Oleh: Susi Rio Panjaitan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang dapat menyebabkan Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah sekumpulan gejala dan tanda infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena infeksi HIV. Sampai saat ini, HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan yang berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia yang dapat menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi. Tidak hanya orang dewasa yang terinfeksi HIV, tetapi juga anak-anak. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada Mei 2023 kasus HIV pada anak usia 1-14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini setiap tahunnya bertambah sekitar 700-1000 anak dengan HIV (https://www.kemkes.go.id/id/kasus-hiv-dan-sifilis-meningkat-penularan-didominasi-ibu-rumah-tangga). Padahal, anak sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Agar proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak optimal, maka anak harus memiliki derajat kesehatan yang baik. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 Ayat (1), kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif. Jadi, anak hanya dapat hidup produktif jika ia sehat secara fisik, jiwa, dan sosial.
Hidup dengan HIV/AIDS bukanlah hal mudah bagi anak. Selain kesehatan bahkan keselamatan jiwanya terancam, berbagai masalah psikologis dan tantangan sosial dihadapi anak akibat HIV/AIDS yang ia sandang. Itulah sebabnya anak harus dilindungi. Dengan demikian anak akan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, dan sosial, serta bebas dari segala bentuk diskriminasi. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dengan HIV/AIDS (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 (Ayat 1 dan 2 Huruf (g))).
Meskipun Negara membebankan kewajiban dan tanggung jawab kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dengan HIV/AIDS, bukan berarti Gereja boleh abai terhadap hal ini. Gereja punya tanggung jawab moral, sosial, dan iman terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS. Gereja dipanggil untuk mencontoh belas kasih Yesus Kristus kepada mereka yang menderita. Gereja harus menjadi tempat perlindungan, penghiburan, dan penyembuhan spiritual. Gereja juga perlu mengajarkan kepada warga jemaat tentang pentingnya belas kasih dan penerimaan terhadap sesama, termasuk anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS. Ini merupakan bagian dari ajaran cinta kasih Tuhan Yesus Kristus. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Gereja guna menunjukkan tanggung jawabnya dalam merespons dan mendukung anak-anak dengan HIV/AIDS, antara lain sebagai berikut:
Memberi Edukasi kepada Warga Gereja tentang Anak dan HIV/AIDS
Gereja harus memberikan pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV, terutama bahwa HIV tidak menular melalui kontak sosial sehari-hari, seperti berjabat tangan, bermain bersama, atau berbagi makanan. Ini bisa disampaikan melalui khotbah, seminar, atau buletin gereja. Dapat juga dilakukan dengan cara mengundang ahli kesehatan atau perwakilan dari organisasi yang bekerja dengan HIV/AIDS untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam dan menjawab pertanyaan jemaat. Selain itu, edukasi juga dapat dilakukan dengan cara menyediakan materi cetak seperti brosur, leaflet, atau buku panduan yang berisi informasi tentang HIV/AIDS, dan bagaimana merespons anak-anak yang terinfeksi. Materi cetak ini dapat dibawa pulang oleh warga jemaat sehingga dapat dibaca di rumah. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara membuat video pendek atau film dokumenter tentang anak-anak dengan HIV/AIDS. Video atau film ini dapat diputar di acara-acara gereja atau dibagikan melalui media sosial gereja.
Memastikan semua Anak dengan HIV/AIDS Bebas dari Label Negatif, Stigma dan Diskriminasi di Lingkungan Gereja
Untuk memastikan bahwa anak-anak dengan HIV/AIDS bebas dari label negatif, stigma, dan diskriminasi di lingkungan gereja, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Gereja harus terus mengedukasi jemaatnya tentang HIV/AIDS, terutama mengenai fakta medis tentang cara penularannya dan bahwa HIV tidak menular melalui kontak sosial sehari-hari. Pemimpin gereja (pendeta atau penatua) harus menjadi teladan dalam menunjukkan sikap kasih, penerimaan, dan dukungan kepada anak-anak dengan HIV/AIDS. Tindakan nyata dari para pemimpin gereja akan membentuk sikap warga jemaat terhadap anak-anak ini. Khotbah harus secara aktif mengangkat tema-tema tentang belas kasih, penghapusan stigma, dan penerimaan tanpa syarat bagi semua orang, termasuk anak-anak dengan HIV/AIDS. Pesan ini perlu disampaikan secara konsisten sehingga dapat memengaruhi pola pikir warga jemaat.
Gereja juga harus memastikan bahwa anak-anak dengan HIV/AIDS diterima sepenuhnya dan aman di lingkungan gereja, baik dalam kegiatan ibadah, sekolah Minggu, maupun aktivitas lainnya. Ini bisa dilakukan dengan melatih semua staf gereja, sukarelawan, dan guru sekolah Minggu tentang cara mendukung anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS. Gereja harus menekankan bahwa semua anak, tanpa memandang status kesehatan mereka, diterima dengan cinta dan penghormatan di komunitas gereja. Diskriminasi harus secara tegas ditolak. Gereja dapat mengumumkan kebijakan anti-diskriminasi yang eksplisit, yang menyatakan bahwa gereja tidak akan mentolerir stigma atau diskriminasi terhadap siapa pun, termasuk anak-anak dengan HIV/AIDS. Kebijakan ini harus dipajang di tempat yang mudah diakses oleh semua warga jemaat. Setiap insiden diskriminasi harus ditanggapi dengan serius, dan tindakan disipliner harus diambil jika ada anggota jemaat yang melanggar kebijakan ini.
Anak-anak dengan HIV/AIDS harus diundang dan didorong untuk berpartisipasi aktif dalam semua kegiatan gereja, termasuk sekolah Minggu, perkemahan gereja, pelayanan anak, dan kelompok remaja, tanpa adanya pembedaan atau perlakuan berbeda. Gereja juga harus memastikan tidak ada bentuk diskriminasi halus, seperti isolasi sosial atau penghindaran terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS. Semua anak harus diperlakukan secara setara.
Memberikan Dukungan bagi Anak dengan HIV/AIDS dan Keluarganya
Dukungan dari gereja tidak hanya dapat membantu meringankan beban fisik dan emosional yang dihadapi oleh anak dengan HIV/AIDS dan keluarganya, tetapi juga memberikan kekuatan spiritual dalam menghadapi tantangan hidup. Gereja dapat memberi dukungan dalam bentuk bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, dan obat-obatan, membentuk kelompok pendukung (support group) bagi keluarga yang memiliki anak dengan HIV/AIDS, memberikan bimbingan rohani, doa, dan konseling pastoral. Selain itu, gereja juga bisa mengadakan pelatihan atau lokakarya bagi keluarga untuk memberikan mereka informasi tentang cara merawat anak dengan HIV/AIDS, termasuk manajemen kesehatan, pengobatan, serta cara mengatasi tantangan emosional yang mungkin timbul.
Menolong Anak dengan HIV/AIDS untuk Mendapatkan Layanan Kesehatan dan Obat-obatan yang Diperlukan
Untuk membantu anak-anak dengan HIV/AIDS mendapatkan layanan kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan, gereja dapat bekerja sama dengan pusat layanan kesehatan setempat (seperti puskesmas, klinik, atau rumah sakit) yang menyediakan perawatan HIV/AIDS, terutama yang memiliki program ARV (antiretroviral) untuk anak-anak. Kemitraan ini dapat membantu mempercepat akses anak-anak ke layanan kesehatan yang diperlukan. Gereja juga dapat bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi kesehatan yang berfokus pada HIV/AIDS, baik secara lokal maupun internasional untuk mendapatkan sumber daya, informasi, dan rujukan medis bagi anak-anak. Gereja perlu memastikan bahwa keluarga paham mengenai pentingnya pengobatan antiretroviral (ARV) bagi anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, serta cara mengakses obat tersebut melalui fasilitas kesehatan yang tersedia.
Jika ada keluarga yang kesulitan datang ke fasilitas kesehatan karena masalah transportasi, gereja dapat menolong dengan cara menyediakan bantuan transportasi atau membentuk jaringan sukarelawan untuk mengantar anak-anak dan keluarga mereka ke pusat-pusat kesehatan. Gereja juga dapat membentuk tim pendamping untuk menemani keluarga saat berkunjung ke fasilitas kesehatan, membantu mereka berkomunikasi dengan tenaga kesehatan, dan memastikan mereka mendapatkan perawatan yang diperlukan.
Memberikan Perlindungan bagi Anak dengan HIV/AIDS yang Mendapatkan Perlakuan Tidak Baik
Perlindungan ini harus mencakup tindakan pencegahan, intervensi, serta advokasi untuk memastikan bahwa anak dengan HIV/AIDS diperlakukan dengan penuh kasih, hormat, dan tanpa diskriminasi. Dengan membekali warga jemaat dengan informasi yang benar, gereja dapat mencegah perlakuan tidak baik yang muncul akibat ketakutan yang tidak berdasar. Gereja harus menjadi tempat yang aman bagi semua orang, termasuk bagi anak-anak dengan HIV/AIDS. Anak-anak ini harus diterima dan dihargai di komunitas gereja, tanpa khawatir didiskriminasi atau dikucilkan.
Gereja perlu menyediakan saluran layanan pelaporan yang aman dan rahasia bagi anak-anak atau keluarga mereka yang mengalami perlakuan tidak baik akibat HIV/AIDS. Mekanisme ini bisa berupa kotak saran, hotline khusus, atau pelaporan langsung kepada pemimpin gereja yang dipercaya. Jika ada anggota jemaat atau staf gereja yang terbukti melakukan perlakuan diskriminatif atau menyakiti anak-anak dengan HIV/AIDS, gereja harus mengambil tindakan tegas. Hal ini dapat mencakup dialog langsung dengan pelaku, peringatan resmi, atau tindakan disipliner sesuai kebijakan gereja. Gereja dapat menyediakan layanan konseling bagi anak-anak dengan HIV/AIDS dan keluarga mereka yang mengalami perlakuan tidak baik. Konseling ini dapat membantu mereka mengatasi trauma emosional dan mendapatkan dukungan untuk memulihkan diri. Gereja juga bisa membentuk kelompok pendukung (support group) bagi anak-anak dan keluarga yang menghadapi perlakuan buruk. Dalam support group mereka bisa berbagi pengalaman, mendapatkan dukungan emosional, dan membangun kembali kepercayaan diri. Selain itu, jika anak-anak dengan HIV/AIDS mengalami diskriminasi atau perlakuan buruk di luar gereja, gereja dapat membantu mereka mendapatkan bantuan hukum. Gereja dapat bekerja sama dengan lembaga hukum atau advokat yang peduli dengan hak-hak anak.
Advokasi dan Peran dalam Masyarakat
Dengan advokasi, gereja dapat bersuara untuk mengubah persepsi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan HIV/AIDS, serta mempromosikan kebijakan yang lebih adil untuk anak dengan HIV/AIDS. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye yang menyoroti fakta-fakta medis tentang HIV/AIDS, cara pencegahannya, dan bagaimana mendukung anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS. Kampanye ini bisa dilakukan melalui media sosial, brosur, seminar, atau acara publik. Gereja juga dapat terlibat dalam program-program edukasi di masyarakat untuk menghilangkan stigma dan kesalahpahaman tentang HIV/AIDS. Edukasi ini harus mengarah pada pemahaman bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sosial biasa dan bahwa anak-anak dengan HIV/AIDS berhak mendapatkan dukungan dan perlindungan yang sama seperti anak-anak lainnya.
Selain itu, gereja juga dapat berperan dalam mendukung pembuatan undang-undang, peraturan dan kebijakan yang melarang diskriminasi terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS di sekolah, fasilitas kesehatan, dan ruang publik. Gereja juga dapat mengadvokasi akses layanan kesehatan yang mudah, gratis, atau terjangkau bagi anak-anak dengan HIV/AIDS, termasuk akses ke obat-obatan antiretroviral (ARV). Ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan kementerian kesehatan, dinas sosial, atau organisasi kesehatan. Gereja dapat berperan dalam mendorong kebijakan sekolah yang inklusif, di mana anak-anak dengan HIV/AIDS tidak mengalami diskriminasi. Gereja juga dapat bekerja sama dengan pemimpin agama lainnya, pemimpin adat, atau pemimpin masyarakat setempat untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya melindungi anak-anak dengan HIV/AIDS. Dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh di masyarakat dapat membantu mengubah sikap negatif yang ada dalam masyarakat. Pemimpin gereja dapat menggunakan mimbar untuk menyuarakan isu HIV/AIDS, mendorong jemaat untuk terlibat dalam melindungi dan mendukung anak-anak dengan HIV/AIDS. Khotbah yang menekankan kasih dan penerimaan tanpa syarat akan membantu mengubah pola pikir jemaat dan masyarakat luas. Jika ada konflik atau masalah sosial yang melibatkan anak-anak dengan HIV/AIDS di masyarakat, gereja bisa berperan sebagai mediator yang menyelesaikan konflik ini dengan prinsip kasih dan keadilan.
Melalui langkah-langkah ini, Gereja tidak hanya berperan dalam membantu pemulihan fisik, mental, dan sosial anak-anak dengan HIV/AIDS tetapi juga menjadi teladan dalam kasih, sesuai dengan ajaran Kristiani. (SRP)