BILA DI KELAS SEKOLAH MINGGU ADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Bagikan:

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Anak Berkebutuhan Khusus (Special Needs Children) adalah anak-anak yang karena kondisi fisik dan/mentalnya; atau karena bakat atau kejeniusannya; atau karena keberbedaan cara otaknya bekerja, memiliki berbagai kebutuhan khusus untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, belajar, berkarya, berprestasi, mandiri, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Di Indonesia, anak berkebutuhan khusus disebut sebagai penyandang disabilitas. Hal ini diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam pasal 1 ayat (1) dari undang-undang ini dikatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Ada beragam kondisi anak sehingga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus, antara lain: tunadaksa, tunanetra, tunarungu, tunawicara, celebral palsy (cp), stroke, skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, autis, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), downsyndrome, dan retardasi mental. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indoensia dari waktu ke waktu bertambah banyak. Hal ini dapat disimpulkan dari laporan banyak sekolah yang menyatakan bahwa mereka setiap tahun peserta didik yang menyandang kebutuhan khusus di sekolah mereka bertambah. Dalam pelayanan saya, banyak Guru Sekolah Minggu yang mengatakan bahwa di gereja/Sekolah Minggu mereka terdapat anak berkebutuhan khusus.

Sebagaimana halnya dengan anak-anak lain yang tidak berkebutuhan khusus, anak-anak berkebutuhan khusus dilindungi oleh Negara. Ini terbukti dari adanya berbagai produk hukum yang dibuat untuk menjamin anak-anak berkebutuhan khusus dilindungi dan memperoleh hak-hak mereka. Misalnya: undang-undang tentang perlindungan anak, undang-undang tentang penyandang disabilitas, undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, dan  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Adanya peraturan perundang-undangan ini adalah bukti bahwa Pemerintah/Negara melindungi anak-anak berkebutuhan khusus dan menjamin pemenuhan hak-hak mereka, walaupun dalam implementasinya masih ditemui berbagai masalah.

Dalam perspektif iman Kristen kita juga meyakini bahwa Tuhan Yesus Kristus sangat mengasihi, perduli, dan melindungi anak-anak berkebutuhan khusus. Memang tidak ada tertulis di Alkitab kisah khusus tentang pelayanan Yesus kepada anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi dalam Alkitab kita dapat menemukan banyak ayat yang menunjukkan betapa Yesus mengasihi anak-anak. Dalam Matius 19:24 tertulis: “Tetapi Yesus berkata: ” Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.”” Bahkan, ada sanksi tegas bagi siapa pun yang melakukan penyesatan kepada anak, sebagaimana ditulis dalam Matius 18:6, yang berbunyi: “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Karena Yesus sangat mengasihi anak-anak bagaimana pun kondisi anak-anak itu, maka Gereja dan Sekolah Minggu tidak boleh abai terhadap pelayanan anak, termasuk pelayanan kepada Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pelayanan kepada anak-anak dengan segala kondisi mereka, harus masuk dalam skala prioritas program pelayanan Gereja dan Sekolah Minggu.

Melayani dan mengajar anak-anak di kelas Sekolah Minggu selain menyenangkan juga memiliki tantangan tersendiri. Anak-anak adalah individu yang unik dan sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Diperlukan berbagai kompetensi dan daya kreatifitas yang tinggi agar dapat mengajar dan melayani mereka, apalagi jika di suatu kelas ada anak berkebutuhan khusus. Itulah sebabnya Guru Sekolah Minggu perlu memperlengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Selain itu, Guru Sekolah Minggu juga harus memiliki soft skill dan kompetensi kepribadian yang baik.   Bila di kelas Sekolah Minggu ada anak berkebutuhan khusus, ada beberapa hal yang menjadi faktor penentu keberhasil pelayanan dan pembelajaran, antara lain: sumber daya Guru Sekolah Minggu, tempat atau ruangan,  media pembelajaran, kurikulum dan silabus, metode mengajar, guru pendamping (shadow teacher), aktivitas penunjang pembelajaran, dan ruang tenang.

Sumber Daya Guru Sekolah Minggu

Untuk dapat mengajar dan melayani anak-anak Sekolah Minggu, Guru Sekolah Minggu perlu memiliki kualifikasi sebagaimana halnya dengan guru-guru di sekolah formal. Padahal, pada umumnya gereja-gereja tidak menetapkan kuliafikasi pendidikan formal bagi Guru Sekolah Minggu. Oleh karena itu gereja perlu memperlengkapi Guru Sekolah Minggu dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Guru Sekolah Minggu harus dapat memahami setiap anak dengan baik. Oleh karena itu, Guru Sekolah Minggu harus mempelajari psikologi dan perkembangan anak dan psikologi anak berkebutuhan khusus. Pemahaman ini akan memudahkan Guru Sekolah Minggu dalam berkomunikasi dan  berinteraksi dengan anak. Dengan demikian, akan lebih mudah mencipkan relasi yang harmonis antara Guru Sekolah Minggu dengan Anak Sekolah Minggu. Relasi yang harmonis ini akan bermanfaat dalam proses pembelajaran dan pelayanan di Sekolah Minggu.

Guru Sekolah Minggu juga perlu memiliki keterampilan mengajar yang baik. Selain itu, Guru Sekolah Minggu juga harus mampu memilih metode mengajar yang tepat, yang sesuai usia dan perkembangan anak serta sesuai dengan topik dan tujuan pembelajaran. Semakin rajin belajar dan semakin tinggi “jam terbang” Guru Sekolah Minggu, maka ia akan semakin terampil. Selain itu, keterampilan lain yang perlu dimiliki oleh Guru Sekolah Minggu adalah Keterampilan membuat media pembelajaran, keterampilan menyusun kurikulum dan silabus, keterampilan membuat aktivitas kelas, keterampilan manajemen kelas, dan lain-lain. Berbagai pengetahuan dan keterampilan ini akan dapat diperoleh melalui berlatih dan belajar. Guru Sekolah Minggu dapat memperlengkapi dan meningkatkan kapasitas dirinya dengan cara belajar secara mandiri, baik dengan cara membaca buku, mengikuti seminar, kursus, atau mengikuti pelatihan-pelatihan yang ditujukan untuk para guru atau Guru Sekolah Minggu. Guru Sekolah Minggu yang baik tidak akan menunggu gereja yang memfasilitasi hal ini, tetapi memiliki inisiatif untuk belajar secara mandiri.

Guru Sekolah Minggu juga perlu memerhatikan penampilannya, baik itu pakaian, sepatu, riasan wajah, perhiasan, dan parfum. Semua yang dipakai hendaknya dapat menunjang kegiatan di kelas Sekolah Minggu. Beberapa kelompok anak berkebutuhan khusus mudah terganggu dengan hal-hal tertentu, misalnya riasan wajah dengan warna-warna tertentu, bau parfum yang menurut penciuman mereka menyengat, asesoris yang terlalu meriah atau mengeluarkan bunyi berisik, atau pakaian dengan kondisi tertentu, misalnya pakaian dengan motif atau model tertentu.

Tempat atau Ruangan

Jika di kelas Sekolah Minggu ada anak berkebutuhan khusus, maka tempat atau ruangan adalah hal yang harus diperhatikan. Harus dipastikan bahwa ruangan yang dipakai kondusif bagi anak. Jika di kelas ada anak hiperaktif atau anak dengan autis, maka dalam ruangan tidak boleh ada benda-benda yang berpotensi bikin anak atau anak lainnya celaka. Misalnya: tidak ada jendela berkaca, jendela tidak mudah dipanjat, dilompati, atau di bawah jendela tidak ada barang-barang tertentu yang dapat dipakai anak untuk memanjat gereja, ruangan tidak dekat dengan jalan raya atau jalan yang ramai dengan kendaraan. Ada kemungkinan anak akan lari dari ruangan. Itu menjadi berisiko jika anak lari ke jalan.

Ruangan yang kondusif bagi anak berkebutuhan khusus tidak boleh terlalu besar, tidak boleh terlalu kecil, suhu udara sejuk, tidak terlalu padat dengan barang-barang atau orang, tidak terlalu meriah dengan pernak-pernik dekorasi, serta lantainya tidak kotor dan tidak licin. Selain itu, posisi kursi anak tidak terlalu menempel ke tembok. Ini akan memudahkan anak untuk mencoret-coret dinding atau memudahkan anak untuk membenturkan kepala jika sedang merasa tidak nyaman. Selain itu, perlu dipastikan bahwa di ruangan tidak ada benda-benda yang tajam. Misalnya, cutter dan gunting tidak diletakkan sembarangan, atau  sisi-sisi meja dan kursi tidak tajam.

Media Pembelajaran

Media pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu kelancaran kelas Sekolah Minggu. Pada umumnya, anak-anak lebih menyukai dan akan lebih mudah memahami materi pembelajaran jika guru menggunakan media pembelajaran yang tepat. Jika di kelas ada anak berkebutuhan khusus, maka perlu menyesuaikan media pembelajaran dengan kondisi dan kebutuhan anak. Anak dengan tunanetra tentu lebih mudah memahami apa yang disampaikan Guru Sekolah Minggu jika media pembelajarannya berupa media audio. Anak dengan tunarungu akan terbantu jika guru menggunakan media visual. Anak-anak dengan autism, retardasi mental, atau downsyndrome biasanya akan menjadi tertarik jika guru menggunakan media pembelajaran berbasis audio visual.

Media pembelajaran bukan hanya pelengkap dalam pembelajaran di Sekolah Minggu. Oleh karena itu, Guru Sekolah Minggu perlu mempersiapkannya dengan baik. Guru Sekolah Minggu sebaiknya mempelajari materi dengan baik dan memahami karakteristik setiap anak di kelasnya sebelum menetapkan media apa yang akan digunakan.

Kurikulum dan Silabus

Walaupun bukan sekolah formal, dalam pelayanan Sekolah Minggu perlu disusun kurikulum dan silabus. Ini akan membuat pembelajaran di kelas Sekolah Minggu menjadi teratur, terstruktur, dan memiliki tujuan. Dengan demikian, pelayanan di Sekolah Minggu dapat dinilai dan dievaluasi sehingga dapat dilakukan perbaikan. Jika di kelas ada anak berkebutuhan khusus, maka kurikulum dan silabus harus disusun sedemikian rupa agar dapat mengakomodir kebutuhan anak sesuai dengan kondisinya. Misalnya: tujuan pembelajaran yang disusun dalam kurikulum tidak boleh kaku dan disamaratakan untuk setiap anak. Jika pada anak yang tidak berkebutuhan khusus tujuan pembelajarannya adalah anak dapat menyebutkan sepuluh hukum taurat, maka mungkin tidak demikian tujuannya untuk anak yang menyandang autis yang ada di kelas itu.

Metode Mengajar

Bila di kelas Sekolah Minggu ada anak berkebutuhan khusus, maka Guru Sekolah Minggu perlu menggunakan metode mengajar yang efektif untuknya. Contohnya: jika di kelas ada anak hipoaktif, maka Guru perlu melibatkan anak tersebut dalam pembelajaran agar ia lebih aktif. Contoh: melibatkan anak dalam bermain peran.

Guru Pendamping (Shadow Teacher)

Pembelajaran di kelas Sekolah Minggu harus efektif bagi semua anak, baik untuk anak yang berkebutuhan khusus maupun anak yang tidak berkebutuhan khusus. Itulah sebabnya guru pendamping atau shadow teacher dibutuhkan. Shadow teacher memiliki peran penting dalam menolong anak berkebutuhan khusus, terutama jika anak belum mandiri, belum memiliki kemampuan belajar yang memadai, belum dapat menguasai diri, belum memahami atuaran, atau merasa tidak nyaman.

Aktivitas Penunjang Pembelajaran

Anak-anak akan lebih mudah memahami dan mengingat apa yang diajarkan padanya jika ada aktivitas penunjang. Misalnya: mewarnai, menggambar, menggunting, bernyanyi, permainan (games), kuiz, atau mengerjakan proyek tertentu secara berkelompok. Bila dalam kelas ada anak berkebutuhan khusus, maka aktivitas untuknya harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhannya. Contoh: anak berkebutuhan khusus yang terlambat bicara (speech delay), tidak memiliki kemampuan verbal  atau tunawicara jangan diberi aktivitas yang berbasis mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau bercerita. Untuk anak-anak ini dapat diberikan aktivitas penunjang yang mengandalkan kemampuan manual, seperti berlari, menari, menggambar, dan lain-lain.

Ruang Tenang

Jika di Sekolah Minggu ada anak berkebutuhan khusus, maka ruang tenang perlu disiapkan. Ruangan ini akan menolong ketika kondisi anak tidak stabil. Misalnya ketika anak tantrum, atau tertawa terbahak-bahak tanpa henti dan tidak terkendali. Ruang tenang harus didisain senyaman dan seaman mungkin. Tidak terlalu besar, dan tidak terlalu kecil. Lantai dan dinding ruangan dilapisi dengan bahan-bahan yang kuat tetapi empuk sehingga tidak berbahaya ketika anak membentur-benturkan tubuh atau kepalanya. Di ruang tenang tidak boleh ada benda-benda lain sehingga memungkinkan anak melakukan tindakan destruktif, seperti melempar atau merusak. Ruang tenang juga perlu dilengkapi dengan pendingin ruangan. Pendingin ruangan yang baik akan membuat ruangan menjadi sejuk. Ini akan menolong anak merasa nyaman sehingga emosinya cepat reda.

Ruangan juga perlu dilengkapi dengan aroma terapi yang segar agar membuat anak merasa tenang. Demi keamanan dan kenyamanan, ruang tenang perlu dilengkapi dengan kamera pengawas atau CCTV (Closed-Circuit Television). Dengan demikian, perilaku anak dan perilaku pendamping di dalam ruangan dapat dimonitor. Yang sangat penting untuk diperhatikan adalah, di ruang tenang anak tidak boleh dibiarkan sendirian, tetapi  harus ditemani oleh orang yang tepat, misalnya: Guru Sekolah Minggu atau orang tua anak. Setelah anak tenang, maka anak dapat dibawa masuk ke kelas Sekolah Minggu untuk melanjutkan aktivitas. (SRP)