Oleh: Susi Rio Panjaitan
Dalam Amsal 14:1 tertulis: “Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri.” Bijak berarti memiliki pengetahuan, hikmat dan pengertian. Pada Amsal 1:7 dikatakan: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Sebagaimana yang tertulis dalam Amsal 9:10, permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian. Jadi, perempuan yang bijak adalah perempuan yang takut akan TUHAN. Takut akan TUHAN adalah sikap hati yang penuh hormat, kagum, dan ketaatan kepada Allah sebagai Sang Pencipta, Hakim, dan Penyelamat. Ini bukan rasa takut dalam arti negatif (seperti ketakutan terhadap hukuman), melainkan rasa hormat yang mendalam kepada kebesaran dan kekudusan-Nya. Takut akan TUHAN berarti mengenali bahwa Allah itu kudus, adil, dan sempurna. Sikap ini mendorong individu untuk menjauh dari dosa dan hidup dalam kebenaran. Takut akan TIUHAN berarti membenci kejahatan (Amsal 8:13). Orang yang takut akan TUHAN akan berusaha hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan menaati perintah-perintah-Nya. “Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.” (Mazmur 112:1). Karena takut akan TUHAN, maka seseorang menjalani hidup yang berpusat pada Allah, penuh integritas, dan memberkati sesama.
Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya (Amsal 14:1a). Rumah tidak semata-mata gedung atau bangunan, tetapi memiliki filosofi yang melampaui makna fisik sebagai sebuah bangunan. Rumah adalah simbol dari sesuatu yang menjadi dasar esensial dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Rumah adalah tempat di mana individu merasa aman, nyaman, dikasihi, diterima dengan utuh, dan bertumbuh. Rumah adalah tempat individu untuk pulang dari berbagai aktivitas yang melelahkan fisik maupun mental. Rumah adalah istana bahkan sorga di dunia. Rumah adalah awal mula kehidupan manusia setelah ia dilahirkan. Rumah adalah tempat seseorang membangun kenangan, tradisi, dan hubungan yang membentuk identitas. Sedemikian bermaknanya kata “rumah”, sehingga sering digunakan dalam berbagai istilah dengan makna yang berbeda. Misalnya: rumah sakit, rumah duka, rumah ibadah, rumah makan, rumah belajar, rumah dinas, rumah produksi (production house), rumah mode (fashion house), rumah dagang (trading house), rumah data, rumah singgah, rumah anak yatim, dan rumah lansia. Dalam konteks lain, dikenal juga rumah Tuhan yaitu empat yang dianggap sebagai kediaman Ilahi, dan rumah pintar (smart home) yaitu rumah yang menggunakan teknologi untuk otomatisasi dan efisiensi.
Kata “rumah” memiliki cakupan luas dan bermakna dalam. Bahkan, ada ungkapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “at home” memiliki makna psositif. “At home” dapat diartikan sebagai rasa nyaman. Contoh: “She feels at home in her new job.” (Dia merasa nyaman di pekerjaannya yang baru.). Dalam konteks yang lain, “at home” dapat juga diartikan sebagai memiliki kompetensi. Contoh: “He is at home with numbers.” (Dia sangat mahir dengan angka.) Makna “at home” sangat bergantung pada konteks, tetapi pada intinya, “at home” mengandung unsur kenyamanan, keakraban, atau koneksi dengan suatu tempat atau situasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa “rumah” adalah lambang dari tempat, lingkungan, atau komunitas di mana individu merasa nyaman, aman, dan sukacita sehingga dapat bertumbuh, berkembang, berkarya dan produktif.
Selain bermakna harafiah, yaitu membangun sebuah tempat tinggal fisik, “mendirikan rumah” juga berarti membangun keluarga, rumah tangga, usaha/bisnis, karir, gereja, komunitas, persahabatan, atau masyarakat luas. “Mendirikan rumah” adalah proses menciptakan sesuatu atau lingkungan yang menjadi pusat kehidupan, baik secara fisik, emosional, sosial, maupun spiritual, untuk diri sendiri dan orang lain.
Terkait dengan apa yang tertulis dalam Amsal 14:1, perempuan bijak mendirikan rumahnya, baik itu keluarganya, rumah tangganya, gerejanya, komunitasnya, pekerjaan, karir atau bisnisnya, lingkungan di mana ia tinggal, dan masyarakat luas. Ia hidup takut akan Allah dan memiliki relasi yang baik dengan Allah. Ia senang berdoa dan belajar Firman Tuhan guna mendapatkan pimpinan Tuhan. Dalam hidupnya, ia berpegang teguh pada perintah-perintah Allah. Ia memiliki karakter Kristen sejati, berintegritas tinggi dan layak dijadikan teladan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia menjaga kekudusan hidupnya sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Sebagai seorang istri dan ibu, ia mengelola rumah tangganya dengan bijak. Ia mendidik anak-anaknya hidup takut akan Allah. Ia hormat dan menjadi penolong yang baik bagi suaminya. Ia selalu berupaya membuat rumahnya menjadi tempat yang nyaman, aman, dan penuh kasih bagi semua anggota keluarga. Sebagai istri, ia adalah istri yang cakap (Amsal 31:10-31).
Ia memiliki kemampuan regulasi emosi dan manajemen stress yang baik. Komunikasi dan relasinya dengan siapa pun sehat. Ia mampu membawa diri dengan baik sehingga orang-orang menaruh hormat padanya. Ia juga merawat kesehatan fisik, mental, dan emosionalnya. Ia berdandan dengan pantas. Belajar baik secara formal maupun non formal adalah kesukaannya karena ia ingin berkembang baik dalam pengetahuan, keterampilan, maupun kedewasaan rohani. Teknologi digital dan media sosial ia gunakan secara benar dan bertanggung jawab. Inilah perempuan bijak.
Sebaliknya, perempuan yang bodoh meruntuhkan rumahnya dengan tangannya sendiri. Bodoh bukan karena kurang pengetahuan, tetapi karena tidak mau menerima nasihat dan didikan Tuhan. Ia hidup seturut kehendaknya. Ia bebal cerewet, sangat tidak berpengalaman, dan tidak tahu malu (Amsal 9:13), suka bertengkar (Amsal 21:9), cantik tetapi tidak susila (Amsal 11:22), tidak bermoral (Amsal 7:1-27), serta membuat malu dan membusukkan tulang suaminya (Amsal 12:4). Di era digital, salah satu karakteristik perempuan bodoh adalah tidak menggunakan teknologi digital dan media sosial dengan sehat. Dengan berperilaku dan berkarakter seperti ini, perempuan merubuhkan rumahnya dengan tangannya sendiri. Ia merubuhkan keluarganya, rumah tangganya, pekerjaannya, karirnya, usahanya, gerejanya, komunitasnya, lingkungan di mana ia tinggal, atau bahkan masyarakat luas. Merubuhkan rumah sendiri berarti menghancurkan diri sendiri.
Amsal 14:1 menjadi pengingat bagi para perempuan untuk senantiasa takut akan TUHAN. Dengan demikian, perempuan akan memperoleh hikmat, pengertian dan kekuatan sehingga dapat mendirikan rumahnya. (SRP)