MENYIKAPI KDRT (KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA) DALAM KELUARGA KRISTEN

Bagikan:

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak terjadi dan merupakan masalah serius di Indonesia. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa tahun 2024, telah terjadi total 28.789 kasus kekerasan. Dari total kasus tersebut, mayoritas korban adalah perempuan dengan 24.973 kasus, dan korban laki-laki 3.816 kasus (Analisis Strategis terhadap Isu Aktual, Info Singkat,  Vol. XVII, No. 1/I/Pusaka/Januari/2025). Sebagaimana yang tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 1 Ayat (1), kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi: suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2). Kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Walaupun banyak terjadi pada prempuan, baik anak-anak maupun dewasa, KDRT juga bisa terjadi pada laki-laki dewasa dimana pelakunya adalah perempuan (istri), kepada anak laki-laki dengan pelaku orang tua atau pekerja dalam rumah tangga, dan terjadi juga kepada pekerja rumah tangga dimana pelakunya adalah majikan. Akan tetapi, ada juga pekerja rumah tangga yang melakukan kekerasan kepada majikannya.

KDRT tidak hanya terjadi pada keluarga non Kristen, tetapi juga banyak terjadi pada keluarga-keluarga Kristen. Walaupun penulis tidak menemukan data resmi berapa angka KDRT pada keluarga Kristen, tetapi dengan melihat catatan Kemen PPA, patut diduga bahwa angka KDRT pada keluarga Kristen juga tinggi.

KDRT Tidak Dibenarkan

Kekerasan dalam rumah tangga tidak dibenarkan dalam keadaan apa pun dan alasan apa pun. Pernikahan dalam kekristenan didasarkan pada kasih, hormat, dan pengorbanan, bukan berdasarkan kekerasan, penindasan dan intimidasi.  Dalam Efesus 5:25 tertulis: “Hai suami, kasihilah isterimu, sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” Suami tidak boleh bersikap kasar atau menyakiti istrinya, baik secara fisik, verbal, atau emosional, sebagaimana tertulis dalan Kolose 3:19 yang berbunyi: “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.”

“Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu.” – (Efesus 5:22-24). Ayat ini bukanlah ayat yang membenarkan dominasi atau kekerasan dalam rumah tangga. Sebaliknya, Paulus menekankan bahwa pernikahan Kristen harus didasarkan pada kasih, pengorbanan, dan saling menghormati, seperti hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Hubungan suami-istri harus mencerminkan kasih Kristus yang penuh pengorbanan, bukan kekerasan. Kasih adalah dasar pernikahan dalam Krsiten.

Dalam Efesus 6:1-3 tertulis: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” Efesus 6:1-3 menekankan pentingnya ketaatan dan penghormatan anak kepada orang tua. Akan tetapi, bukan berarti bahwa orang tua boleh bersikap kasar dan semena-mena terhadap anak. Dalam Efesus 6:4 tertulis: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang tua dipanggil untuk mendidik anak dengan kasih, bukan dengan kekerasan atau penyiksaan.

“Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.” – (Efesus 6:5-8). Ayat ini adalah ucapan Paulus ketika berbicara kepada para hamba tentang bagaimana mereka harus bekerja dengan sikap yang benar, bukan hanya untuk menyenangkan manusia tetapi sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan.  Ayat ini  tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukan majikan terhadap pekerja di rumahnya. Ayat ini berlanjut dengan apa yang tertulis dalam Efesus 6:9 yang berbunyi: “Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka.” Ayat ini berbicara kepada para tuan agar memperlakukan hamba-hambanya dengan adil, tanpa ancaman atau penindasan, karena Tuhan yang sama menghakimi semua orang tanpa memandang status sosial.

KDRT Tidak Boleh Dibiarkan

KDRT tidak boleh dibiarkan. Tuhan tidak berkenan pada orang yang menggunakan kekerasan, termasuk dalam rumah tangga. Dalam Yesaya 1:17 tertulis: “Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” Tuhan memerintahkan kita untuk melawan kejahatan, bukan membiarkannya. Jika gereja atau keluarga diam terhadap kekerasan, maka ketidakadilan akan terus berlanjut, dan korban akan semakin menderita.  Jika ada tanda-tanda kekerasan atau terjadi KDRT, orang Kristen dan gereja tidak boleh menutup mata dan harus segera mengambil tindakan.

Korban KDRT harus Dilindungi dan Ditolong

Korban KDRT harus dilindungi. Tuhan memerintahkan kita untuk membela dan melindungi korban kekerasan, bukan membiarkannya menderita. Seperti: menyediakan tempat aman bagi korban; jika korban mengalami kekerasan fisik atau seksual, segera bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis; dan bantu korban melaporkan kejadian tersebut ke polisi atau lembaga hukum yang menangani kasus KDRT. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT memberikan perlindungan hukum bagi korban.

Keselamatan Korban harus Diutamakan

Keselamatan korban adalah prioritas utama. Jika korban berada dalam ancaman, segera bantu korban keluar dari rumah atau tempat kekerasan terjadi. Jika nyawa korban terancam, segera hubungi polisi atau lembaga perlindungan perempuan dan anak. Jika korban mengalami luka fisik atau trauma, segera bawa ke rumah sakit. Jika perlu, korban harus melaporkan kejadian tersebut ke polisi agar pelaku tidak bisa melanjutkan tindakannya. Korban berhak atas perlindungan hukum. Korban bisa mendapatkan bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), atau Komnas Perempuan. Selain itu, korban sering merasa terikat secara emosional atau finansial dengan pelaku. Akan tetapi, korban perlu didukung untuk tidak kembali ke lingkungan berbahaya, kecuali ada jaminan perubahan dari pelaku.

KDRT harus Dicegah

KDRT harus dicegah, bukan hanya ditangani setelah terjadi. Hubungan yang sehat dalam keluarga harus dibangun. Suami dan istri harus saling mengasihi dan menghormati. Komunikasi yang baik harus dijaga agar konflik tidak berkembang menjadi kekerasan. Anak-anak harus dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih dan bukan dengan hukuman yang kasar. Konflik harus diselesaikan tanpa kekerasan. Pemahaman keliru yang membenarkan KDRT atas nama tradisi atau ajaran agama harus diluruskan. Konflik dalam rumah tangga bisa diselesaikan tanpa kekerasan, dengan komunikasi yang terbuka dan sabar. Jika ada masalah serius, pasangan perlu didorong untuk mencari bantuan, misalnya layanan konseling dari konselor profesional. Selain itu, tanda-tanda awal KDRT harus diintervensi sejak dini agar tidak berlanjut.

Gereja sebagai  Support System

Korban KDRT sering kali merasa sendirian, takut, dan tidak tahu harus meminta bantuan ke mana. Karena itu, perlu dibangun support system yang kuat guna membantu korban keluar dari situasi yang berbahaya dan memulai hidup yang lebih aman. Gereja harus berani bersikap tegas terhadap KDRT dan menjadi tempat aman bagi korban. Upaya lain yang perlu dilakukan gereja adalah: menyediakan layanan konseling pastoral bagi korban dan membantu mereka menemukan solusi terbaik; membangun komunitas pendukung, misalnya kelompok pemulihan bagi korban KDRT; mengedukasi jemaat tentang KDRT agar tidak ada pembenaran terhadap kekerasan dengan alasan budaya atau agama;  dan membantu korban mendapatkan bantuan hukum dan perlindungan jika diperlukan. (SRP)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *