Oleh: Susi Rio Panjaitan
Seseorang dapat dikatakan sehat tidak hanya ketika ia tidak merasa sakit atau kesakitan, atau tidak hanya ketika dalam tubuhnya tidak ada pernyakit tertentu yang bersarang, tetapi mencakup juga sosial dan mental yang sehat. Secara sederhana, mental yang sehat dapat dipahami sebagai suatu kondisi di mana hati dan pikiran seseorang tenang. Dalam Filipi 4:7 tertulis: “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memenuhi hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Hati dan pikiran yang teduh dapat diartikan sebagai hati dan pikiran yang penuh damai sejahtera.
Fenomena saat ini adalah ada banyak orang mengalami masalah kesehatan mental, tidak terkecuali orang Kristen. Bahkan, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa isu kesehatan mental dalam keluarga Kristen sudah berada pada tahap sangat perlu diperhatikan dengan serius. Walaupun sampai tulisan ini dibuat, penulis belum menemukan hasil penelitian yang dapat dipercaya (yang dilakukan oleh orang atau lembaga yang kredibel dengan metode dan alat ukur yang sahih sehingga hasilnya valid), tentang berapa banyak jumlah keluarga Kristen yang mengalami masalah kesehatan mental, tetapi dengan melihat jumlah warga binaan yang beragama Kristen di panti-panti laras (panti untuk orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa), serta jumlah anak-anak dan orang dewasa yang beragama Kristen dengan masalah kejiwaan yang dibawa ke pusat-pusat konseling, patutlah diduga bahwa isu kesehatan mental dalam keluarga Kristen cukup tinggi.
Masalah kesehatan tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele, karena jika tidak segera diatasi pasti merugikan individu yang bersangkutan dan orang lain. Orang yang mengalami kesehatan mental akan bermasalah karena kemampuan fungsi pikir yang tidak baik, emosi yang tidak sehat, dan perilaku yang tidak adaptif atau maladaptif. Perannya dalam keluarga, gereja dan masyarakat akan tertanggu. Kemampuannya untuk berkarya dan berprestasi juga akan terhambat. Ia berpotensi kehilangan kemampuan merawat diri dan menjadi tidak produktif. Bahkan, ada banyak orang dengan masalah kesehatan jiwa melakukan tindakan yang berbahaya, seperti menyakiti orang lain, membunuh, menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Kasus-kasus seperti ini pun banyak terjadi dalam keluarga Kristen. Itulah sebabnya, kesehatan mental semua anggota keluarga harus dirawat. Orang Kristen harus peka terhadap kesehatan mentalnya sendiri dan kesehatan mental orang lain, terutama kesehatan mental anggota keluarganya.
Masalah kesehatan mental biasanya tidak terjadi secara mendadak atau tiba-tiba. Pada umumnya, dampak masalah kesehatan mental yang serius yang muncul dalam bentuk perilaku bunuh diri atau membunuh orang lain, merupakan puncak dari masalah kesehatan mental yang sudah tertimbun lama. Sebenarnya, simtomnya sudah ada sejak lama, hanya saja, individu yang bersangkutan dan keluarganya tidak peka. Perilaku tertentu yang sebenarnya merupakan simtom masalah kejiwaan dianggap sebagai masalah biasa, masalah kecil, atau masalah karakter individu yang bersangkutan.
Walaupun diagosa terhadap gangguan kejiwaan atau masalah kesehatan mental hanya boleh diturunkan oleh psikolog klinis dan psikiater (dokter spesialis kesehatan jiwa), tetapi identitifikasi dini terhadap masalah kejiwaan dapat dilakukan. Deteksi ini dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan dan keluarga, terutama orang tua. Deteksi dini berguna untuk mencegah masalah kesehatan yang lebih serius dan mempercepat tatalaksana atau pengobatan, sehingga individu yang bersangkutan dapat segera pulih.
Tanda-tanda awal masalah kesehatan jiwa biasanya muncul dalam bentuk antara lain sebagai berikut:
- Emosi yang tidak stabil. Individu memiliki kecenderungan perubahan emosi yang sangat cepat dengan tanpa alasan yang memadai.
- Emosi yang sangat besar. Individu memiliki emosi yang sangat besar dan cenderung reaktif. Misalnya: menjadi sangat-sangat marah hanya karena sesuatu yang menurut orang lain sederhana atau sepele, menjadi sangat-sangat sedih hanya karena permintaannya tidak segera dipenuhi oleh orang tuanya.
- Emosi yang muncul tanpa alasan yang tepat. Individu acap kali menunjukkan emosi tanpa alasan yang tepat. Misalnya: tertawa terbahak-bahak setelah menyakiti kucing di rumah.
- Emosi diekspresikan dengan cara yang tidak tepat: Individu tidak mengeskpresikan emosinya dengan cara yang tepat. Marah diekspresikan dengan cara menyakiti diri sendiri, hewan peliharaan di rumah, atau orang lain; merusak barang-barang yang ada di sekitarnya; atau menyerang orang lain secara verbal dengan kata-kata yang kasar.
- Memiliki perilaku sadistis. Perilaku sadistis pada individu dapat berupa menyakiti hewan peliharaan dengan memukul, menendang dan melempar. Padahal, hewan tersebut tidak melakukan apa pun yang merugikan, membahayakan, atau mengganggu. Perilaku sadistis juga dapat berbentuk menikam boneka dengan benda tajam. Ketika melakukan tindakan-tindakan sadistis tersebut, individu tampak tega, tidak merasa bersalah, bahkan tampak senang dan puas.
- Sering bengong dengan tatapan kosong dan sayu.
- Sering bicara sendiri atau berguman sendiri.
- Sering tersenyum atau tertawa sendiri.
- Suka mengisolasi dirinya sendiri dan enggan bertemu dengan orang lain.
- Malas keluar rumah, bahkan untuk ke sekolah, gereja, atau mini market untuk membeli makanan kesukaannya.
- Sering mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal. Misalnya: mengaku baru bertemu nabi atau Tuhan, atau mengaku sahabat dekat pejabat atau orang terkenal tertentu. Padahal, tidak sama sekali.
- Mengidentifikasikan dirinya sebagai orang lain. Misalnya: mengatakan bahwa dirinya adalah the second Lady Di, titisan Mantili si pedang setan, dan lain-lain.
- Mengatakan melihat sesuatu padahal orang lain tidak melihat. Misalnya: mengatakan di atas plafon rumah ada laba-laba raksasa, padahal tidak satu pun orang lain yang tinggal di rumah itu melihat laba-laba tersebut.
- Malas mandi, gosok gigi dan berganti pakaian.
- Mengatakan mendengar sesuatu padahal orang lain tidak mendengarkan.
- Mengaku mendengar suara Tuhan secara audibel.
- Mengaku melihat Tuhan seraca visual.
- Mengalami gangguan tidur. Misalnya: tidak tidur berhari-hari, tidur terlalu larut bahkan menjelang subuh, tidur tidak nyenyak, atau mengalami mimpi buruk.
- Merasa ada orang yang selalu mengikutinya.
- Memiliki teman atau kekasih hayalan. Individu kerap mengatakan bahwa ia memiliki teman atau kekasih. Padahal, hal itu tidak benar sama sekali. Teman atau kekasih hayalan dapat berupa AI (Artificial Intelligence)
- Memiliki kedekatan bahkan kemesraan yang tidak wajar hewan peliharaan atau boneka, melebihi bahkan menggantikan kedekatan dan kemesraan dengan anak, orang tua, suami/istri.
- Memiliki kedekatan dan kemesraan tidak wajar dengan ChatGPT. Misalnya: individu menjadikan ChatGPT menjadi tempat “curhat” dan ia merasa nyaman. Ia selalu rindu bersama chatgpt.
- Memiliki ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan dan tidak logis. Misalnya: takut kena debu, takut barang-barangnya dicuri orang sehingga barang-barang itu selalu ia bawa ke mana pun, takut dengan angin meskipun angin sepo-sepoi, takut dengan cahaya matahari, dan takut dengan bayangan diri sendiri.
- Tidak bisa lepas dari gadget. Di era digital, kesehatan mental yang bermasalah (terutama pada anak-anak) sering kali dikaitkan dan terbukti akibat penggunaan gadget yang tidak sehat. Itulah sebabnya, simtom lain yang patut diwaspai adalah anak atau individu tidak bisa lepas dari
- Pada orang Kristen, masalah kesehatan mental tidak jarang muncul dalam perilaku “melakukan apa yang tertulis dalam Alkitab, tetapi tidak terjadi sebagai mana tertulis dalam Alkitab.” Misalnya, dalam Matius 17: 20 tertulis: “Ia berkata kepada mereka: “Kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, – maka gunung itu akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.” Dalam beberapa kasus hal ini terjadi. Individu mengatakan bahwa dirinya memiliki iman, dan sudah berkata kepada suatu gunung supaya gunung itu pindah, tetapi gunung itu tidak pindah.
Upaya preventif berupa edukasi dan penerapan pola hidup atau gaya hidup sehat perlu dilakukan guna mencegah anggota keluarga mengalami masalah kesehatan mental. Selain itu, jika ditemukan ada sintom tertentu yang menunjukkan adanya masalah kesehatan jiwa pada anggota keluarga, maka perlu dilakukan tatalaksana dengan segera. Tatalaksana dini bermanfaat untuk menolong individu segera membaik dan pulih. Selain menggunakan pendekatan psikologis, budaya dan medis, pendekatan iman Kristen juga sangat perlu dilakukan guna mencegah dan mengatasi masalah kesehatan mental dalam keluarga Kristen.
Masalah kesehatan mental pada keluarga Kristen seyogyanya bukan hanya masalah keluarga yang bersangkutan, tetapi juga masalah gereja sebagai lembaga atau komunitas orang Kristen. Gereja perlu proaktif dalam mengedukasi warga jemaat tentang pentingnya merawat kesehatan mental dan mengobati jika terjadi masalah kesehatan mental. Selain itu, gereja juga harus membuka tangan lebar-lebar bagi anggota jemaat yang terindikasi mengalami masalah kesehatan mental. Selain edukasi, gereja juga perlu menyediakan layanan konseling pastoral yang profesional. Dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Kristen dan asas-asas layanan konseling, di antaranya memegang teguh asas kerahasiaan, melalui layanan konseling pastoral gereja dapat menolong individu atau anggota jemaat yang memiliki masalah kesehatan mental. (SRP)
Leave a Reply