Oleh: Susi Rio Panjaitan
Fenomena Perkawinan Anak
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jika merujuk pada pasal ini, maka dapat dikatakan bahwa perkawinan anak adalah perkawinan individu yang belum berusia 18 tahun. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Walaupun peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah mengatur tentang usia perkawinan, akan tetapi, angka perkawinan anak di Indonesia relatif tinggi. Data Biro Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada tahun 2020 menunjukkan, pada tahun 2018, ada sekitar 11% atau 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 1 dari 100 anak laki-laki menikah sebelum berusia 18 tahun. Pada tahun itu, diperkirakan ada sebanyak 1.220.900 anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun (https://www.unicef.org/indonesia/media/2826/file/Perkawinan-Anak-Factsheet-2020.pdf).
Perkawinan anak merupakan tindakan melawan hukum. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 10 Ayat Huruf (a) dikatakan bahwa perkawinan anak merupakan pemaksaan perkawinan, dan dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf (e) dikatakan bahwa pemaksaan perkawinan merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf (c) dikatakan bahwa persetubuhan terhadap anak merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Dengan merujuk pada pasal ini makin jelas terlihat bahwa perkawinan anak merupakan tindak pidana kekerasan seksual karena kemungkinan besar dalam perkawinan anak akan terjadi persetubuhan terhadap anak. Selain itu, perkawinan anak juga pelanggaran terhadap hak anak karena merupakan kekerasan terhadap anak.
Penyebab Perkawinan Anak
Penting untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak guna melakukan upaya preventif. Berikut adalah beberapa faktor yang ditenggarai sebagai penyebab terjadinya perkawinan anak.
- Kemiskinan –Masalah tekanan ekonomi dan kemiskinan seringkali dijadikan sebagai alasan mengapa perkawinan anak terjadi. Anak dikawinkan dengan harapan tidak lagi menjadi beban ekonomi keluarga, dan bahkan diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga. Itulah sebabnya banyak anak perempuan yang dikawinkan oleh orang tuanya sendiri kepada lelaki yang seusia dengan ayah bahkan kakek si anak, dengan alasan si lelaki sudah mapan secara finasial. Dalam hal ini, anak dikorbankan demi kepentingan orang tua dan keluarga.
- Tradisi Budaya –Sampai saat ini, di Indonesia masih ada daerah-daerah tertentu dimana masyarakatnya masih menjadikan perkawinan anak sebagai kebiasaan.
- Ketidaksetaraan Gender– Pandangan bahwa perempuan tidak perlu mengecap pendidikan tinggi karena perempuan harus masuk ke rumah, melahirkan, serta mengurus dan melayani suami dan anak-anaknya, merupakan pandangan yang sangat merendahkan dan merugikan perempuan. Ini menunjukkan perempuan ditaruh dalam posisi di bawah laki-laki. Sayangnya, pandangan ini masih ada dalam kelompok masyarakat tertentu. Inilah salah satu faktor penyebab anak perempuan dikawinkan supaya ia bisa segera melahirkan dan menjalankan kewajibannya sebagai perempuan.
- Konflik –Konflik dalam keluarga atau masyarakat dapat memicu terjadinya perkawinan anak. Misalnya, karena konflik dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi maka anak dipaksa untuk menikah. Selain itu, konflik dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan aman pada anak sehingga anak dikawinkan dengan harapan mendapatkan perlindungan dari suami.
- Kurangnya Pendidikan –Kurangnya pendidikan yang dikecap oleh anak dan masyarakat membuat pemahaman mereka menjadi sangat terbatas. Ketidakpahaman tentang resiko perkawinan anak terhadap anak, keluarga, anak dari anak tersebut, dan masyarakat membuat perkawinan anak terus terjadi.
- Kehamilan di Luar Perkawinan –Kehamilan di luar perkawinan menjadi salah satu faktor terjadinya perkawinan anak. Dengan alasan janin harus dilahirkan, calon bayi harus lahir dari dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, pasangan seksual si anak harus bertanggung jawab, atau untuk menjaga nama baik keluarga, maka anak dikawinkan. Padahal, mengawinkan anak yang mengalami kehamilan di luar perkawinan belum tentu solusi terbaik.
