GEREJA DAN PERLINDUNGAN ANAK

Bagikan:

Loading

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan di segala aspek. Agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal anak harus dilindungi.  Dalam Pasal 20 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tertulis: “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.” Dari pasal ini dapat dilihat bahwa gereja baik sebagai individu maupun sebagai lembaga adalah bagian dari masyarakat sehingga berkewajiban dan bertanggung jawab juga  terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Sebagaimana tertulis pada Pasal 1 Ayat (2) dalam undang-undang ini, perlindungan anak dapat diartikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi akan dapat hidup, tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, anak akan dapat berpartisipasi secara optimal. Kondisi ini tentu tidak hanya bermanfaat bagi anak dan keluarganya, tetapi juga bagi gereja dan negara. Jika anak dapat berpartisipasi secara positif dan optimal di gereja, maka gereja akan maju dan masa depan gereja menjadi cerah ceria. Sebaliknya, jika anak tidak dilindungi maka anak tidak dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan tidak dapat berpartisipasi dengan optimal. Apa yang diharapkan gereja? Bagaimana mungkin gereja bisa maju? Siapa yang jadi generasi penerus gereja? Oleh sebab itu, gereja harus melindungi anak-anak.

Merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (2), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh gereja dalam upaya perlindungan anak, yaitu:

  1. Jamin dan Lindungi Hak Anak untuk Hidup – Hak anak untuk hidup sudah terancam dari dulu kala. Alkitab mencatat, pada zaman Musa terjadi suatu peristiwa besar nan keji dimana hak anak untuk hidup dirampas. Kala itu, Raja Mesir memberi perintah kepada bidan-bidan yang menolong perempuan Ibrani bersalin agar membunuh bayi laki-laki yang baru lahir (Keluaran 1:15). Selain itu, Firaun juga memberikan perintah kepada seluruh rakyatnya agar melemparkan semua anak laki-laki orang Ibrani ke dalam sungai Nil (Keluaran 1:22). Peristiwa yang sama kejinya juga terjadi di zaman Yesus. Waktu itu Herodes menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yang berumur dua tahun ke bawah (Matius 2:16). Pembunuhan anak secara berencana yang dilakukan oleh Firaun dan Herodes dilatarbelakangi oleh kemarahan dan kebencian. Kemarahan dan kebencian Firaun dan Herodes disasarkan kepada anak-anak yang sama sekali tak punya salah kepada mereka. Kisah-kisah sadis seperti ini masih berlanjut sampai sekarang bahkan terjadi pada anak-anak yang adalah warga gereja. Banyak anak harus kehilangan nyawa karena dibunuh. Padahal, anak tidak bersalah sama sekali. Anak menjadi korban. Tak hanya itu, ada sangat banyak anak yang haknya untuk hidup sudah dirampas sejak ia masih dalam kandungan melalui aborsi. Aborsi sama saja dengan membunuh. Itulah sebabnya pelaku aborsi di Indonesia diancam dengan pidana. Aborsi adalah perilaku berdosa yang pasti tidak disukai oleh Allah. Oleh karena itu, gereja harus berperan aktif melindungi hak anak untuk hidup. Edukasi bahkan advokasi yang konkrit harus diberikan kepada anak. Pembinaan kepada remaja dan orang-orang muda harus lebih ditingkatkan sehingga mereka tidak salah jalan dan tidak mengambil keputusan melakukan aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan (di luar perkawinan). Pelayanan yang sama juga harus diberikan kepada anggota jemaat yang sudah menikah agar setia pada pasangannya hingga maut memisahkan. Kesetiaan kepada pasangan akan menghindarkan orang dari perilaku yang menyimpang dari firman Allah seperti berselingkuh dan berzinah. Perzinahan dapat mengakibatkan kehamilan yang tak diinginkan. Kehamilan tak diinginkan dapat menyebabkan orang melakukan aborsi.
  2. Jamin dan Lindungi Hak Anak untuk Berkembang – Anak adalah individu yang sedang berkembang dalam semua aspek perkembangan, baik fisik-motorik, kognitif, bahasa-komunikasi, sosio-emosional, moral-spiritual dan lain-lain. Dalam proses perkembangan tersebut anak harus dilindungi. Upaya perlindungan anak dalam hal ini misalnya dengan menciptakan lingkungan fisik dan psikis yang kondusif serta memberikan makanan dan minuman yang bergizi. Saat ini, salah satu isu besar terkait kesehatan dan perkembangan anak adalah stunting. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam web sitenya menjelaskan: “Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.” (http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-diabetes-melitus-dan-gangguan-metabolik/cegah-stunting-dengan-perbaikan-pola-makan-pola-asuh-dan-sanitasi). Kurangnya asupan gizi tidak hanya terjadi pada anak-anak dari keluarga miskin tetapi juga terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Hal ini biasanya terjadi karena pola makan yang tak sehat, senang mengkonsumsi makanan cepat saji dan kebiasaan jajan. Tidak semua makanan baik dan sehat untuk dikonsumsi anak-anak sekalipun itu makanan yang lezat dan mahal. Alkitab menggunakan kata “susu” (1 Korintus 3:2) sebagai makanan untuk anak-anak. Ayat ini memang bicara soal manusia yang belum dewasa secara rohani sehingga membutuhkan “susu”. Walaupun demikian, dari ayat ini dapat dilihat, pada masa itu pun, susu merupakan makanan yang baik untuk anak-anak. Artinya, oleh karena kebutuhan perkembangannya, anak-anak membutuhkan asupan gizi yang berbeda dengan orang dewasa.  Selain hal yang menyangkut perkembangan fisik, aspek perkembangan lainnya yang  harus diperhatikan adalah memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang, perhatian, penghargaan dan lain-lain. Anak hanya akan dapat berkembang jika ia sejahtera secara psikologis.  Dalam Kolose 3:21 dikatakan: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Ya, hati anak yang tawar karena sakit hati akan berdampak buruk bagi perkembangannya. Gereja memiliki peran yang strategis dalam hal ini. Memerhatikan dan memastikan apakah kebutuhan gizi semua anak di gereja sudah terpenuhi atau belum adalah salah satu tugas dan tanggung jawab gereja. Ada gereja yang berkolaborasi dengan pemerintah setempat sebagai upaya meningkatkan status kesehatan dan perkembangan anak. Misalnya: gereja dijadikan sebagai tempat pelaksanaan imunisasi untuk anak atau posyandu. Kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam bentuk program pelayanan anak perlu disusun dan diimplementasikan. Edukasi kepada orang tua perlu dilakukan. Memang tidak ada sekolah formal untuk menjadi orang tua, tetapi agar dapat menjadi orang tua sebagaimana yang Alkitab tulis maka para orang tua harus mau belajar. Dalam hal ini, gereja harus dapat jadi tempat bahkan jadi sumber belajar. Bimbingan dan konseling kepada pasangan-pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan perlu diberikan dengan benar-benar baik. Jangan biarkan mereka menikah tanpa pemahaman dan komitmen bahwa mereka akan menjadi orang tua yang akan berjuang untuk kepentingan terbaik anak-anaknya kelak! Ada tugas dan tanggung jawab yang harus mereka pikul ketika mereka sudah berumah tangga, terlebih jika sudah punya anak.
  3. Jamin dan Linduni Hak Anak dalam Berpartisipasi – Ada anggapan bahwa anak tidak tahu apa-apa. Oleh sebab itu, anak tidak dilibatkan dalam hampir semua keputusan yang menyangkut anak, misalnya: mau sekolah di mana. Inipun terjadi di gereja. Sangat sedikit gereja yang melibatkan anak dalam pelayanan di gereja bahkan pelayanan yang menyangkut anak itu sendiri. Anak-anak hanya menerima nasib yang ditentukan oleh orang dewasa. Padahal, teori perkembangan kognitif sudah membuktikan dan menjelaskan bahwa anak-anak memiliki kemampuan kognitif yang luar biasa. Kemampuan ini membuat anak mampu berpikir dengan baik. Mereka mampu mengeluarkan ide-ide yang cemerlang. Sayang sekali, banyak gereja yang abai soal ini. Libatkanlah anak! Berilah kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam gereja! Dengarkanlah suara mereka! Perhatikanlah buah pemikiran mereka! Jika tetap didampingi dengan baik, partisipasi anak-anak dalam gereja tidak akan mengacaukan gereja, sebaliknya, akan berguna bagi perkembangan dan kemajuan gereja. Menarik untuk dikaji apa yang terjadi pada Raja Yosia. Dalam 2 Tawarikh 34 : 1-2 tertulis: “Yosia berumur delapan tahun pada waktu ia menjadi raja dan tiga puluh satu tahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” Jadi, walaupun masih anak-anak (berusia delapan tahun), Yosia dapat memimpin dan hidup benar di hadapan Allah. Kisah menarik lainnya tertulis dalam Yohanes 6 : 1-15 dengan judul perikop “Yesus Memberi Makan Lima Ribu Orang”. Pada saat itu terjadi mujizat yang luar biasa dimana hanya dengan lima roti dan dua ikan Tuhan Yesus dapat memberi makan lima ribu orang, belum terhitung perempuan dan anak-anak. Ternyata, pemilik lima roti dan dua ikan adalah seorang anak (Ayat 9). Partisipasi anak itu sangat berguna bagi terjadinya mujizat tersebut. Entah apa jadinya jika saat itu anak tersebut tidak mau atau tidak diijinkan berpartisipasi. Jadi, berilah kesempatan bagi anak untuk berpartisipasi di gereja! Ijinkanlah mereka untuk turut ambil bagian dalam pelayanan di gereja!
  4. Lindungi Anak dari Segala Bentuk Kekerasan – Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (15a) dikatakan: “Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.” Kekerasan seksual adalah salah satu kekerasan sekaligus kejahatan yang angka kejadiannya sangat tinggi saat ini. Dampak kekerasan seksual yang dialami anak sangat mengerikan, tidak hanya dalam jangka pendek, tapi dapat bersifat permanen. Kekerasan seksual pada anak dapat membuat anak mengalami gangguan kesehatan jiwa serius bahkan kematian.  Selain kekerasan seksual, bullying (perundungan) pada anak  juga banyak dikeluhkan. Bully yang dialami dapat menimbulkan masalah serius pada pertumbuhan dan perkembangannya serta dapat mengganggu kesehatan mental anak. Oleh karena itu, gereja harus turut memberikan perlindungan agar anak terhindar dari segala bentuk kekerasan. Edukasi kepada anak sangat perlu dilakukan agar anak tidak menjadi pelaku kekerasan dan tahu bagaimana melakukan perlindungan dan pembelaan diri ketika mengalami kekerasan. Selain itu, kehadiran dan peran gereja harus nampak ketika anak mengalami kekerasan. Edukasi juga harus diberikan pada warga gereja yang sudah dewasa terutama pada orang tua. Banyak fakta membuktikan bahwa pelaku kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual adalah orang yang berada di lingkar terdekat anak, salah satunya adalah orang tua. Ketika anak-anak dibawa kepada Yesus, murid-murid Yesus melakukan penolakan bahkan memarahi orang-orang itu. Tindakan murid-murid Yesus saat itu  adalah salah satu bentuk kekerasan. Melihat hal tersebut, Yesus marah kepada murid-murid-Nya dan meminta agar anak-anak itu dibawa kepada-Nya. Tak hanya itu, Yeus kemudian memeluk anak-anak itu dan memberkati mereka (Baca: Markus 10:13-16). Yesus sudah melakukan tindakan perlindungan yang konkrit. Ia sudah menunjukkan peran-Nya sebagai Pelindung dan Pembela bagi anak-anak. Bahkan, Yesus memberikan ancaman serius bagi barangsiapa yang melakukan penyesatan terhadap anak. Tidak tanggung-tanggung, Yesus berkata: “Barang siapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.” – Markus 9:42
  5. Lindungi Anak dari Segala Bentuk Diskriminasi – Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Ayat (3) tertulis: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Banyak anak mengalami diskriminasi saat ini. Misalnya: hanya karena ia perempuan, ia tidak bisa sekolah tinggi dan harus kawin di usia anak. Hanya karena seorang anak beragama atau berasal dari suku tertentu, maka ia tak boleh berpartisipasi. Masih banyak lagi bentuk diskriminasi lain yang dialami oleh anak-anak Indonesia. Ternyata, masalah diskriminasi juga terjadi zaman Musa. Saat itu, hanya karena seorang bayi lahir dari perempuan Ibrani, maka ia harus dibunuh. Raja Mesir memberikan instruksi sadis tersebut kepada para bidan yang menolong perempuan Ibrani bersalin. Akan tetapi, karena para bidan tersebut takut akan Allah, mereka tidak melakukan hal itu (Baca: Keluaran 1:15-17). Gereja harus dapat melindungi anak-anak dari segala bentuk diskriminasi. Hal ini dimulai dari dalam gereja. Jangan karena suatu program diperuntukkan untuk anak-anak, maka program tersebut dibuat seadanya dengan budget yang sangat minim! Jangan karena Sekolah Minggu adalah untuk anak-anak, maka tempat yang disiapkan untuk mereka belajar tidak pasti! Janganlah pelayanan kepada anak-anak di gereja dijadikan pelayanan kelas dua! Gereja harus tampil seperti para bidan Mesir tersebut.

Pada anak-anaklah ditaruh masa depan gereja. Anak-anaklah yang menjadi generasi penerus. Suatu gereja akan bubar atau runtuh jika tidak punya generasi penerus. Oleh karena itu, gereja harus mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelindung bagi anak-anak. (SRP)