PEREMPUAN LAJANG DALAM GEREJA

Bagikan:

Oleh: Susi Rio Panjaitan

 

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 ada 30,72 persen perempuan berusia 15-49 yang berstatus belum menikah (lajang) (https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/22/e5942bdd51b158776ee5eabf/perempuan-dan-laki-laki-di-indonesia-2023.html). Pada lamannya di tanggal 18 Oktober 2022, Datanesia menyebutkan ada 11.493.805 (sebelas juta empat ratus sembilan puluh tiga ribu delapan ratus lima) orang perempuan dewasa (19 tahun ke atas) yang berstatus belum menikah (lajang). Dari jumlah tersebut, ada 6.327.619 orang yang  memiliki ijazah SMA dan sederajat, dan ada 2.164.741 orang yang memiliki ijazah Perguruan Tinggi. (https://datanesia.id/hai-perempuan-lajang-dont-worry-be-happy/). Penulis tidak menemukan data tentang berapa jumlah perempuan lajang Kristen, akan tetapi, dengan merujuk pada data BPS dan Datanesia, patut diduga bahwa jumlah perempuan lajang Kristen tidak sedikit.

Perempuan lajang menghadapi berbagai pandangan, baik berupa dukungan maupun tekanan sosial. Perempuan dianggap normal jika ia menikah dan membentuk keluarga. Ada orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu yang menganggap perempuan yang masih lajang hingga usia tertentu “belum lengkap”, “tidak normal”, “ada kurangnya”, atau bahkan “ada salahnya”. Ketidakkawinan atau kebelumkawinan seorang perempuan dewasa dianggap sebagai sesuatu yang amat disayangkan, bahkan ada yang menganggap itu aib dan kutuk. Berbagai stigma dilekatkan pada mereka, seperti tidak laku, dan perawan tua. Tantangan seperti ini tidak hanya datang dari orang-orang di luar gereja, tetapi juga dari orang-orang gereja, bahkan dari mereka yang disebut sebagai pelayan gereja. Padahal, dalam Alkitab tidak ada tulisan yang menyebutkan bahwa lajang sebagai sesuatu yang kurang, aib, berdoa, apalagi kutuk. Dalam 1 Korintus 7:7 tertulis: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.”  Melajang adalah pilihan, panggilan sekaligus karunia. Ada berbagai faktor yang menyebabkan perempuan melajang. Apa pun itu, untuk dapat hidup melajang sebagaimana yang dikehendaki Allah, perempuan butuh kekuatan dan kasih karunia Allah. Oleh sebab itu, gereja harus bersikap inklusif, mendukung, dan menghargai perempuan lajang sebagai individu yang utuh, istimewa, berharga, bertalenta, dan memiliki peran yang jelas dalam gereja.

Ketika di gereja ada perempuan dewasa yang masih melajang, gereja tidak boleh menganggap ini sebagai suatu kesedihan atau kekurangan yang harus diratapi. Sebalik, harus merespon ini sebagai berkat untuk gereja. Perempuan lajang yang sudah dewasa memiliki berbagai potensi yang berguna untuk pelayanan dan pengembangan gereja. Bisa jadi mereka  memiliki hati yang tulus, tenaga, waktu luang yang cukup banyak dan fleksibel, mempunyai uang karena sudah bekerja atau memiliki bisnis, memiliki pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu, bahkan memiliki posisi atau jabatan strategis tertentu di luar gereja. Bukankah ini potensi? Jadi, jika gereja memandang perempuan lajang tidak setara dengan mereka yang kawin, selain itu tidak benar di hadapan Allah, juga merupakan kerugian karena membuang sumber daya yang potensial.

Berikut adalah beberapa sikap yang seharusnya dimiliki gereja terkait perempuan lajang:

Menghargai Kelajangan sebagai Pilihan, Panggilan  dan Karunia

Gereja tidak boleh melihat kelajangan seorang  perempuan sebagai kekurangan. Sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 7:32-35, Rasul Paulus bahkan menekankan bahwa kelajangan dapat menjadi kesempatan untuk lebih fokus dan optimal dalam melayani Tuhan. Gereja perlu memberikan pengajaran yang seimbang antara panggilan menikah dan panggilan hidup lajang. Setiap warga jemaat yang belum menikah perlu didorong untuk mengisi masa lajangnya dengan benar dan efektif, hidup kudus sebagaimana yang dikehendaki Allah, dan terlibat aktif dalam berbagai pelayanan, bukan sekadar menunggu pernikahan dan menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup yang utama.

Menghentikan Stigma terhadap Perempuan Lajang

“Tidak laku” dan “perawan tua” sering dilekatkan kepada perempuan lajang. Perempuan bukan komoditas atau barang yang diperuntukkan untuk jual beli. Dengan menempelkan “tidak laku” kepada perempuan lajang, itu berarti merendahkan perempuan dan tidak menganggapnya sebagai ciptaan Allah yang mulia dan berharga. Perempuan dianggap bukan manusia. Itu artinya penghinaan terhadap perempuan tersebut, terutama penghinaan kepada Allah yang menciptakannya. Terminologi “perawan tua” juga bukan istilah  yang dimaknai positif. Jadi, gereja perlu mengedukasi warga jemaatnya agar tidak melekatkan stigma tertentu kepada perempuan lajang dan mendorong warga jemaat untuk menghargai perempuan lajang sebagai individu yang utuh dan berharga, sebagaimana halnya orang yang menikah.

Menyediakan Ruang bagi Perempuan Lajang untuk Berperan Aktif dalam Gereja

Banyak perempuan lajang memiliki waktu, tenaga, dan talenta yang dapat dipakai untuk melayani di gereja. Akan tetapi, sering kali tidak ada tempat dan kesempatan untuk mereka. Meskipun mereka memiliki talenta, kompetensi profesional serta memiliki kompetensi kepribadian sebagai pemimpin, ada gereja yang tidak mau perempuan lajang menjadi pemimpin dalam pelayanan. Sudah perempuan, lajang pula, sudah lajang, perempuan pula. Kondisi ini membuat mereka tidak boleh jadi pemimpin. Padahal, di luar organisasi gereja, mereka memiliki posisi atau jabatan yang strategis. Mereka merupakan pemimpin dari  organisasi/lembaga/perusahaan besar. Di Alkitab ada tokoh-tokoh  perempuan dan mereka hebat di dalam menjalankan tugasnya. Jadi, di era digital ini, apakah adil dan apakah efektif menolak seseorang menjadi pemimpin di gereja hanya karena ia seorang perempuan lajang?

Di banyak gereja ada komunitas untuk ibu-ibu (perempuan yang menikah), kaum muda (untuk mereka yang belum menikah tetapi berusia relatif muda), janda (untuk mereka yang pernah menikah dan pasangannya meninggal), pasutri (pasangan suami istri), dan lansia (warga jemaat yang berusia senior/lanjut). Akan tetapi, tidak ada komunitas yang tepat untuk perempuan lajang yang berusia matang tetapi belum lansia. Apakah mereka harus menikah dulu atau jika sudah lansia baru boleh memiliki komunitas dalam gereja?

Membangun Support System

Perempuan lajang bisa menghadapi tantangan seperti kesepian, tekanan keluarga, atau tekanan sosial. Gereja harus hadir sebagai tempat yang memberikan penguatan iman. Gereja perlu menyediakan layanan bimbingan dan konseling pastoral yang relevan bagi perempuan lajang. Gereja juga perlu memberi penguatan kepada perempuan lajang agar mereka memahami bahwa nilai mereka tidak ditentukan oleh pernikahan, melainkan oleh identitas mereka di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Gereja harus dapat menjadi tempat yang kondusif bagi perempuan lajang, dan  menerima perempuan lajang dengan kasih, tanpa tekanan atau stereotip tertentu. Gereja juga  harus dapat menguatkan dan mendorong para perempuan lajang untuk dapat menerima kelajangannya sebagai anugerah, hidup kudus sebagaimana yang dikehendaki Allah, dan memakai kelajangan sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan. (SRP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *