Oleh: Susi Rio Panjaitan
Ada orang yang gagal dalam studi dan karir bukan karena kurang cerdas, tetapi karena tidak berkarakter baik. Ada juga yang nyaris tidak punya teman, konflik sana sini, bukan karena tidak cantik/ ganteng, tetapi karena masalah karakter. Dalam lingkup yang lebih luas, setiap hari kita dapat mendengar berita atau peristiwa yang juga dikaitkan dengan kualitas karakter individu. Misalnya: praktik korupsi yang merajalela, pertikaian di antara saudara kandung, perkosaan yang dilakukan ayah terhadap anak kandungnya, guru yang melakukan kekerasan terhadap siswa, siswa yang berlaku tidak hormat terhadap gurunya, pemuka agama yang tega melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak, tawuran, perselingkuhan, perilaku pamer secara berlebihan (flexing), konflik interpersonal dan rumah tangga yang diekspos di media sosial, perundungan (bullying), nyotek dan plagiarisme dianggap bukan masalah, mudah melontarkan kata-kata tak pantas, perilaku asusila dianggap bukan masalah, sebrono dalam berkomentar, dan lain-lain. Perilaku-perilaku ini, yang selain tidak terpuji dan merugikan orang lain, muncul sebagai akibat adanya masalah dalam karakter individu.
Apa sebetulnya yang dimaksud dengan karakter? Secara sederhana, karakter dapat diartikan sebagai sekumpulan sifat, nilai-nilai dan kualitas moral yang membentuk kepribadian dan perilaku individu. Karakter merupakan komponen penting yang melekat pada individu dan memengaruhi semua aspek kehidupan individu. Karakter bukan bawaan lahir tetapi hasil proses pembelajaran dalam perjalanan hidup individu. Orang yang berkarakter baik memiliki integritas tinggi, dapat dipercaya, memiliki reputasi yang baik, dan cenderung memiliki hubungan interpersonal yang baik. Orang yang berkarakter dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik itu dalam relasi sosial, pekerjaan, bisnis, atau pelayanan. Untuk dapat menciptakan bangsa dan negara yang kuat serta berkuliatas, dibutuhkan warga negara yang berkarakter baik. Untuk menciptakan gereja yang tangguh dan berdampak, juga diperlukan warga gereja yang berkarakter mulia. Di era ini, di mana kecanggihan teknologi dan media sosial seakan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dan di masa yang akan datang, individu berkarakter semakin dibutuhkan. Individu yang berkarakterlah yang dapat bertahan dan berhasil. Itulah sebabnya, karakter individu harus dibentuk sejak dini.
Pembentukan karakter hanya dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Artinya, pendidikan adalah kunci penting terjadinya pembentukan karakter yang berkualitas. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat (1) tertulis: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Dengan mengacu pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa sejatinya pendidikan ditujukan tidak semata-mata untuk membangun individu (peserta didik) yang cerdas intelektual, tetapi juga untuk membangun karakter individu. Itulah sebabnya, di sekolah-sekolah pendidikan karakter sejajar dengan pendidikan aspek lainnya. Pada umumnya orang tua yang ketika hendak memasukkan anak-anaknya ke suatu sekolah tertentu, di sekolah tersebut anak-anak mereka akan mendapatkan pendidikan karakter yang bermutu sehingga anak-anak mereka bertumbuh menjadi individu yang berkarakter baik. Padahal, pendidik pertama dan utama anak adalah kedua orang tuanya, dan sekolah pertama dan utama anak adalah rumahnya. Artinya, orang tua tidak dapat dengan serta merta menaruh tugas dan tanggung jawab pendidikan anak kepada pihak lain, termasuk sekolah. Walaupun demikian, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus memberikan layanan pendidikan yang bermutu kepada anak sehingga dapat mendukung para orang tua dalam mendidik dan membangun karakter anak.