- Masalah Penegakan Hukum –Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 10 Ayat (1) terulis: “Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.00O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah).” Dalam Ayat (2) dijelaskan bahwa perkawinan anak termasuk pemaksaan perkawinan. Jadi jelas, perkawinan adalah pelanggaran hukum yang diancam dengan pidana. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hukum sudah dtegakkan sebagaimana mestinya?
Dampak Buruk Perkawinan Anak
Selain merupakan pelanggaran hukum dan pelanggaran terhadap hak anak, perkawinan anak membawa dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain sebagai berikut:
- Putus Sekolah –Walaupun tidak ada larangan bahwa anak yang sudah kawin untuk bersekolah, tetapi faktanya, pada umumnya anak yang sudah kawin putus sekolah. Ini terjadi terutama pada anak perempuan. Keterbatasan uang, harus mencari nafkah, mengurus rumah dan anak-anak, dan malu dengan teman-teman sekolah menjadi alasan yang menyebabkan anak yang sudah kawin putus sekolah.
- Kehilangan Kesempatan untuk Meraih Cita-cita dan Mengembangkan Diri –Putus sekolah membuat anak kehilangan kesempatan untuk meraih cita-cita dan mengembangkan diri.
- Rentan Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga –Anak perempuan yang mengalami perkawinan anak rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena anak tidak punya kemampuan finasial, lemah secara fisik, tidak siap mental memasuki rumah tangga, serta tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk mengurus rumah, suami dan anak-anak.
- Berisiko Tinggi Mengalami Masalah Kesehatan Reproduksi –Walaupun sudah memasuki masa puber dimana hormon seksual aktif dan organ reproduksi anak sudah berfungsi, akan tetapi organ reproduksi anak belum cukup kuat untuk mengandung dan melahirkan. Organ seksual anak juga belum cukup matang untuk melakukan hubungan seksual. Selain itu, anak juga belum memiliki keterampilan untuk melakukan perawatan terhadap organ reproduksinya. Akibatnya, anak berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan reproduksi.
- Berisiko Mengalami Kematian Ibu atau Bayi saat Bersalin –Organ reproduksi yang belum cukup kuat untuk mengandung dan melahirkan, serta ketidaksiapan fisik, mental dan finansial untuk mengandung dan melahirkan, dapat menyebabkan terjadinya kematian pada ibu dan bayi.
- Kehilangan Hak Partisipasi dalam Keluarga dan Masyarakat –Putus sekolah yang mengakibatkan kapasitas diri anak tidak berkembang secara optimal dan habisnya waktu untuk mengurus suami dan anak-anak membuat anak yang menjalani perkawinan anak kehilangan hak berpartisipasi dalam keluarga dan masyarakat.
- Mengalami Gangguan Kesehatan Mental –Masuk dalam perkawinan memiliki tantangan tersendiri sehingga semua orang yang akan memasuki perkawinan harus benar-benar mempersiapkan diri dengan baik. Dalam memasuki perkawinannya, anak tidak siap dan tidak disiapkan. Kondisi ini dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental pada anak.
- Ketidaksetaraan Gender.Menurut data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPK) jumlan anak perempuan yang menjalani perkawinan anak jauh lebih banyak dari jumlah anak laki-laki. Ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender. Perempuan dianggap tidak setara atau berada di bawah laki-laki.
- Walaupun seringkali perkawinan anak dilakukan dengan alasan untuk mengatasi kemiskinan keluarga, akan tetapi, pada realitanya, perkawinan anak membuat angka kemiskinan semakin tinggi. Ini terjadi karena anak belum mampu mencari nafkah untuk memberikan penghidupan yang layak bagi rumah tangganya akibat pengetahuan dan keterampilan anak yang masih terbatas. Selain itu, anak juga belum mampu mengelola perekonomian keluarga dengan baik.
- Siklus Perkawinan Anak. Ada kecenderungan anak-anak dari hasil perkawinan anak akan melakukan perkawinan anak juga. Ini terjadi karena nilai dan kebiasaan yang diperoleh dari keluarga. Alhasil, siklus perkawinan anak terus berulang.
- Kehilangan Kebebasan dan Hak Anak. Perkawinan membuat anak terikat pada peran, tugas dan tanggung jawab tertentu. Semua ini menuntut waktu dan perhatian anak. Akibatnya, anak kehilangan kebebasan dan haknya untuk tumbuh dan berkembang.
- Masalah Kesehatan dan Kecerdasan pada Bayi –Perempuan yang mengandung dan melahirkan di usia anak berisiko melahirkan bayi dengan masalah kesehatan dan kecerdasan. Ada beberapa hal yang menyebabkannya, antara lain: faktor ekonomi, ketidaksiapan tubuh anak untuk mengandung dan melahirkan, dan ketidakmampuan anak dalam merawat bayinya, bahkan sejak si bayi masih dalam kandungan.
- Masalah dalam Pengasuhan Anak – Pengasuhan anak menjadi salah satu masalah besar dalam perkawinan anak. Hal ini karena anak belum siap secara fisik, mental dan finansial untuk mengasuh anak. Selain itu, relasi anak dengan pasangannya juga sangat memengaruhi hal ini. Suami istri yang tidak sehati, sepaham dan sepakat dalam mengasuh anak akan menimbulkan masalah serius.
- Anak Terlantar dan Perdagangan Anak –Perkawinan anak berisiko melahirkan anak terlantar. Ini dsebabkan karena sebagai orang tua anak tidak mampu menghidupi, merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya. Selain itu, rentan juga terjadi perdagangan anak.
- Perceraian – Perkawinan anak berisiko mengalami perceraian. Ini terjadi karena anak belum mampu menyelesaikan berbagai konflik rumah tangga.
Pencegahan Perkawinan Anak
Dampak buruk ini tidak hanya dirasakan oleh anak, tetapi juga oleh keluarganya, anak-anaknya, masyarakat, dan negara. Selain itu, perkawinan anak juga merupakan pelanggaran hukum dan pelanggaran terhadap hak anak. Lebih jauh, perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) karena hak anak merupakan bagian dari HAM. Oleh karena itu, penting dilakukan upaya-upaya konkrit guna mecegah terjadinya perkawinan anak. Berikut adalah upaya preventif yang dapat dilakukan.
- Edukasi kepada Masyarakat– Seringkali, terjadinya perkawinan anak karena pengetahuan masyarakat yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penting untuk melakukan edukasi kepada semua lapisan masyarakat termasuk orang tua dan tokoh-tokoh adat tentang resiko perkawinan anak.
- Penguatan Keluarga –Dalam banyak peristiwa, perkawinan anak terjadi bukan karena keinginan anak, tetapi atas keinginan bahkan paksaan dari orang tua. Orang tua memiliki alasan tertentu dalam mengawinkan anak-anaknya yang masih berusia anak. Itulah sebabnya, keluarga-keluarga harus dikuatkan. Penguatan dapat berupa pengetahuan dan keterampilan, termasuk mendukung penguatan ekonomi keluarga.
- Edukasi terhadap Anak –Sama halnya dengan masyarakat, anak-anak perlu mendapatkan edukasi sehingga mereka tidak memilih perkawinan anak. Misalnya: bahwa masalah ekonomi tidak bisa diselesaikan dengan perkawinan anak; anak memiliki hak yang dilindungi oleh negara; anak berhak untuk mengecap pendidikan dan meningkatkan kapasitas diri; perkawinan anak berbahaya dan akan merugikan anak; dan lain-lain.
- Meningkatkan Pendidikan dan Kapasitas Diri Anak Perempuan –Karena pada umumnya anak perempuanlah yang masuk dalam perkawinan anak, maka guna mencegah terjadinya perkawinan anak, maka pendidikan dan kapasitas diri anak perempuan harus ditingkatkan. Dapat dilakukan melalui pelatihan, lokakarya, kursus, atau pendidikan formal.
- Pendidikan Seks untuk Anak –Kita tidak bisa menutup mata bahwa cukup banyak angka perkawinan anak terjadi karena kehamilan di luar perkawinan. Oleh karena itu, pendidikan seks kepada anak sangat penting untuk diberikan, apalagi di era digital ini dimana pengaruh internet sangat besar.
- Penegakan Hukum yang Jelas dan Tegas– Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perkawinan anak adalah tindakan melawan hukum. Karena perkawinan anak adalah tindakan melanggar hukum, maka seharusnya, siapa pun yang terlibat dalam perkawinan anak harus diproses bahkan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Jika ini ditegakkan, maka akan menimbulkan efek jera dan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat sehingga tidak terlibat dalam perkawinan anak.
Peran Gereja dalam Mencegah Perkawinan Anak
Gereja memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Gereja memiliki pengaruh yang kuat dalam komunitas, sehingga dapat mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat terhadap perkawinan anak. Gereja juga memiliki akses langsung ke jemaatnya dan dapat menjangkau banyak orang melalui kegiatan ibadah, pendidikan agama, dan berbagai pertemuan jemaat. Ini memberikan gereja kesempatan untuk melakukan edukasi dan advokasi tentang bahaya perkawinan anak. Selain itu, sebagai institusi keagamaan, gereja bertanggung jawab untuk melindungi dan mempromosikan kesejahteraan moral dan spiritual umatnya. Gereja bertanggung jawab mengajar warganya tentang hak anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sehat dan aman, termasuk perlindungan anak dari praktek-praktek yang merugikan seperti perkawinan anak.
Ada berbagai pendekatan yang dapat dilakukan gereja guna mencegah terjadinya perkawinan anak, antara lain:
- Edukasi dan Penyuluhan – Gereja dapat mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan ajaran Kristen yang menekankan pentingnya menghormati dan melindungi hak anak. Jemaat perlu diberikan informasi yang konprehensif tentang dampak negatif perkawinan anak terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial anak.
- Layanaan Bimbingan dan Konseling – Gereja dapat menyediakan layanan bimbingan dan konseling untuk warga gereja guna membantu mereka memahami pentingnya menunda perkawinan hingga anak mencapai usia dewasa. Gereja juga dapat melakukan pendampingan dan bimbingan kepada anak-anak dan keluarga yang berada dalam situasi rentan, serta memberikan dukungan emosional, spiritual, dan dukungan lain yang dibutuhkan.
- Advokasi dan Kebijakan – Gereja dapat berperan dalam mendorong perubahan kebijakan yang melarang perkawinan anak dan mendorong penegakan hukum yang lebih kuat. Gereja dapat bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah dan pemerintah guna mengimplementasikan program-program pencegahan perkawinan anak.
- Kampanye Kesadaran – Gereja dapat mengorganisir kampanye kesadaran publik untuk menyoroti masalah perkawinan anak dan pentingnya pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak. Dalam hal ini gereja dapat memanfaatkan media cetak, elektronik, dan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan anti-perkawinan anak.
- Pembinaan Generasi Muda – Gereja dapat mengadakan program-program untuk memberdayakan remaja, meningkatkan kesadaran mereka tentang hak-hak mereka, dan memberikan pendidikan keterampilan hidup. Gereja juga dapat membentuk kelompok pemuda yang aktif dalam advokasi dan pendidikan sebaya tentang bahaya perkawinan anak.
- Pemantauan dan Pelaporan – Gereja dapat memantau komunitasnya untuk memastikan tidak ada anak di bawah umur yang dipaksa menikah, dan melaporkan kasus-kasus perkawinan anak kepada pihak berwenang.
- Menyediakan Tempat Perlindungan– Gereja dapat memberikan perlindungan bagi anak yang dipaksa kawin. Perlindungan dapat dilakukan dalam bentuk “rumah aman”. “Rumah aman” merujuk pada tempat penampungan atau perlindungan yang menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak yang menjadi korban perkawinan paksa. Di rumah aman ini, anak-anak tersebut mendapatkan perlindungan dari kekerasan, konseling, bantuan psikologis, bantuan hukum, pendidikan, dan dukungan lainnya untuk membantu mereka pulih dan dapat membangun kembali kehidupan yang sehat tanpa ancaman atau paksaan.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai moral, etika, dan spiritual yang diajarkan dalam Alkitab, gereja dapat memainkan peran yang signifikan dalam mencegah terjadinya perkawinan anak, dan memastikan setiap anak dapat menikmati masa kanak-kanak dengan aman dan sehat. Dengan demikian, gereja turut serta memerangi perkawinan anak, mempromosikan hak-hak serta kesejahteraan anak, dan menjadi agen perubahan yang efektif dalam mencegah praktek-praktek yang merugikan anak, serta membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. (SRP)