda berkat dari Tuhan. Mereka memamerkan properti atau barang-barang mewah yang mereka miliki sebagai bukti “berkat” yang mereka terima. Ada juga orang yang menggunakan flexing untuk menampilkan tingkat kedalaman atau kedewasaan spiritual mereka. Misalnya: mereka memamerkan pengetahuan Alkitab yang luas, pengalaman rohani yang mendalam, atau koneksi pribadi mereka dengan Tuhan sebagai cara untuk menunjukkan superioritas spiritual di dalam komunitas gereja. Seperti di dalam masyarakat umum, kompetisi dan perbandingan sosial juga dapat terjadi di dalam komunitas gereja. Ada warga gereja yang berperilaku flexing untuk menunjukkan bahwa mereka tidak kalah atau lebih baik dari warga gereja yang lain. Di lingkungan gereja yang berkembang pesat, ada individu atau kelompok yang menggunakan flexing sebagai cara untuk memperoleh pengaruh atau kekuasaan di dalam gereja. Mereka mungkin memanfaatkan hubungan atau sumber daya mereka untuk membangun citra atau reputasi yang kuat di dalam komunitas.
Selain hal-hal tersebut, ada juga warga yang berperilaku flexing dengan alasan untuk mempromosikan program-program pelayanan gereja. Mereka memamerkan kegiatan atau prestasi mereka dalam pelayanan dengan alasan untuk menginspirasi atau memotivasi orang lain untuk bergabung atau mendukung upaya tersebut. Apapun alasannya, perilaku flexing dalam konteks gereja memiliki implikasi yang kompleks dan dapat memengaruhi dinamika sosial, spiritual, dan emosional di dalam komunitas gereja. Oleh karena penting bagi setiap warga gereja untuk mengkaji motif dan tujuan di balik perilaku mereka, serta memastikan bahwa hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip iman Kristiani.
Salah satu nilai utama dalam ajaran Kristen adalah kerendahan hati dan kemurahan hati kepada sesama. Perilaku flexingbertentangan dengan nilai-nilai Kristen karena menempatkan fokus pada diri sendiri daripada memperhatikan kebutuhan orang lain. Ajaran Kristen mendorong orang untuk hidup sederhana, rendah hati, dan murah hati kepada sesama. Meskipun kekayaan material tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk dalam iman Kristen, tetapi pengikut Kristus diberi peringatan terhadap cinta akan uang dan harta. Flexing yang dilakukan untuk menunjukkan kekayaan materi merupakan tanda kesombongan atau ketergantungan pada hal-hal duniawi. Selain itu, prinsip Kristiani juga menekankan pentingnya menghormati dan memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan penghargaan. Flexing yang dilakukan dengan tujuan merendahkan atau merasa lebih baik dari orang lain bertentangan dengan ajaran ini, karena tidak memperlakukan sesama sebagai sesama ciptaan Allah.
Kristen mendorong penghargaan akan ketenangan batin dan kepuasan dalam Tuhan daripada pencarian tanpa akhir akan kekayaan materi atau pengakuan dari dunia. Ajaran Kristen menekankan pentingnya pelayanan dan pengabdian kepada Tuhan dan sesama. Jadi, perilaku flexing dilihat dari perspektif Kristen harus dievaluasi dengan cermat dalam konteks nilai-nilai iman dan ajaran Kristen. Penting bagi setiap individu untuk mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mencerminkan prinsip-prinsip keimanan mereka dan apakah itu sesuai dengan panggilan mereka untuk hidup sebagai pengikut Kristus. Dalam Alkitab, ada banyak ayat yang mengingatkan agar manusia tidak berperilaku flexing, antara lain sebagai berikut:
- Pengkhotbah 5:9 – “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia.”
- 1 Timotius 6:17 – “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.”
- Yakobus 4:16 – “Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam kesombonganmu, semua kemegahan yang demikian adalah salah.”
- Lukas 18:9-14 – Ini adalah perumpamaan Yesus tentang orang Farisi yang sombong dan pemungut cukai yang rendah hati.
- Markus 12:38-40 – Ini tentang bagaimana Yesus memperingatkan agar berhati-hati terhadap kesombongan.
- Amsal 16:18 – “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.”
- Amsal 18:12 – “Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan.”
Ayat-ayat tersebut mengingatkan tentang pentingnya rendah hati, dan tidak berpusat pada kekayaan atau kekuasaan duniawi, serta menunjukkan bahwa kesombongan dan perilaku flexing tidak disukai oleh Allah. (SRP)