Sama halnya dengan sekolah, Sekolah Minggu yang dalam beberapa sinode gereja disebut dengan Pelayanan Anak dan Remaja (PAR) atau Komisi Pelayanan Anak (KPA), memiliki peran, tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak. Semua kegiatan dan bentuk pelayanan yang dilakukan oleh Sekolah Minggu bertujuan untuk mendidik anak-anak sehingga anak-anak memiliki karakter yang baik, sebagaimana seharusnya orang Kristen (pengikut Kristus). Dalam Galatia 5:22-23 tertulis: “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” Apa yang tertulis dalam Galatia 5:22-23 adalah karakteristik orang Kristen. Sekolah Minggu idealnya dapat menjadi sekolah karakter bagi warga Sekolah Minggu, baik untuk Anak-anak Sekolah Minggu, maupun untuk Guru-guru Sekolah Minggu.
Sekolah Minggu Sekolah Karakter untuk Guru Sekolah Minggu
Sejatinya, proses pembentukan karakter adalah proses seumur hidup. Artinya, tidak ada seorang pun yang sudah tamat dari sekolah karakter. Semur hidup, manusia selalu berproses dalam pembentukan karakter. Itulah sebabnya, Sekolah Minggu juga merupakan sekolah karakter untuk Guru-guru Sekolah Minggu. Walaupun sudah berusia dewasa, dan sudah memenuhi syarat adaministrasi maupun syarat kompetensi yang ditetapkan oleh gereja untuk dapat menjadi Guru Sekolah Minggu, Guru Sekolah Minggu masih berproses dalam pembentukan karakter, dan itu berlangsung seumur hidup. Dinamika yang terjadi di Sekolah Minggu akan memengaruhi setiap Guru Sekolah Minggu. Komunikasi dan interaksi dengan sesama Guru Sekolah Minggu, Anak Sekolah Minggu, orangtua dari Anak Sekolah Minggu, pendeta, majelis, penatua, dan pelayan gereja lainnya merupakan bagian penting dari proses pembentukan karakter Guru Sekolah Minggu.
Pelayanan Sekolah Minggu yang adalah pelayanan tim menuntut setiap Guru Sekolah Minggu mampu beradaptasi dengan baik dan berkonbtribusi positif sehingga teamwork yang kuat dapat dibentuk dan tercipta kolaborasi yang harmoni. Dengan demikian, pelayanan Sekolah Minggu dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam kesemuanya itu terjadi proses, yang dalam proses tersebut yang terjadi tidak hanya yang menyenangkan, tetapi sangat mungkin terjadi hal-hal yang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Guru Sekolah Minggu. Misalnya: komentar teman yang dirasa pedas, tugas yang dibebankan terasa berat, rekan sepelayanan yang dianggap tidak bertanggung jawab, tantangan dalam mengajar Anak Sekolah Minggu, tuntutan gereja, rewelnya orang tua Anak Sekolah Minggu, dan lain sebagainya. Hal-hal ini berpotensi dua hal, yakni: dapat mematahkan hati dan semangat Guru Sekolah Minggu sehingga merespon dengan marah, berkonflik, atau bahkan mundur dari pelayanan; atau menerima semua ini sebagai stimulus untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas diri, serta membentuk karakter Guru Sekolah Minggu menjadi lebih berkualitas.
Pilhan tentu ada pada setiap Guru Sekolah Minggu. Sama halnya dengan sekolah regular yang sarat dengan didikan, dunia Sekolah Minggu juga sarat dengan didikan untuk Guru Sekolah Minggu. Di Sekolah Minggu ada hal-hal yang sangat indah dan menyenangkan, tetapi sangat mungkin ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapan setiap Guru Sekolah Minggu. Tidak semua anak suka PR, dan tidak semua anak senang dengan ujian, tetapi PR dan ujian adalah bagian pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah. Mungkin setiap anak maunya boleh masuk kelas pada jam suka-suka, tetapi di sekolah ada jadwal yang sudah ditetapkan. Ada anak yang merasa nyaman dengan kaos oblong dan celana training, tetapi di sekolah ada pakaian seragam. Di sekolah ada aturan yang harus dipatuhi setiap peserta didik. Pada akhirnya, semua itu merupakan proses pendidikan bagi semua peserta didik, guna menjadi individu yang cerdas dalam semua aspek dan memiliki karakter yang unggul.
Pun demikian halnya di Sekolah Minggu. Jika Guru Sekolah Minggu mau merespon semua dinamika dan proses pelayanan di Sekolah Minggu sebagai kesempatan melayani sekaligus kesempatan berproses dalam iman, maka karakter Guru Sekolah Minggu akan terbentuk menjadi karakter yang berkuliatas. Dalam Amsal 3:11-12 tertulis: “Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi.” Dengan demikian, hidup Guru Sekolah Minggu menjadi berkat untuk orang lain, dan lewat hidupnya nama Tuhan Yesus Kristus dipermuliakan.
Sekolah Minggu Sekolah Karakter untuk Anak Sekolah Minggu
Kehidupan modern yang sarat dengan kejadian-kejadian buruk akibat perilaku buruk manusia, membuat banyak orang tua menaruh harap yang besar terhadap Sekolah Minggu. Mereka berharap, di Sekolah Minggu anak-anak mereka dididik sedemikian rupa sehingga anak-anak itu memiliki karakter yang baik. Sebagai pelayan di Sekolah Minggu, Guru Sekolah Minggu sebaiknya merespon harapan tersebut sebagai tugas dan tanggung jawab pelayanan yang mulia. Dengan demikian, Guru Sekolah Minggu dapat melakukan tugas pelayanannya dengan sukacita, bersemangat, memberikan dan melakukan yang terbaik, serta bergantung penuh pada tuntunan Roh Kudus, sehingga dapat memfasilitasi dan membimbing Anak-anak Sekolah Minggu dalam proses pendidikan di sekolah karakter yang disebut dengan Sekolah Minggu. Yang menjadi pertanyaan, dengan cara apa Anak Sekolah Minggu mendapatkan pendidikan karakter di Sekolah Minggu? Ada beberapa kondisi di mana Anak Sekolah Minggu dapat belajar pendidikan karakter di Sekolah Minggu, antara lain:
Keteladanan Guru Sekolah Minggu
Cara belajar yang efektif bagi anak adalah dengan melihat dan mendengar. Sebagai hasil pembelajarannya, anak akan meniru apa yang ia lihat dan dengar. Karena masih dalam proses perkembangan kognitif, anak belum sampai pada tahap kematangan berpikir. Anak belum terlalu kritis dalam merespon yang ia lihat dan dengar, dan belum terlalu memahami mana yang benar, mana yang pantas, mana yang tidak baik, dan mana yang perlu diseleksi sebelum ditiru. Itulah sebabnya, peran orang dewasa yang ada di sekitar anak, termasuk Guru Sekolah Minggu menjadi sangat penting. Guru Sekolah Minggu harus dapat menjadi contoh positif bagi anak, baik dalam perkataan, perilaku sehari-hari, dan dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dengan melihat keteladanan baik yang diberikan oleh Guru Sekolah Minggu, anak akan belajar hal-hal yang benar, yang baik, yang mulia, yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Pada akhirnya, dapatlah diharapkan Anak Sekolah Minggu menginternalisasi teladan yang diberikan Guru Sekolah Minggu sehingga dapat menjadi bagian dari karakternya.
Sebaliknya, jika hal-hal yang tidak baik yang ditunjukkan oleh Guru Sekolah Minggu melalui perkataan dan perilakunya, maka itu jugalah yang mungkin akan ditiru dan diinternalisasi Anak Sekolah Minggu sebagai karakternya. Selain itu, jika Guru Sekolah Minggu tidak dapat menjadi teladan yang benar bagi Anak Sekolah Minggu, maka akan terjadi kebingungan pada anak. Anak-anak Sekolah Minggu akan mengalami kebingungan karena tidak ada kesesuaian antara apa yang diajarkan oleh Guru Sekolah Minggu dengan apa yang guru katakan atau lakukan. Contoh: Guru Sekolah Minggu yang bernama kakak A mengajarkan kejujuran dalam pengajarannya di kelas. Ia mengatakan bahwa anak Tuhan Yesus harus jujur. Jujur artinya mengatakan yang benar. Suatu hari Minggu, kakak A dapat tidak mengajar di kelas Anak Sekolah Minggu yang bernama B. Berita yang disampaikan adalah karena kakak A sedang sakit. Di hari itu, sepulang Sekolah Minggu, B pergi ke mal bersama orang tuanya. Tidak sengaja B melihat kakak A sedang duduk dan makan bersama dengan seorang temannya. Kakak A tampak segar, sehat, dan tertawa-tawa. Tidak ada tanda-tanda kalau kakak A sedang sakit. Melihat ini, kira-kira apa yang ada di benak B? Selain bingung, sangat mungkin B menjadi tidak percaya kepada kakak A karena ia menganggap kakak A tukang bohong. Jadi, sangat penting bagi Guru Sekolah Minggu untuk menjaga integritasnya.
Cerita-cerita Alkitab
Dalam setiap cerita Alkitab selalu ada tokoh dengan karakter tertentu. Dari sana Anak-anak Sekolah Minggu dapat belajar mengenai berbagai bentuk karakter. Anak juga dapat belajar apa konsekuensi bagi diri sendiri dan orang lain jika seseorang berkarakter tertentu. Di samping itu, melalui cerita-cerita Alkitab anak juga dapat memahami dan menentukan mana karakter yang baik, yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus ada pada anak-anak-Nya. Guru-guru Sekolah Minggu perlu mendorong Anak-anak Sekolah Minggu untuk memilih karakter yang baik sebagai karakternya. Dengan demikian, anak dapat dibimbing dalam proses pembentukan karakter. Jadi, Guru Sekolah Minggu harus mampu bercerita atau menyampaikan cerita Alkitab dengan menarik dan efektif.
Komunikasi dan Interaksi
Di Sekolah Minggu, anak terlibat dalam komunikasi dan interkasi dengan orang lain, baik dengan Guru Sekolah Minggu, anak lainnya, orang tua anak yang lain, pendeta, majelis, penatua, maupun pelayaan gereja dan jemaat lainnya. Dalam komunikasi dan interaksi tersebut anak dapat belajar banyak hal. Misalnya: cara berbicara dengan teman sebaya, pendeta, Guru Sekolah Minggu, orang yang lebih tua, dan lain-lain. Anak juga dapat belajar bagaimana mendengarkan dengan baik dan berbagai keterampilan sosial. Selain itu, anak juga dapat tata krama, etika, sopan santun, norma-norma, dan nilai-nilai Kristen yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dari berbagai kelompok usia, karakter anak dapat terbentuk. Misalnya: anak menjadi beretika, disiplin, sopan-santun, tertib, dan lain-lain. Oleh karena itu, Guru Sekolah Minggu harus dapat menjadi komunikator dan mediator yang efektif sehinga Anak Sekolah Minggu dapat belajar dengan baik.
Keterlibatan dalam Akitivas Pelayanan Sekolah Minggu
Sekolah Minggu adalah sekolah yang menyenangkan karena di Sekolah Minggu anak tidak hanya boleh duduk diam mendengarkan apa yang Guru Sekolah Minggu sampaikan, tetapi dapat terlibat aktif dalam banyak program pelayanan. Misalnya: menjadi singer, pemusik, kolektan, panitia Natal Sekolah Minggu, dan lain sebagainya, yang kesemuanya dikerjakan dalam tim. Anak akan belajar bertanggung jawab, berkolaborasi, berempati, menolong, dan keterampilan teamwork lainnya. Ini merupakan kesempatan baik bagi pembentukan karakter anak. Oleh karena itu, Guru Sekolah Minggu harus mampu menciptakan berbagai kesempatan di mana Anak Sekolah Minggu dapat terlibat aktif.
Penanaman Nilai-nilai dan Iman Kristiani
Sejatinya, tujuan pelayanan Sekolah Minggu adalah untuk menanamkan nilai-nilai dan iman Kristiani kepada anak-anak. Itulah sebabnya, ajaran Tuhan Yesus merupakan dasar dan Alkitab adalah rujukan pertama dan utama. Jika pada individu telah ditanamkan nilai-nilai dan iman Kristiani sejak dini, maka ia akan tumbuh menjadi individu yang berkarakter baik, yakni karakter Kristen, dengan iman yang teguh kepada Tuhan Yesus Kristus. Walaupun gereja tidak membuat larangan bagi Guru Sekolah Minggu untuk menggunakan referensi tambahan, akan tetapi Alkitab harus menjadi sumber utama. Referensi dari mana pun atau nilai apa pun yang bertentangan dengan ajaran dan iman Kristen, tidak boleh diajarkan atau ditanamkan kepada Anak-anak Sekolah Minggu. (SRP)